Data Journalism Environment People We Love

#TanahAirKrisisAir: Kisah Sri Hartini Jaga Hutan Adat Wonosadi demi Anak Cucu

Tanpa Sri Hartini yang teguh menjaga Hutan Wonosadi, bisa saja tragedi hilangnya mata air akibat pembalakan liar puluhan tahun lalu itu terulang lagi.

Avatar
  • February 7, 2024
  • 10 min read
  • 4718 Views
#TanahAirKrisisAir: Kisah Sri Hartini Jaga Hutan Adat Wonosadi demi Anak Cucu

Bicara hutan berarti bicara kehidupan. Sebab, salah satu fungsi pohon-pohon di hutan adalah untuk menyerap air yang besar. Jika air gagal diserap, ancaman bencana dari banjir, longsor, sampai kekeringan yang mengganggu hajat hidup, sudah tentu mengintai warga di sekitar. Terdengar klise, tapi dampak kerusakan hutan pernah dialami Sri Hartini, 55, warga Dusun Duren, Desa Beji, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Padahal, tempat tinggalnya tak jauh dari Hutan Adat Wonosadi.

Kejadiannya sekitar 1964. Saat itu, Hutan Adat Wonosadi dirusak sekelompok masyarakat. Mereka menebang kayu dari pohon-pohon rimbun, hingga tersisa empat pohon. Akibatnya sumber mata air mati, masyarakat kekurangan air, dan sawah-sawah rusak tak bisa ditanami.

 

 

“Mau mandi aja harus ke sumur umum, gantian. Sama gendong gerabah buat ngambil air,” cerita Sri pada Magdalene, (25/1).

Selain kesulitan air, warga Dusun Duren saat itu merasa tak nyaman. Hewan-hewan keluar dari hutan setiap Magrib hingga Subuh, membuat suasana kian mencekam. Karena itu, didampingi pemerintah desa, Sudiyo—ayah Sri—memimpin masyarakat setempat untuk menghijaukan Hutan Adat Wonosadi.

Kini hutan adat tersebut kembali lebat, menjadi tempat tinggal berbagai satwa, dan lokasi sumber tiga mata air penopang kehidupan warga: Mplok Blembem, Sengon, dan Kalas. Semua berkat perjuangan panjang Sudiyo dan Sri, yang kini meneruskan kerja keras ayahnya, bersama Kelompok Ngudi Lestari—beranggotakan 25 orang yang menjaga dan melestarikan Hutan Adat Wonosadi.

Saat berkunjung ke kediamannya, Sri mengajak tim Magdalene menyusuri Hutan Adat Wonosadi. Di sana kami berbincang seputar keinginan Sri meneruskan perjuangan ayah, perjalanan bersama Kelompok Ngudi Lestari, dan keseharian sebagai seorang ibu. Berikut kutipan wawancaranya.

Baca Juga: Kebun Kali Code, Fitri Nasichudin, dan Penyelamatan Air dari Rakyat Biasa

Bu, boleh diceritakan sejak kapan wilayah Wonosadi ini menjadi hutan adat?

Dulu hutan ini tempat petilasan selir Brawijaya yang kelima, Ibu Roro Resmi, bersama dua anaknya, Raden Onggoloco dan Gading Mas. Mereka dari Kerajaan Majapahit yang moksa di dalam hutan ini.

Sebelum moksa, Raden Onggoloco meninggalkan beberapa pesan. Yang utama, kita enggak boleh merusak Hutan Adat Wonosadi. Selain itu dilarang berbuat asusila, dan membuang air besar maupun kecil di dalam hutan. Kalau ada yang melakukan larangan itu, akan merasakan sendiri hukumannya. Tapi ya kita enggak tahu, hukumannya apa.

Akhirnya atas permintaan warga di sini, Hutan Adat Wonosadi jangan dijadikan tempat wisata umum. Sebaiknya untuk wisata bertujuan khusus, demi menghormati adat dan petilasan.

Sumber: Magdalene/Tommy Triadhikara

Kegiatan adat apa saja yang dilakukan di sini?

Sadranan dan bersih dusun. Kalau Sadranan itu upacara adat yang dilakukan setahun sekali, setelah panen padi. Ya kira-kira bulan Juli. Di situ kami mengucapkan syukur setelah panen, dan berdoa kepada Tuhan supaya panen berikutnya menjadi berkah dan melimpah.

Awal Sadranan itu dari Raden Onggoloco yang moksa. Dulu beliau dikirimkan makanan ke hutan setiap hari—karena bertapa di sana jadi enggak mau turun. Raden Onggoloco titip pesan, jangan nganter makanan setiap hari. Lama-lama seminggu sekali, sebulan sekali, dan setahun sekali, yang dinamakan Sadranan tadi.

Kalau bersih dusun, dilakukan seminggu setelah Sadranan. Intinya setiap dusun bersyukur setelah panen, tapi dilakukan di Balai Padukuhan dengan adat masing-masing.

Kalau kita ngobrolin penjagaan hutan, awalnya Pak Sudiyo menjaga Hutan Adat Wonosadi sejak 1966. Butuh waktu berapa tahun, sampai hutan ini hijau kembali?

(Hutan Adat) Wonosadi kelihatan hijau itu tahun 2000, didampingi pemerintah dan dinas terkait untuk penanaman. Intinya, kami menanam (tumbuhan) yang bisa membantu ketersediaan air. Soalnya mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani.

Lama-lama ya banyak sekali jenis tumbuhannya. Ada beringin, sengon, mahoni, petai. Di area lima hektare ini kebanyakan buah-buahan, untuk makanan kera supaya enggak merusak tanaman warga.

Panjang sekali ya, Bu, perjalanan Pak Sudiyo sampai hutannya kembali hijau seperti ini.

Iya. Saya kalau mengingat perjuangan bapak, suka nangis. Dulu bapak dicemooh orang-orang. Katanya mau dapat apa kerja kayak gitu (menjaga hutan)? Cuma bapak sabar, enggak ngambil hati, nanggepin, apalagi memusuhi orang-orang itu. Sekarang mereka juga merasakan hasil (dari hutan).

Almarhum bapak selalu menasihati saya, “Janganlah meninggalkan air mata untuk anak cucu kita, tapi tinggalkan mata air.”

Alhamdulillah dari perjuangannya, Menteri M.S. Kaban (Menteri Perhutanan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) datang ke Hutan Adat Wonosadi. Terus bapak diajak umrah. Ya berkah dari perjuangan tanpa pamrih.

Melihat perjuangan Pak Sudiyo yang enggak mudah, kenapa Ibu memilih nerusin perjuangan bapak?

Dari kecil, saya memang ngikutin kegiatan bapak (di hutan) dan diajarkan untuk mencintai hutan, serta melestarikan alam maupun budaya. Misalnya menanam, membersihkan lingkungan di sekitar hutan, atau saluran air yang ada di hutan.

Lalu karena bapak udah tua, saya sempat nemenin beliau tiap ada tamu yang berkunjung ke hutan. Atau ikut datang rapat untuk mencatat, walaupun belum bergabung di kepengurusan ya. Pas bapak meninggal pada 2011, saya yang menggantikan.

Sumber: Magdalene/Tommy Triadhikara

Berarti Bu Sri meneruskan peran bapak atas keinginan sendiri ya?

Prosesnya enggak mudah. Ada tiga kali proses pemilihan, dan teman-teman (Kelompok Ngudi Lestari) belum ada yang mau menggantikan. Akhirnya saya yang meneruskan. Itu juga karena amanah bapak sebelum meninggal, dan masih tertanam di hati saya sampai sekarang.

Padahal, sejak 2008 saya lagi ngerintis dan ngajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Jadi kegiatannya berbarengan (dengan menjaga hutan). Tapi karena lebih mengutamakan kegiatan di hutan, tahun 2016 saya keluar dari PAUD.

Baca Juga: Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki

Apa yang Pak Sudiyo sampaikan saat itu?

Pas di ruang ICU bapak pesan, katanya jangan merusak hutan. Kesenian Rinding Gumbeng itu juga dijaga, jangan sampai hilang.

Tadinya juga saya berat untuk menggantikan almarhum (bapak). Saya satu-satunya perempuan di Kelompok Ngudi Lestari, soalnya dulu anggotanya laki-laki semua. Kadang saya bertanya sama diri sendiri, apa bisa memimpin kelompok itu? Akhirnya karena amanah, niat, dan ikhlas, saya menggantikan bapak sebagai ketua penjaga hutan.

Almarhum bapak selalu menasihati saya, “Janganlah meninggalkan air mata untuk anak cucu kita, tapi tinggalkan mata air.”

Waktu itu Bu Sri jadi satu-satunya perempuan di kelompok penjaga hutan. Ada kesulitan yang dihadapi?

Awalnya PR saya itu mikirin, gimana cara membagi dan merangkul teman-teman untuk menjaga dan berkeliling hutan yang luasnya 25 hektare ini—20 hektare hutan belantara, sisanya dikelola Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Tapi kan masih ada teman-teman bapak, saya minta petunjuk sebelum menyusun rencana kegiatan. Lalu berkoordinasi sama mereka. Alhamdulillah, sampai sekarang masih dipercaya sebagai ketua.

Sekarang anggotanya masih lebih banyak laki-laki ya bu?

Iya. Dari 25 orang, ada lima orang perempuan. Di antara mereka itu ada yang melanjutkan peran suaminya setelah meninggal. Dia datang ke saya, mengajukan diri untuk jadi penjaga hutan.

Apakah Ibu juga pernah dicemooh, seperti Pak Sudiyo dulu?

Pengalaman itu ya ada. Katanya kerja kayak gini mau dapat apa? Tapi saya enggak mikirin. Yang penting pekerjaan ini enggak merugikan orang.

Apa tantangannya selama menjadi penjaga hutan?

Lebih ke gimana kami bisa masuk hutan dengan aman, nyaman, dan enggak terancam saat berkegiatan. Soalnya masuk hutan belantara harus punya peralatan, kayak sepatu dan pelindung kepala. Belum lama ini dikasih sama DAAI TV, sebelumnya pakai alat-alat seadanya.

Tadi Ibu sempat cerita, Kelompok Ngudi Lestari juga berkeliling hutan adat. Boleh diceritakan aktivitas kelompok ini apa saja?

Kami membersihkan tangga masuk Hutan Adat Wonosadi. Lalu patroli bergiliran, seminggu tiga kali. Ada tiga sampai empat orang per kelompok. Selama patroli itu, kami ngeliat ada enggak kayu yang dirusak atau dicuri orang. Kalau ada, kami menangkap berdasarkan bukti, misalnya alat untuk mencuri. Kemudian kami melaporkan ke pemerintah desa, nanti mereka yang memberikan pembinaan. Tapi kalau pemerintah desa enggak mampu (membina), diarahkan ke kantor polisi.

Sri Hartini sedang menyapu anak tangga di Hutan Adat Wonosadi (Foto: Tommy Triadhikara)

Tadinya juga saya berat untuk menggantikan almarhum (bapak). Saya satu-satunya perempuan di Kelompok Ngudi Lestari, soalnya dulu anggotanya laki-laki semua. Kadang saya bertanya sama diri sendiri, apa bisa memimpin kelompok itu? Akhirnya karena amanah, niat, dan ikhlas, saya menggantikan bapak sebagai ketua penjaga hutan.

Pernah ada yang merusak atau mencuri di hutan?

Ada, dulu kita harus “perang” dengan masyarakat sendiri. Pas bapak masih jadi ketua penjaga hutan, satu sampai dua orang nebang kayu. Ada juga yang merumput. Kan tanaman baru ya, enak banget untuk makanan ternak. Padahal dilarang juga merumput di sini.

Kalau selama saya menggantikan, belum ada yang rusak. Sekarang masyarakat udah sadar pentingnya manfaat hutan, karena Hutan Adat Wonosadi utamanya sebagai sumber air.

Gimana prosesnya, Bu, sampai masyarakat di sini punya pemahaman untuk enggak mencuri tanaman atau merusak hutan?

Mereka taat dengan hukum adat yang berlaku. Terus ya merasakan juga pentingnya hutan yang terjaga dan lestari. Ada tiga mata air di Hutan Adat Wonosadi. Jadi masyarakat di sini tinggal muter keran, udah keluar airnya, jernih. Enggak pernah kekurangan seperti dulu.

Sri Hartini di mata air Mpok Blembem (Foto: Tommy Triadhikara)

Kalau mata airnya digunakan untuk apa saja?

Untuk kehidupan sehari-hari dan bertani. Pas kemarau panjang kemarin (beberapa wilayah di Gunung Kidul khususnya bagian selatan, menderita kekeringan dan krisis air. Red), kami masih bisa menanam kacang dan jagung. Terus juga digunakan umat Hindu untuk mengambil air suci, saat perayaan hari besarnya.

Kalau selain sumber air, ada manfaat lain dari Hutan Adat Wonosadi yang dirasakan warga?

Hidup di dekat hutan ini terasa sejuk dan nyaman. Udaranya adem, beda dengan di kota. Dari segi ekonomi, kami enggak bergantung sama hutan ini, karena enggak memanen. Jadi pohon atau buah itu dibiarkan busuk, mati, dan roboh. Enggak ada yang ngambil.

Baca Juga: Cerita Penjaga Hutan di Sumba Timur: Hidup Kami Bergantung pada Alam

Bu, hutan ini luas sekali. Dan kalau patroli, ibu keliling ke semua area. Apakah Ibu enggak takut dengan risikonya?

Sempat takut. Soalnya sebelum pandemi COVID-19 ada orang hilang, sampai sekarang enggak ditemukan. Itu dua bulan dicari oleh tim SAR DIY dan 20 paranormal. Padahal, kalau dimakan binatang buas, harusnya ada jejak ditarik tapi ini enggak ada. Makanya kalau ke sini, saya harus ngajak teman.

Tapi keluarga setuju dengan peran Ibu sebagai penjaga hutan?

Namanya ibu harus ngurus rumah tangga, apalagi waktu anak-anak masih sekolah. Dulu juga bingung gimana bagi waktunya. Jadi ya pagi siapin dapur dan (keperluan) anak sekolah. Setelah selesai pekerjaan rumah tangga, baru bisa ke hutan. Cuma ya kalau di hutan ada kegiatan yang mulainya pagi, aktivitas di rumah harus dikerjain dari subuh. Itu udah kewajiban, enggak boleh mengelak. Memang berat jadi ibu rumah tangga.

Apalagi suami saya juga diabetes dan keluar dari pekerjaan karena kesehatannya drop, maunya saya di rumah. Pelan-pelan saya ngasih pengertian, kalau kami butuh uang untuk kehidupan. Suami enggak bisa kerja, ya saya yang harus mencari.

Ibu sendiri selama ini pernah sakit, dengan banyaknya kegiatan yang dilakukan?

Saya pernah enggak bisa jalan karena kaki sakit. Terus pinjam decker voli punya anak, dipakai kalau jalan nganter tamu ke hutan. Itu ya saya berbohong kalau kaki enggak sakit. Buat turun dari bukit ini kan sakit banget. Tapi saya tetap jalan, sambil berdoa dalam hati, minta kesembuhan buat kaki saya. Alhamdulillah pas saya pulang (dari hutan) itu, rasa sakitnya hilang. Lama-lama sembuh.

Lagi-lagi, risiko dari peran penjaga hutan besar sekali, Bu. Selama ini apakah ada keterlibatan pemerintah?

Saya lupa tahun berapa, Pak Lurah ngasih tip Rp25 ribu setiap bulan untuk kami. Itu hanya berlaku dua tahun. Setelah periode lurah yang baru kan kebijakannya berbeda, tipnya udah enggak ada lagi. Padahal kami ya enggak semata-mata jadi penjaga (hutan), ada anak yang ditanggung. Kebanyakan dari kami bekerja sebagai buruh.

Namanya ibu harus ngurus rumah tangga, apalagi waktu anak-anak masih sekolah. Dulu juga bingung gimana bagi waktunya. Jadi ya pagi siapin dapur dan (keperluan) anak sekolah. Setelah selesai pekerjaan rumah tangga, baru bisa ke hutan. Cuma ya kalau di hutan ada kegiatan yang mulainya pagi, aktivitas di rumah harus dikerjain dari subuh. Itu udah kewajiban, enggak boleh mengelak. Memang berat jadi ibu rumah tangga.

Dari DLH ada program misalnya penambahan tanaman, atau bikin taman keanekaragaman hayati, itu jadi ada lapangan kerja untuk orang-orang yang bekerja di Hutan Adat Wonosadi. Makanya teman-teman (penjaga hutan) saya masukkan ke situ, biar dapat sedikit upah.

Bisa dibilang minim ya. Lalu apa harapan ibu untuk pemerintah?

Sebenarnya pemerintah membebaskan kami dari biaya administrasi Rp100 ribu per tahun. Tapi ya, kami mohon, pemerintah atau pihak mana pun, tolonglah kami yang memikul beban untuk menghidupi anak cucu. Tolong diopeni, diperhatikan.

Artikel ini merupakan bagian dari series liputan Krisis Air di Daerah Istimewa Yogyakarta, didukung oleh International Media Support (IMS). Magdalene berkolaborasi dengan dua media, dari Filipina GMA News dan Timor Leste Neon Metin.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *