Culture History Prose & Poem

Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah 

Bosan dengan sejarah versi penguasa di kelas atau buku-buku sekolah? Membaca lima buku fiksi sejarah berikut bisa jadi pilihan yang lebih baik.

Avatar
  • February 22, 2024
  • 8 min read
  • 2963 Views
Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah 

Belakang di TikTok, warganet ramai-ramai meromantisasi rezim Orde Baru. Dalam salah satu unggahan viral tentang demonstrasi besar-besaran 1998, sejumlah pengguna justru mengaku merindukan sosok Soeharto. Sebagian lagi berdoa supaya dipimpin sosok presiden sepertinya, yang dinilai berjasa menyejahterakan warga. Harga bahan pokok serba murah, swasembada pangan terutama beras “sukses besar”, dan pembangunan infrastruktur massif dilakukan. 

Tak cuma Soeharto, warganet TikTok, X, dan Instagram juga meromantisasi sosok Prabowo Subianto lewat hubungan asmaranya bersama anak perempuan Soeharto, Titiek Soeharto. Prabowo dalam berbagai unggahan warganet digambarkan sebagai sosok yang tulus, setia, dan teguh karena besarnya cinta yang ia berikan kepada Titiek. Warganet bahkan ingin keduanya rujuk agar nanti ketika Prabowo naik jadi presiden, Titiek menjelma ibu negara. Keduanya bakal serasi bersanding, layaknya Pak Harto dan Bu Tien. 

 

 

Buat generasi Z yang tidak pernah langsung terdampak oleh rezim Orde Baru, romantisasi ini tampaknya tak terhindarkan. Abdul Rahman Ma’mun, pakar komunikasi politik dalam wawancara Magdalene Oktober lalu bilang, Gen Z hidup di masyarakat yang relatif demokratis, alih-alih di era militerisme Orde Baru. Konsekuensinya, kata Aman, enggak ada kewaspadaan dalam diri Gen Z terhadap pola-pola kepemimpinan atau citra tertentu. 

Situasi ini sayangnya juga diperparah dengan diputusnya akses sejarah generasi muda. Dalam artikel yang pernah Magdalene tulis sebelumnya, terputusnya sejarah ini merupakan permasalahan yang sistemik, yaitu pengaburan dan penguburan sejarah. Buku cetak yang dijadikan acuan proses belajar mengajar di sekolah, kebanyakan cuma menuliskan kronologi sejarah. Dengan cara ini, banyak peristiwa-peristiwa penting cenderung disederhanakan, dikaburkan, atau dihilangkan sama sekali. 

Belum lagi, tenaga pengajar yang tak semuanya punya cara penyampaian materi yang menarik. Karena itu, untuk menjembatani gap sejarah generasi muda, novel-novel berlatar belakang sejarah bisa jadi instrumen penting. 

Dengan bermain di dunia fiksi seraya meleburkan batasan-batasan dunia nyata lewat fakta sejarah, novel-novel ini akan lebih menarik dibaca dibandingkan menyimak sejarah versi penguasa di kelas. Hal ini memungkinkan pembaca untuk masuk ke dalam pikiran para tokohnya dan merasakan apa yang mereka rasakan. Cara ini mampu menerangi kisah-kisah sejarah yang tak terungkap, memberikan pembaca kebenaran yang lebih kompleks, serta pembelajaran yang dapat mencegah keberulangan sejarah kelam. Berikut ini ada lima rekomendasi novel berlatar sejarah Indonesia yang perlu kamu baca: 

1.  “Laut Bercerita” oleh Leila S. Chudori 

Setiap Prabowo mencalonkan diri dalam Pemilu yang kini sudah terhitung tiga kali, isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selalu menyeret namanya. Ia yang dulu merupakan pentolan Tim Mawar adalah dalang penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pro demokrasi pada 1997 – 1998. Sebuah fakta yang selalu ia bantah, namun belakangan ia konfirmasi sendiri pada Budiman Sudjatmiko. 

Sampai saat ini, masih ada 13 orang aktivis yang tidak diketahui keberadaannya. Salah satu di antaranya adalah Wiji Thukul, penyair yang dikenal kerap mengkritik keras rezim Orde Baru. Sejarah Kelam terkait penculikan dan penghilangan paksa inilah yang menjadi poros utama narasi dari Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

 Dengan berbekal riset mendalam dan wawancara bersama eks aktivis yang berhasil “dipulangkan” dengan selamat, Leila menceritakan sosok Biru Laut, mahasiswa yang kala itu menjadi korban penghilangan oleh rezim represif Orde Baru. 

novel sejarah indonesia

Leila membagi novel ini menjadi dua bagian cerita. Pada bagian pertama, pembaca akan mendengar cerita dari sudut pandang Biru Laut tentang “pemberontakan” ia dan teman-teman sebaya pada negara. Hal yang kemudian membuat Laut harus menerima berbagai kekerasan oleh para aparatur negara. 

Pada bagian kedua, cerita dilanjutkan oleh sudut pandang Asmara Jati, adik Laut. Dalam sudut pandang Asmara, pembaca bisa merasakan rasa sesak, hampa, beserta kesedihan berlarut yang dialami Asmara bersama ibu dan ayahnya pasca kehilangan Laut. Di sinilah pembaca diajak untuk memahami perasaan keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa yang kemudian selama 17 tahun tetap setia melakukan Aksi Kamisan di depan istana presiden. 

Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja 

2.  “Entrok” oleh Okky Madasari 

Entrok adalah novel debut Okky Madasari. Lewat novel perdananya ini, Okky mengangkat kisah Marni dan Rahayu, ibu anak dalam latar belakang masa Orde Baru. Marni digambarkan sebagai perempuan Jawa yang melalui sesajen, ia dapat menemukan dewa-dewa, serta memanjatkan harapannya. Ia yang tak pernah sekali pun mengenal Tuhan mencurahkan keringat demi menghidupi dirinya dan Rahayu. Bagi Marni, tak ada yang salah dengan caranya hidup dan mengais rejeki, selama uang itu bukan dari menipu, mencuri, atau membunuh. 

Bertolak belakang dengan putrinya sendiri, Rahayu digambarkan sebagai anak yang terdidik, berkuliah di Yogyakarta, dan pemeluk agama konservatif. Ia menolak mengikuti jejak ibunya yang menyembah leluhur, sebab itu adalah dosa. Ia bahkan tak takut mencap ibunya sebagai pendosa dan berulang kali terlibat pertengkaran soal keimanan dengan sang ibu. 

Marni dan Rahayu, dua orang yang memiliki ikatan darah, tetapi menjadi semakin asing selama bertahun-tahun. Mereka berdua hidup dengan pemikiran masing-masing tanpa ada jalan keluarnya. Tetapi tak disangka, titik temu dari segala permusuhan keduanya datang lewat satu musuh yang sama, yaitu para penguasa dan aparat bersenjata. 

Sebagai rakyat kecil di tengah keruhnya situasi politik kala itu, keduanya terjebak dalam situasi penuh teror dan kekerasan. Sekalinya berusaha memberontak bahkan sekedar “menyakiti” perasaan penguasa atau aparat bersenjata, mereka bakal dicap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Cap yang begitu menakutkan karena siapa pun yang dicap PKI bakal dipenjara dan mendapatkan diskriminasi tujuh turunan dari negara dan masyarakat. 

3.  ”Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman” oleh Afifah Afra 

Tahun 1998 menyimpan memori kelam kebencian dan kekerasan rasial terhadap warga Tionghoa di Indonesia. Saat terjadi situasi politik yang memanas di 1998, Mei Hwa, gadis keturunan Tionghoa, mahasiswa kedokteran diperingatkan oleh keluarganya untuk tidak pulang ke Jakarta. Namun, ia nekat karena merasa situasi aman-aman saja. 

Tak disangka sesampainya di Jakarta, yang ia temui hanya luka dan trauma. Karena sentimen rasial ketika itu, rumah Mei Hwa dijarah massa. Abangnya entah hilang ke mana, ayahnya jadi gila, dan ibunya mati bunuh diri. Mei Hwa sendiri juga mengalami kekerasan seksual. Kekerasan sistematis yang kala itu memang secara spesifik menyasar para perempuan Tionghoa. Dalam kondisi pingsan, Mei Hwa dibawa ke rumah sakit jiwa.  

Saat ia terjebak dalam keterpurukan, Mei Hwa justru bertemu Sekar Ayu. Dia adalah perempuan pelintas zaman yang terus berjuang hidup pasca-mengalami berbagai kekerasan seksual selama masa penjajahan Jepang hingga peristiwa berdarah Tragedi 65. Bersamanya, Mei Hwa berbagi kisah yang perlahan menyemaikan semangat pada hati gadis Tionghoa ini. 

Baca Juga: Getir Perempuan Palestina: Ditundukkan Israel dan Bangsanya Sendiri  

4.  “Dari Dalam Kubur” oleh Soe Tjen Marching 

Dari Dalam Kubur adalah novel fiksi sejarah yang berangkat dari tulisan nonfiksi Soe Tjen Marching berjudul The End of Silence: Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia, yang lebih dulu diterbitkan Amsterdam University Press pada 2017. Dalam wawancaranya bersama Jawa Pos, keputusan membuat karya fiksi dari tulisan nonfiksinya datang karena menurutnya apa yang tak bisa disampaikan nonfiksi bisa diceritakan fiksi secara lebih mendalam dan gamblang. 

Novel ini sendiri berkisah tentang perempuan bernama Karla. Mengutip Marjin Kiri, Karla sejak kecil merasa diperlakukan tidak adil oleh ibunya, Lidya Maria alias Djing Fei yang dia anggap misterius. Ia pernah mengadu pada keluarganya, tapi tak pernah digubris. 

Sumber: Marjin Kiri

Dari sudut pandang Karla, Soe Tjen juga memperlihatkan bagaimana bingungnya seorang anak melihat gerak-gerik orang dewasa di sekitarnya pasca peristiwa 65-66. Suasana kala itu penuh dengan kecurigaan, rahasia, dan konflik dingin di sana-sini setiap harinya. Hal tersebut membuat Karla tak ayal punya dendam pribadi pada keluarganya hingga dewasa. 

Berpuluh tahun sesudahnya, dendam yang ia pupuk ini mulai terlihat titik terangnya. Satu demi satu rahasia itu mulai terkuak. Rahasia ini membawa nama ibunya dan hadir dalam kelindan tragedi 1965-1966 di mana banyak tapol yang dituduh PKI atau Gerwani. 

Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah 

5.  ”Perempuan Bersampur Merah” oleh Andaru Intan 

Sedikitnya 250 orang yang dituduh ‘dukun santet’ di Banyuwangi dan beberapa kota di Jawa Timur dibantai secara ‘sistematis’ dan ‘meluas’.  Pembantaian ini, dilansir dari BBC Indonesia, terjadi antara Februari 1998 hingga Oktober 1999 ketika Indonesia mulai dihantam krisis ekonomi dan politik yang ditandai maraknya kerusuhan sosial dan jatuhnya Soeharto dari kursi presiden. 

Pada mulanya, yang menjadi sasaran pembunuhan adalah orang-orang yang dituduh memiliki ilmu hitam untuk tujuan tidak baik. Mereka ini yang disebut sebagai ‘dukun santet’ oleh warga setempat dan sebagian masyarakat. Namun, target ini kemudian semakin meluas. Orang-orang yang tidak bersalah seperti guru agama, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), bahkan sipil bisa ikut dibunuh. 

Sumber: Penerbit Gramedia

Pembantaian ini jadi salah satu catatan kelam bangsa Indonesia. Pemerintah tak pernah becus menyusutnya, membuat tragedi berdarah ini justru berdampak pada langgengnya stigma korban pembantaian. Hal inilah yang berusaha dipotret dalam novel fiksi Perempuan Bersampur Merah oleh Andaru Intan. Andaru menciptakan karakter Sari, perempuan muda yang tak hanya kehilangan bapak yang tertuduh sebagai dukun santet, tapi ia juga kehilangan paman sekeluarga yang terpaksa pergi meninggalkan kampung lantaran mendapat stigma. 

Terpuruk karena kematian bapaknya, Sari lalu menuliskan daftar nama orang diduga kuat terlibat dalam pembunuhan orang terkasihnya itu. Ia pun meminta bantuan kepada kedua sahabatnya, Rama dan Ahmad untuk menyelidiki kejadian tersebut. 

Magdalene menyusun artikel-artikel sejarah, diolah dari berbagai sumber terpercaya. Misi kami agar para pembaca, khususnya Gen Z yang tidak mengalami langsung berbagai peristiwa di masa lalu, tak tercerabut dari akar sejarahnya. Yang terpenting tidak menjadi generasi yang “lupa”.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *