Culture Prose & Poem

Mega Mendung

Sebuah puisi tentang pergulatan transpuan.

Avatar
  • May 14, 2019
  • 3 min read
  • 777 Views
Mega Mendung

untuk: A

I

 

 

          Datangmu umpama kiambang, menyerlah seri yang ada, tetapi menyembunyikan jejak. Serimu mampu menyerlah sampai seribu tahun, akan tetapi jejakmu tiadalah mampu aku dapatkan sampai sebegitu lamanya.

 

II

          Datangmu umpama kiambang, menyerlah seri yang ada, tetapi menyembunyikan jejak. Kata segelintir perempuan, kau adalah akar penindasan—untuk segala sesuatunya. Dan seringnya, mana pernah penindas bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Persis anak laki-laki yang tidak pernah dididik orang tuanya untuk menggeser tuas penyiram air untuk menyiram kencingnya di kamar mandi umum.

          Datangmu umpama kelam. Kau buta dan tak mampu meraba. Durikah yang berbalam? Lumpurkah yang menyuruk? Potong sajalah tanganmu kalau kau tak mampu meraba. Pun rindu yang menguntit di balik jendela ini pun menjadi soal ketika tanganmu pun tak mampu merabanya.

 

III

          Datangmu adalah seperti orang yang gila konformitas. Darilah mripat hingga ke kaki adalah dentum yang bunyinya, mungkin saja, mengalahkan bom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Dan semuanya tepat kena jantung. Akan tetapi, kau adalah lambang keteraturan sampai-sampai rinduku pun harus kau buat teratur, termasuk kepada kelamin manakah aku harus merindu.

          Bermalam-malam aku menunggu kapankah rinduku bersambut, persis bagaimana lenggok biduan mengalunkan air lagu sedih. Menunggu bulan jatuh ke riba bukan pekerjaan mudah jika kartika sibuk memagarinya dan itu bukan sebuah keromantisan. Ingin kuikat selendang dan pergi ke atas sana membinasakan kartika-kartika tersebut dan kubawa pulang bulan bahkan jika aku harus mati sekalipun.

          Apalah daya, mimpi biarlah mimpi. Manakan mungkin perempuan terpenjara menang melawan perempuan merdeka?

 

IV

          Niat penentu segala, begitu katanya. Dan memang benar. Kadang aku harus memeriksa diriku sebagai seorang manusia, sejak tipu muslihat ada di sekujur pemikiran dan sadar kalau aku harus manut akan apa kata jantung ketimbang apa kata otak dan hati.

          Otak dan jantung memang sama-sama vital, tetapi masakan aku tidak menggunakan otak untuk menelisik mengapa harus kuturutkan jantung? Kemudian aku berpikir tentang perempuan merdeka yang ada di balik pintu. Aku, yang juga perempuan, hanya akan tambah terpenjara ketika menyerukan bahwa sesungguhnya aku cemburu.

          Kemudian, aku hanya bertanya, “Tuhan, bila menjadi perempuan terpenjara itu adalah yang jahat, mengapa tidak Kau bebaskan aku darinya?

2019

Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa



#waveforequality


Avatar
About Author

Magdalene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *