Kala Ibu Jadi Sumber Kesakitanku: ‘Queen Bee Syndrome’ dalam Keluarga
*Peringatan pemicu: Gambaran masalah kesehatan mental, termasuk depresi pasca-melahirkan.
Kita sering mendengar istilah Queen Bee Syndrome, terutama dalam dunia kerja. Profesor dari University of Michigan, termasuk G.L. Staines, T.E. Jayaratne, dan C. Tavris, dalam bukunya The Queen Bee Syndrome (1974) mendefinisikannya dengan perempuan berjabatan tinggi yang bersikap keras terhadap rekan kerja perempuan yang lebih junior.
Psychology Today menjelaskan, perilaku ini sering berkaitan dengan ekspektasi agar perempuan lain mengalami kesulitan yang sama dalam meraih kesuksesan. Seolah mereka harus “menderita” seperti dirinya.
Meski populer di dunia kerja, Queen Bee Syndrome juga muncul dalam konteks keluarga, antara ibu dan anak atau menantu perempuannya. Nadia, 31, menceritakan pengalamannya kepada Magdalene pada (13/8) lalu. Ia mengatakan, meski ibunya telah melakukan banyak hal baik, tuntutan dan tekanan yang diberikan telah menjadi sumber kesakitan dalam hidupnya, dari keharusan tampil cantik, berprestasi di karier, hingga memenuhi standar kesempurnaan tertentu dalam peran sebagai perempuan.
Baca juga: Dear Bunda, Saya Tak Akan Pergi Ke Mana-mana
Dituntut untuk Selalu Sempurna
Nadia merasa tuntutan tersebut sudah hadir sejak ia kecil. Terlebih dalam urusan kecantikan, ia bahkan sudah diajak ke klinik untuk perawatan kulit sejak usianya 11 tahun. Dari paksaan tersebut, Nadia sampai menyimpulkan kecantikan buat perempuan adalah segalanya.
“Aku tuh sampai kayak berpikir, ‘emangnya aku harus cantik untuk survive di dunia ini?’ Bingung banget gitu loh,” kata Nadia.
Tuntutan ibunya yang obsesif terhadap kecantikan berdampak pada kondisi mental Nadia. Ia sempat mengalami gangguan makan hingga fase kuliah, ketika ia sering memuntahkan makanan yang dikonsumsinya.
“Aku sempat ada masalah sama makan (Anoreksia). Aku setiap makan tuh selalu muntah, sempat kurus banget waktu kuliah. Aku enggak ngerti itu karena stres, diet, atau karena apa. Tapi kayak, itu tuh enggak sehat dan aku ngerasa ibuku terlalu micro-managing aku,” jelasnya.
Setelah melahirkan anak pertama, tuntutan kesempurnaan dari sang ibu berlanjut. Nadia tetap ditekan untuk menjaga kebersihan, penampilan, dan berat badan. Pada satu kesempatan, Nadia pernah disebut bau Air Susu Ibu (ASI) dan jorok. Padahal, saat itu ia baru selesai melahirkan anaknya yang pertama.
Bahkan, ia didaftarkan untuk berolahraga di sasana (gym) hanya beberapa minggu pasca-melahirkan, yang berujung pada lepasnya jahitan caesar. Ia tak bisa menolak lantaran ibunya selalu berdalih, itu yang terbaik buatnya. Namun nahasnya, paksaan ini berujung pada luka caesar yang kembali terbuka karena latihan yang terlalu dini.
“Akhirnya aku tuh nge-gym sama ibuku. Jadi bener-bener aku nge-gym dijemput terus ke gym ditungguin. Aku turun sih sekitar 12-13 kilo, tapi jahitan caesarku kebuka sekitar 2 mm,” ungkap Nadia.
Selain urusan fisik, tuntutan kesempurnaan juga muncul dalam pendidikan, karier, dan tanggung jawab rumah tangga. Nadia sering ditegur jika anaknya diurus oleh suami atau jika ia tidak sempat melayani pasangan.
“Ya beban ganda gitu lah ya, ‘walaupun kamu kerja tinggi tapi kamu harus tetap melayani suami’. Aku pernah ditegur sama ibuku cuma karena enggak ngambil nasi untuk suami atau anakku dipegang suamiku,” katanya.
Tidak heran, tekanan ini membuat Nadia mengalami kebingungan tentang sosok ibu ideal dan menimbulkan kecemasan berlebih saat mengurus keluarga. Ia merasa pencapaian yang diraih tidak pernah cukup, karena selalu harus sesuai standar kesuksesan versi ibunya.
Baca juga: Andai Jadi Ibu, Ini yang Takkan Saya Lakukan pada Anak
Kenapa Terjadi di Antara Ibu dan Anak Perempuannya?
Melihat fenomena ini, Luh Ayu Candra, Psikolog Klinis yang sering menangani kasus trauma pada perempuan, menyebut ada berbagai faktor yang jadi penyebab kenyinyiran ini muncul dari ibu ke anak atau menantu perempuannya. Salah satu yang terbesar adalah ekspektasi gender yang kadang lebih berat dilimpahkan pada perempuan.
“Kalau kita aplikasi ke pandangan yang lebih sederhana ya. Jadi ada kayak semacam gender expectation gitu antara orang tua ke anak yang same gender gitu. Misalnya anak ibu punya ekspektasi ke anak perempuannya,” jelas Ayu.
Ayu bilang ekspektasi gender ini juga tidak lepas dari sistem patriarki yang melahirkan stereotip gender. Dengan semua atribut gender yang dilekatkan pada perempuan, anak atau menantu perempuan selalu dikaitkan dengan kompetensi khas seperti bisa merawat, pandai memasak, sampai bisa melahirkan secara vaginal, tapi juga sukses di ranah publik.
“Perempuan itu diekspektasikan untuk selalu bisa misalnya nurturing, kompeten juga di ranah domestik, atau misalnya dia harus cenderung nikah cepat, punya anak cepat, melahirkan yang harus normal (vaginal), tapi juga kerja, tapi juga cantik, ngelayanin suami gitu. Ini berkaitan dengan stereotip gender itu,” imbuh Ayu.
Meskipun begitu, ketika sindiran dan hujatan datang dari ibu ke anak atau menantu perempuan, hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman sang ibu ketika dituntut–di masa mudanya–untuk jadi perempuan yang juga sempurna. Sering kali, sebelum ia banyak mengkritik anak atau menantu perempuannya, ibu sudah melalui derita yang sama.
“Kalau bicara tuntutan dan nyinyir itu datang dari ibu, bisa jadi dulu dia memang terpaksa memenuhi tuntutan itu juga sebagai upaya untuk bisa diterima lingkungan ya. Biar bisa survive gitu. Nyinyir itu kan sebenarnya kadang bentuk agresi verbal ya. Nah nyinyir ini bisa jadi respons reaktif itu karena ada situasi atau stressor gitu ya yang men-trigger traumanya itu,” kata Ayu.
Baca juga: Hari Ibu adalah Pengingat Agar Perempuan Bisa Memilih dengan Bebas
Bagaimana Harus Bersikap?
Ketika berhadapan dengan situasi serupa, Ayu bilang perempuan perlu segera mencari dukungan emosional dari siapa saja. Mengingat Queen Bee Syndrome pada ibu dapat menciptakan pengalaman trauma pada anak, Ayu menyarankan agar korban segera datang ke profesional jika dibutuhkan.
“Kalau enggak bisa mengelolanya sendiri gitu, cari support system yang bisa jadi sumber dukungan sosial. Bisa ke pasangan, keluarga, atau ke teman gitu. Atau bahkan ke profesional kalau sudah merasa butuh.”
Meskipun begitu, Ayu tidak lupa mengingatkan sistemlah yang jadi masalah utama dalam persoalan ini. Maka itu, ketika ingin mengatasi situasi serupa, korban bisa memulainya dengan mencari solusi terbaik yang bisa diaplikasikan dalam hidupnya.
“Jangan lupa kita (perempuan) semua ini terdampak dengan sistem. Jadi kita perlu menelisik lagi, ini ada enggak yang bisa diubah (dari situasi ini). Kalau enggak bisa diubah kayak sistem gitu, kita bisa fokus ke yang bisa diubah aja dulu, yang memang bisa diupayakan. Misalnya, bangun batasan dengan orang tua terutama ibu. Tinggal pisah atau bisa juga dengan mengurangi interaksi,” tutup Ayu.
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















