Issues People We Love

Hidupkan Palestina Lewat Cerita, Wawancara Eksklusif dengan Maya Abu Al Hayyat

Tentara di perbatasan, tembakan, raungan sirene, dan berita kematian adalah kenormalan bagi warga Palestina. Hal-hal ini juga muncul dalam puisi-puisi Maya. Namun, ia tak kehilangan tawa.

Avatar
  • November 21, 2023
  • 7 min read
  • 2748 Views
Hidupkan Palestina Lewat Cerita, Wawancara Eksklusif dengan Maya Abu Al Hayyat

Palestina tetap hidup sampai hari ini, karena puisi dan cerita yang terus-menerus dituturkan, ” tutur penyair dan novelis Palestina Maya Abu Al  Hayyat. Saya berkesempatan mewawancarainya pada sesi Writing the Future of Palestine di Jakarta Content Week 2023, Taman Ismail Marzuki, (10/11). Penampilan musik Tesla Manaf menjadi pembuka, jeda, dan penutup sesi yang membangun atmosfer percakapan dengan suasana misteri dan melankoli.

“Orang-orang bertanya, kenapa saya bisa ada di sini? Mungkin saya ingin melarikan diri,” ujarnya tertawa. Indonesia adalah satu-satunya negara yang tak menetapkan aturan visa pada warga Palestina.

 

 

Tinggal di Jerusalem—satu jam jalan darat dari Gaza yang jadi target utama penyerangan Israel—dan bekerja Ramallah—20 menit dari Jerussalem tapi mesti melewati titik pemeriksaan—kehidupan Maya jauh dari “normal”. Tentara dan senapan di titik-titik perbatasan, tank-tank di alun-alun kota, ban-ban yang dibakar dalam aksi protes, sirene dan suara tembakan, berita-berita kematian adalah kenormalan bagi warga Palestina. Hal-hal ini juga yang kerap muncul dalam puisi-puisi Maya. Namun, Maya berhasil tak kehilangan rasa humor, juga tawa.

“Saya banyak tertawa, karena banyak menangis. Mungkin ini adalah respons terhadap trauma,” ungkapnya.

Baca juga: Getir Perempuan Palestina: Ditundukkan Israel dan Bangsanya Sendiri

Kami membahas perjalanan kepengarangannya, khususnya dalam “You Can Be The Last Leaf” (2022), antologi dari empat kumpulan puisinya terdahulu yang memperlihatkan pertumbuhan Maya sebagai penyair dari waktu ke waktu. The Last Leaf diterjemahkan oleh Fady Joudah, dokter dan penyair Palestina yang lahir di Texas, AS karena orang tuanya bermigrasi ke sana, dan menghabiskan masa remajanya di Libya dan Saudi Arabia.

“Terjemahannya sangat bagus,” ujar Maya di belakang panggung. “Tapi dia lelaki, jadi biasalah bahasanya lebih berbunga-bunga. Sedangkan puisi-puisi saya sebetulnya lebih langsung dan lugas.”  

Menurut Maya, lelaki penulis Palestina kerap menulis tentang politik, cenderung berkhotbah dan berlanggam metaforis. Sementara, perempuan penulis Palestina lebih tertarik para cerita-cerita tersembunyi dan rahasia-rahasia dengan gaya yang tak begitu metaforis. Sastra perempuan Palestina lebih sering menyampaikan kehendak memahami sesuatu dan bukan memberikan jawaban final atau nasihat.

Terlepas dari gaya yang berbeda tersebut, puisi menurut Maya sangat hidup dalam tradisi masyarakat Palestina yang mengalami penjajahan selama 75 tahun. Tema nasionalisme merupakan salah satu yang paling sering diungkapkan, tak terkecuali dalam puisi Maya.

Kita

Ya, kita

Yang mengibarkan bendera di setiap acara,

Menyebut Palestina dua puluh kali di setiap kalimat

Terlalu lama takut tertawa

Merasa bersalah atas kegembiraan kecil

Kita para pengejar

Identitas

Tempat kelahiran

terlebih tanah pemakaman

Kita, baik hati dan keji

Pahlawan dan pemberontak

Yang pertama mati, dan bila perlu, yang terakhir

Kita para nasionalis, kaum sentimental, yang menangisi

selalu menangisi

anak-anak yang tak kita kenal

(Kita-Abu Al Hayyat)

Baca juga: 5 Buku tentang Palestina yang Harus Kamu Baca

Namun kebanyakan puisi Maya tak mengangkat—bahan cenderung menjauhkan diri dari—narasi kehebatan pahlawan dan figur-figur terkemuka. Aku hidup di dalam cerita orang-orang/seperti batu mengambang dalam ruang/ tak mau dan tak akan jatuh. (Aku Tak Suka Orang-Orang Hebat– Abu Al Hayyat. Ia justru ingin lebih banyak merekam denyut nadi keseharian, orang-orang yang berada di balik perlawanan dan merawat kehidupan agar terus berjalan. Seperti dalam puisinya Ibu-ibu Menata Kepedihan di Malam Hari.

Para ibu yang menyangga rumah,

membuka jendela,

mengangin-angin karpet di atas genting,

menyingkirkan kutu dari kasur lama tak tersentuh

berjaga-jaga jika ada yang bertamu

Ibu-ibu yang tak minta

imbalan apapun

menata kepedihan di malam hari

meminyaki rambut putri-putri mereka

di ranjang mereka tergolek membalikkan tubuh

Dan ketika tertidur

mereka mendengkur

menandai rumah dengan sebuah nama dan suara

Melalui puisi-puisi Maya dalam “The Last Leaf, pembaca dibawa pada kilasan berbagai keping tragedi yang dipaksa menjadi “Duka Cita Biasa”. Sebab, kehilangan dan kematian selalu begitu lekat dengan masyarakat Palestina. Maya sendiri kehilangan lelaki yang dicintainya yang ditembak mati tentara Israel pada hari pertama intifada kedua di Nablus pada 2000.

“Saya menangis tak henti-henti, dan menulis begitu banyak puisi tentangnya, bahkan masih menuliskannya sampai hari ini. Hidup saya tak pernah sama lagi. Setelahnya saya terlibat dengan hubungan yang salah, orang yang salah, bahkan mungkin termasuk dengan suami saya sekarang,” tuturnya.

Sejak mereka bilang kekasihku takkan pulang dari perang

Kutuliskan nama anak-anak kami

Di awan dan catatan-catatan harian

Merekam perayaan ulang tahun mereka

ukuran sepatu, puisi-puisi yang mereka bacakan

selamanya

Aku tahu tak satu pun dari mereka kembali dari perang

Termasuk aku

(Sejak Mereka Bilang Kekasihku Takkan Pulang dari Perang, Abu Al Hayyat)

Baca juga: Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang

Lahir di Beirut dari ibu asal Lebanon dan ayah pejuang pembebasan Palestina, Maya kerap mengalami tinggal berpindah-pindah rumah bahkan negara. Orang tuanya bercerai ketika berusia setahun, dan ia tinggal di rumah bibinya di Jordan selama sebelas tahun, sebelum akhirnya menetap di Jerussalem sejak usia 15. Sejak muda, rumah Maya adalah kata-kata. Ia terbiasa membangun ‘rumahnya’  dari bacaan; buku-buku dan majalah. Ia membangun rumah “di punggung kuda/yang siap berlari ke tanah lapang” (Rumahku, Abu Al Hayyat)                  

“Pindah dari rumah yang satu ke rumah lain, kamu butuh cepat melakukan penyesuaian, sekaligus bisa dengan mudah  kehilangan diri sendiri. Saya selalu berusaha mengingat, siapa diri saya? Apa yang saya lakukan? Saya selalu mengatakan pada diri saya, semua terjadi pada saya karena saya seorang penulis,” tutur Maya.

Saat ini Maya telah menerbitkan empat buku puisi dan empat novel. Ia juga menulis lebih dari 50 buku anak, kebanyakan bertema filsafat, dan menjadi Direktur Palestine Writing Workshop yang menyelenggarakan kegiatan membaca dan menulis kreatif bagi pelajar, guru, dan para tahanan. Ia juga menjadi editor The Book of Ramallah.  

Sebagai penulis, ia produktif di tengah pasang surut kehidupan pribadi dan masyarakatnya, seolah berkejaran dengan waktu. Mungkin karena pembantaian mengajariku untuk tak menunggu/para korban ditarik dari puing-puing/tak mengikuti cerita para penyintas/Aku melanjutkan hari-hariku tanpa jeda untuk takjub/Teman-teman toh melupakanku/ dan jika beruntung juga musuh-musuhku/Tanpa perasaan aku melintasi kenangan. (Pembantaian, Abu Al Hayyat)

Hidup terus berjalan, mendesak tanpa ampun kepada siapa pun untuk bertahan, bahkan dalam konflik tak kunjung berakhir seperti dialami warga Palestina. Maya bercerita, setiap keluarga biasanya selalu menyiapkan satu koper berisi hal-hal terpenting, siaga untuk keadaan darurat yang bisa datang setiap saat. Para orang tua melatih diri dan anak-anak mereka untuk tak lekat dengan apapun, orang lain, barang-barang, tempat tinggal, karena mereka bisa meninggalkan dan ditinggalkan kapan pun, tanpa persiapan. Kematian seolah mengintai di setiap sudut.

Bagaimana jika/

Setiap kutinggalkan rumah adalah bunuh diri

Dan setiap pulang/ upaya yang gagal

(Bagaimana Jika– Abu Al Hayyat)

Namun Maya, mungkin juga banyak warga Palestina lainnya, berusaha mempersiapkan diri terhadap maut. Kita bisa mati dari kecelakaan lalu lintas/atau sakit kronis yang membuat orang lain berharap kita mati, tulisnya. Mungkin dalam kelaparan/pasangan kita akan memakan kita/ Merokok membunuh/ terlalu banyak seks/kurang bersenang-senang/kebakaran dari lilin beraroma/supir depresi/suami pencemburu/perampok pemula. Begitu banyak cara untuk mati, termasuk mati saat menanti kematian.

Kematian setiap kita mungkin suatu kepastian, tapi Palestina niscaya akan tetap hidup. Palestina adalah gagasan yang akan selalu bergelora melalui puisi-puisi dan cerita-ceritanya, betapa pun Israel dan sekutunya coba memberangus dan membumihanguskan.

Lalu bagaimana masa depan Palestina yang dibayangkan Maya? Ia menggeleng. “Entahlah. Mungkin segalanya akan berpindah ke digital. Semua dokumen, sejarah, buku-buku, catatan, kami mulai mempersiapkan ke arah sana. “

Sebagai pencerita, Maya dan juga penulis-penulis lainnya, masih ingin menjadi daun terakhir untuk terus menghidupkan dan menyiarkan jutaan kisah kehidupan dan perjuangan warga Palestina. Cepat atau lambat semua daun akan gugur ke tanah/ Kau bisa menjadi daun terakhir/ Kau bisa yakinkan semesta/ kau bukan ancaman bagi kehidupan pepohonan.

Catatan: You Can Be The Last Leaf, Selected Poems Maya Abu Al-Hayyat diterbitkan Milkweed Edition (2022), diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Fady Joudah, diterjemahkan untuk artikel ini oleh Feby Indirani.



#waveforequality


Avatar
About Author

Feby Indirani

Feby Indirani adalah penulis Bukan Perawan Maria (Pabrikultur 2017), pengagas dan pengarah acara Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *