People We Love

Fotografer Shindy Lestari: “Bagiku Seorang Ibu Juga Perempuan dan Seorang Manusia”

Lewat karyanya “Motherhood” dan “Five Months Before”, Shindy ingin mengingatkan kembali nilai pada sesuatu yang dianggap ‘biasa’.

Avatar
  • September 27, 2023
  • 8 min read
  • 2210 Views
Fotografer Shindy Lestari: “Bagiku Seorang Ibu Juga Perempuan dan Seorang Manusia”

Kehilangan seorang ibu 11 tahun lalu, masih jadi memori yang belum beranjak dari benak Shindy Lestari. Ia seorang documentary photographer yang bermukim di Bali, menampilkan karyanya bertajuk Five Months Before atau 5 Bulan Sebelumnya. Proyek foto ini ia tampilkan di The Jakarta International Photo Festival (JIPFest) 2023, pada minggu lalu di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

Proyek itu berisi memori selama lima bulan saat sang ibu menghabiskan waktu di Bali, sebelum beliau beristirahat dengan tenang selamanya. Shindy ingin mencoba terhubung kembali dengan memori lewat ‘artefak’ yang ditinggalkan ibunya. Ia juga mengumpulkan beberapa foto keluarga berisi gambar-gambar sang ibu.

 

 

Lewat wawancara eksklusif bersama Magdalene, Shindy bercerita perjalanan selama ia mengerjakan proyek foto ini. Pandangan Shindy pada ibunya juga menjadi berubah karena cerita-cerita tersebut.

Baca juga: Kebun Kali Code, Fitri Nasichudin, dan Penyelamatan Air dari Rakyat Biasa

Boleh diceritakan lebih dalam Mbak, apa yang ingin disampaikan melalui proyek foto Lima Bulan Sebelumnya ini?

Sebenarnya yang ingin aku sampein lewat proyek ini lebih kayak perjalanan untuk lebih maju ke depan. Meski kejadiannya udah 11 tahun yang lalu, aku masih menyimpan memori itu. Dan aku juga enggak benar-benar face the trauma.

Jadi aku selalu kayak, ya udah jalanin aja. Secara enggak sadar hubungan-hubungan yang pernah aku bangun dengan orang lain masih berdasarkan ekspektasi dan luka selama ini dirasakan. Seharusnya mama tuh seperti ini, jadi aku berusaha menjadi ibuku. Ketika ia enggak sempurna, aku kecewa, dan aku merefleksikan ini ke semua perempuan.

Sumber: Shindy Lestari

Aku juga pernah being rejected dalam beberapa hubungan sebelumnya karena latar belakang mama yang pernah ditolak orang tuanya. Padahal bagiku my mom never reject anyone, bahkan kayak aku Chinese, aku diperbolehkan untuk bertemu siapa saja.

Mama enggak pernah me-reject orang berdasarkan ras, agama, dan suku. And then when people reject me because I’m Chinese, because of my mom history, it was like, aku marah gitu, memangnya kenapa? Tapi setelah proyek ini dan melihat bahwa ditolak itu enggak apa-apa. Kalau memang ditolak, aku bakalan jawab surround with your people yang bener-bener support kamu. Meski pun enggak support atau sejalan, it’s okay. Daripada itu akan membuat hati kamu terluka.

Apa yang membuat Mbak Shindy tiba-tiba kepikiran untuk membuat karya tentang Ibu?

Sebenarnya dari foto potret mama yang ada tulisan tangannya “Tuhan Engkau yang Tahu Kepedihan Hati Saya”. Aku menjadi sadar, selama ini aku enggak pernah menanyakan perasaan mama. Foto ini juga diingatkan oleh Facebook. Bahwa dua bulan sebelum beliau meninggal, mama dan kakakku pergi ke Filipina untuk check-up dan itu menjadi liburan terakhir mama.

Sumber: Shindy Lestari

Mama was very thin, kurus banget. Tapi secara rekam kesehatan, ia enggak benar-benar sakit. Semua karena stres dan beliau enggak pernah cerita kayak ia punya utang berapa, kita enggak pernah tahu. Kurus, kurus, kurus, mungkin akhirnya depresi juga, tetep kita nggak pernah tanya keadaannya gimana. Karena mungkin waktu tahun 2012 belum seterbuka sekarang ya.

Mungkin jika mama bilang kalau ia seeking for help, kita akan berpikir mama gila dong. Karena kita bener-bener enggak tahu waktu itu keadaan mama seperti apa. Lewat foto yang ada tulisannya tangan tadi, aku menjadi semakin tahu kalau mama enggak pernah ngomong sama siapa-siapa, including her kids.

Baca juga: Puti Karina Puar, Ajak Ibu Berdaya lewat ‘Buibu Baca Buku’

Berarti sekarang akhirnya pandangan Mbak Shindy tentang sosok mama menjadi berubah?

Sangat berubah. Kalau dulu aku selalu menuntut jawaban. Kayak kenapa mama pergi, enggak mau cerita atau ketika ditanya mama kemana, pergi karena berhutang, kan kayak sesuatu yang enggak enak dan malu. Tapi sekarang aku lebih melihat kalau setiap keluarga pasti punya masalah masing-masing. Hanya saja bagaimana ia bisa terbuka di dalam keluarganya sendiri.

Aku juga mulai merefleksi diri kalau menjadi ibu banyak tuntutan, dituntut suami dan anak. Atau ketika anakku semakin besar, mungkin ia akan banyak menuntut, mama harus hadir, mama harus begini. Mungkin dulu aku melakukan hal yang sama dengan mamaku. Mama punya anak lima, sedangkan aku satu.

Bayangkan saja lima orang menuntut mama hal dan perhatian yang sama. Makanya sekarang I don’t want to obligated any moms now. Misalkan seorang ibu lain sedang bercerita, aku akan lebih banyak di posisi mendengarkan mereka. Enggak mau ada lagi di posisi yang memberi saran, kecuali jika banget-banget diminta atau ada di forum diskusi.

Aku pengen bilang just be a mom and don’t forget to yourself. Bagiku ibu itu status ya, saat kita menjadi ibu otomatis orang akan memanggil kita dengan embel-embel, ibu siapa gitu ya, contohnya Ibu Terra, karena anakku namanya Terra. Padahal I do have a name actually. Kita enggak lahir tiba-tiba menyandang status ibu. Meskipun statusnya sudah berubah tetap kita itu perempuan, perempuan juga manusia. Jika punya cita-cita, impian, dan hobi, gapapa kerjain saja.

Sumber: Shindy Lestari

Despite sebagai seorang ibu, perempuan juga manusia ya, Mbak?

Iya benar sekali. We’re human too.

Setelah proyek foto lima bulan sebelumnya tentang ibu, ada isu perempuan apalagi yang ingin Mbak Shindy kerjakan?

Aku sebenarnya sedang melakukan proyek berjudul Motherhood. Ini sudah mulai aku lakukan sejak tahun 2021. Tapi di tahun itu aku belum mulai memotret, aku baru merekam suara dan nulis-nulis narasinya. Aku merealisasikan proyek ini melalui self-portrait. Aku pasang kamera pakai timer atau minta suamiku men-setting. Sebelum itu like I have this certain narration in my head that I want to tell this one.

Alasan membuat proyek ini karena di tahun 2021 itu aku punya anak. Aku merasa hidupku menjadi jauh berubah. I start compare with my old self and start compare my burden with my husband. Kok kayaknya dia enak aja sih, bisa kerja ya kerja, enggak pernah ditanya anaknya ke mana. Sedangkan kalau sama aku pasti ditanya anaknya mana. Pikiran-pikiran seperti ini kadang aku diskusikan bareng suamiku. Dan beruntungnya aku punya support system yang oke, aku bisa ngomong apa pun sama suami.

Sumber: Shindy Lestari

Setelah mengerjakan proyek ini, aku juga berpikir kok semuanya terasa instan banget ya. Apalagi sebagai digital fotografer, aku hanya perlu kartu memori dan selesai. Sedangkan motherhood yang ingin aku sampein itu organik, ribet dan kompleks.

Sampai akhirnya awal tahun kemarin, aku menemukan satu keresahan soal sampah-sampah dapur. Karena selain fotografer, aku juga ibu rumah tangga. Setiap hari aku masak dan belanja semua kebutuhan. Dan tanpa aku sadari ternyata apa yang kita jajan dan beli itu lebih banyak dari seharusnya kita konsumsi. Semua itu pun lalu menjadi sampah. Akhirnya sampah-sampah tersebut didaur ulang lagi seperti kompos, pupuk dan lainnya.

Nah, tiba-tiba aku kepikiran gimana kalau sampah ini aku menggabungkan dengan self portrait aku yang membahas tentang motherhood tadi. Misalnya aku pengen ngomongin kerapuhan. Maybe I can show them image to you.

Baca juga: Santi Warastuti dan Legalisasi Ganja Medis: Saya Takkan Berhenti

Seperti apa cara Mbak Shindy menyambungkan self-portrait dengan sampah ini?

Waktu itu aku mau lepas ASI sama anakku, terus aku memotret diriku yang sedang melepas bra menyusui. Di satu sisi aku senang, tapi aku kok sedih ya, karena mau melepaskan momen berharga ini. Momen yang it’s only me and me and the kid. Aku merasa serapuh ini ya ternyata kita sebagai perempuan.

Sumber: Shindy Lestari

Jadi aku pun menggabungkan self-portrait tadi dengan kulit telur yang sudah aku keringkan selama tiga hari. Enggak aku tempel menggunakan lem, tapi aku susun satu-satu. Ada campur tangan secara manual di dalamnya dan aku belajar menikmati proses tersebut. So whatever happens, mau anak aku hancurin atau tiba-tiba enggak sengaja aku senggol, ya sudah aku ulang prosesnya, atur cahaya dan difoto ulang.

Yang aku harapkan adalah kejujuran. Layer-layer yang gak bisa, mungkin bisa dilakukan dengan photoshop tapi aku enggak mau. Bukan kayak, I’m looking for the perfection. Aku pengen kasih lihat karya yang organically. Seperti ruang domestik, hal-hal domestik dan dapur yang kita lakuin selama ini dipandang common, justru kenyataan enggak gampang. Kalau motherhood itu sesusah itu, se-absurd itu.  I want to put a value on that. Karena mungkin nantinya ini bakalan jadi karya yang berharga.

Semua karya yang Mbak Shindy ini ingin sampaikan berdasarkan pada isu-isu perempuan, seperti menjadi ibu dan motherhood. Sebagai seorang fotografer dan juga perempuan, bagaimana Mbak menghadapi dunia fotografi yang sangat maskulin dan male-dominated ini?

Aku belajar untuk berani lebih bold, lebih unik dalam berkarya. Aku selalu berusaha pelan-pelan untuk membawa diri menjadi sosok yang konsisten. Ketika orang mengenal karyaku, aku ingin mereka melihat konsistensi itu. Seperti personaku sebagai seorang ibu dan artis yg terbatas dengan ruang dan waktu, gimana caranya karya-karyaku bisa lahir dari sesuatu yang biasa dan erat sama ruang domestik. Dan yang paling penting adalah pede atau percaya diri.

Aku kadang-kadang juga sering merasa enggak pede ketika diskusi foto bareng laki-laki. Tapi aku menyadari kalau kita sebagai fotografer perempuan itu unik dan penting.

Kalau aku sebagai perempuan dan ibu menganggap hal-hal yang biasa seperti itu berharga, maka kurasa baru aku bisa mengeluarkan karya yg menyuarakan nilai-nilai itu. Mau keadaannya orang melihat itu sudut pandangnya maskulin atau enggak.

Kita perempuan harus terus maju. Walaupun keterbatasan kita lebih banyak dari laki-laki, kita bisa memanfaatkannya dengan cara yang lebih menarik dan berani daripada laki-laki. Tapi tentu dengan keunikan dan privilese yang kita miliki.

Ada pikiran yang selalu aku pikirin sebagai fotografer perempuan. I don’t want a battle that I know, I won’t win, I won’t be a winner in that battle. Jadi aku enggak akan pernah mau main di pertarungan yang aku tahu aku gak akan menang sebagai perempuan. Karena ngapain, itu akan waste my time. Tapi aku akan memanfaatkan apa yang aku punya sebagai seorang perempuan dan kekuatan yang aku miliki sebagai seorang artis untuk berkarya. Seperti proyek motherhood yang sedang aku lakukan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *