People We Love

Perempuan Wartawan Pertama Rohana Kudus Pergi, tapi Suaranya Abadi

Rohana Kudus adalah perempuan wartawan pertama Indonesia yang giat memperjuangkan hak-hak puan.

Avatar
  • August 18, 2023
  • 5 min read
  • 1064 Views
Perempuan Wartawan Pertama Rohana Kudus Pergi, tapi Suaranya Abadi

Pada 2019, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh yang dinilai berjasa bagi Indonesia. Di antara nama yang muncul, ada sosok Rohana Kudus. Ia satu-satunya perempuan dari Sumatera Barat yang dicatat sejarah sebagai pahlawan sejak pertama kali diusulkan pada 2018.

Rohana Kudus alias Sitti Rohana lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam pada 20 Desember 1884. Ia mendedikasikan diri untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di masyarakat Minangkabau, yang notabene masih mendiskriminasi perempuan. 

 

 

Soraya Oktarina dalam penelitian bertajuk Rohana Kudus: Gender Dan Gerakan Sosial-Politik (2021) menjelaskan, paham matrilineal di tengah masyarakat Minangkabau, tidak serta merta membuat perempuan sejahtera dan setara dengan laki-laki. Banyak perempuan tetap tak diperbolehkan untuk sekolah karena perempuan berpendidikan lekat dengan citra pembangkang. Selain itu, tokoh adat berdalih perempuan sudah ditinggikan derajatnya dengan menjadi penjaga rumah gadang, sehingga tak butuh pendidikan lagi.

Tak cuma itu, perempuan harus rela dipingit dan dijodohkan dengan laki-laki pilihan sang mamak saat masih berusia 12 tahun. Pernikahan dini tak jarang membuat perempuan Minangkabau terperangkap dalam peran gender tradisional sebagai ibu dan istri selama hidupnya. 

Rohana Kudus sama seperti perempuan Minangkabau lain saat itu, juga punya nasib sama: Tak pernah sekolah. Beruntung, berkat jasa ayah Muhammad Rasyad Maraja Sutan yang berprofesi sebagai juru tulis sekaligus jaksa kepala, Rohana diajarkan menulis, membaca, dan menghitung. Sang ayah pun sering membawakan majalah dan buku berbahasa Belanda, sehingga membuat Rohana jadi cerdas dan gemar membaca.

Baca Juga: Andi Depu Pilih Bercerai dengan Suami Demi Kemerdekaan Negeri

Berjuang untuk Pendidikan Perempuan

Rohana kecil telah memiliki kesadaran untuk memajukan kaumnya sendiri. Ia enggan kemampuan membaca, menulis, dan menghitung ini cuma berhenti di dirinya sendiri. Karena itulah, setiap pagi, ia mengajak anak-anak seusianya yang belum bisa membaca untuk main ke rumahnya. Di serambi depan rumah, Rohana kecil membacakan majalah dan buku-buku seraya melatih teman sebayanya untuk mengeja hingga mereka pandai membaca. Tak cuma diajari Bahasa Belanda, tapi juga Bahasa Arab, baca tulis Alquran, hingga keterampilan memasak. Ia tak memungut imbalan untuk usahanya.

Saat ia dewasa tepatnya saat berusia 27 tahun, keinginannya untuk memberdayakan perempuan lewat pendidikan pun ia realisasikan dengan mendirikan sekolah Kerajinan Amai setia (KAS) pada 11 Februari 1911. KAS mengajarkan perempuan tanpa batas umur dan status sosial menulis, membaca, berhitung, menjahit, menyulam, dan menggunting.

KAS juga difungsikan sebagai pusat kerajinan perempuan Koto Gadang. Ia sendiri lalu menjalin kerja sama dengan pemerintah Belanda untuk pemesanan peralatan menjahit, sekaligus perantara memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa. KAS pun berkembang jadi lembaga perekonomian berbasis industri rumah tangga, koperasi simpan pinjam dan jual beli pertama di Minangkabau yang semua anggotanya perempuan.

KAS pun mulai menambah pelajaran pelajaran Ekonomi, Manajemen, dan Keuangan. Tujuannya agar perempuan bisa mandiri secara ekonomi lewat pemahaman pola keuangan yang terstruktur.

“Khususnya bagi perempuan dari kalangan tidak mampu. Apabila perempuan bisa mencari nafkah untuk diri sendiri, paling tidak, kaum perempuan tidak akan bergantung pada orang lain. Hidup terus berjalan, masalah selalu ada. Kita tidak bisa diam dan hanya menangis,” kata Rohana dalam sebuah pertemuan.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Berjuang lewat Tulisan

Selain mendorong perempuan mendapatkan akses pendidikan, Rohana juga memperjuangkan kesetaraan perempuan lewat tulisan-tulisannya. Ia adalah sosok perempuan wartawan pertama Indonesia. Dikutip dari DW Indonesia dan Marwah, jurnal perempuan dan gender yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau pada 2011, perkenalan pertama Rohana dengan dunia jurnalistik terjadi kala ia menjadi kontributor untuk Poetri Hindia

Saat koran perempuan terbitan Tirto Adhi Soerjo di Batavia itu tutup karena diberedel pemerintah kolonial, Rohana memutuskan untuk menjalankan terbitannya sendiri. Awalnya, ia berdiskusi dengan Abdul Kudus tentang keinginannya membagikan pengetahuan dan pengalamannya ke perempuan lebih luas. 

Dari diskusi ini ia kemudian bertemu dengan Datuk Sutan Maharaja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe yang juga tokoh perintis pers Melayu. Bersama dengan anak Sutan Maharaja, Zubaidah Ratna Juita, Rohana dipercaya mengelola Soenting Melajoe, surat kabar yang lahir, dikelola, dan diperuntukkan untuk pembaca perempuan. 

Sebagai surat kabar perempuan, para koresponden dan kontributor Soenting Melajoe hampir 85 persen adalah perempuan. Media ini menerima tulisan dari perempuan kelas atas, seperti istri-istri pejabat dan perempuan siswa sekolah di sekitar Sumatera Barat, seperti Payakumbuh dan Pariaman.

Persentase mayoritas koresponden dan kontributor perempuan dalam surat kabar ini menunjukan bagaimana Soenting Melajoe punya kepentingan untuk memajukan kaum perempuan. Di bawah asuhan Ruhana, Soenting Melajoe jadi medium bagi para perempuan saling berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman di tengah masyarakat patriarkal. 

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Tak heran artikel-artikel yang diterbitkan Soenting Melajoe banyak memuat kritik terhadap hak-hak perempuan yang kerap dihilangkan. Para penulis di surat kabar ini kerap mengritik budaya patriarki yang saat itu kental di Sumatera Barat, seperti pernikahan paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi. 

Salah satu kritikan ini tercermin dari artikel perempuan bernama Marni yang terbit pada 3 April 1913. Ia menceritakan pengalamannya yang dilarang saudara laki-laki untuk bekerja di sektor publik, tepatnya sebagai juru tulis di Padang. Padahal saat itu, ia sudah diterima bekerja. 

Tidak berhenti di Soenting Melajoe saja, kiprah Rohana di bidang jurnalistik juga tercermin dalam keikutsertaannya memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat jadi redaktur di surat kabar Radio, harian yang diterbitkan Cinto Melayu di Padang. Tulisan-tulisan Rohana dalam berbagai surat kabar ini, dikutip dari Historia, kebanyakan berisi ajakan bagi perempuan agar lebih maju. 

“Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan,” kata Rohana.

Ia tidak hanya mengritik praktik pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, tetapi juga mengkritik tanam paksa di Perkebunan Deli, dan permainan para mandar yang menjebak perempuan buruh ke dalam prostitusi. Dengan tulisan-tulisan yang lantang dan tajam inilah menurut penelitian Women’s Newspapers As Minangkabau Feminist Movement Against Marginalization In Indonesia (2018), Rohana pernah dibui pada 27 Desember 1932.

Rohana dianggap sebagai ancaman dan dituduh melanggar Undang-Undang Spreekdelict (provokatif di media). Namun, tidak kapok dibui Rohana tetap melanjutkan perjuangannya melalui tulisan. Kegigihan inilah yang akhirnya membuat sosok Rohana penting pejuang kesetaraan dan keadilan gender di dalam sejarah Indonesia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *