Queer Muslim hingga Kulit Hitam, 4 Alasan ‘Love, Victor’ adalah Tontonan Bergizi
‘Love, Victor’ merupakan serial apik yang mengangkat berbagai isu seputar remaja queer kulit berwarna.
Akhir Juni lalu, saya tamat menonton serial Love, Victor yang baru memasuki musim keduanya pada 18 Juni 2021 di Hulu dan Disney+. Selama menonton serial ini, saya banyak sekali berdiskusi dengan teman-teman daring saya tentang betapa sederhananya sineas Love, Victor menceritakan problem kelompok queer.
Serial asal Amerika Serikat (AS) ini mengisahkan remaja berdarah Puerto Rico, setengah Kolombia-Amerika, Victor Salazar, yang tumbuh dalam keluarga imigran religius. Selama menjadi murid di SMA Creekwood, sekolah umum di AS, Victor bergulat untuk menemukan dirinya sendiri, menghadapi tantangan keluarga juga teman-temannya.
Dengan latar belakang Victor yang berbeda dari kebanyakan serial remaja queer, Love, Victor relatif telah menarik perhatian banyak orang sejak penayangan perdana musim pertamanya.
Baca juga: 4 Alasan Kamu Harus Nonton Serial Netflix ‘Young Royals’
Berikut 4 alasan kenapa Love, Victor begitu spesial dan wajib kamu tonton:
1. Jadi Remaja Queer Kulit Berwarna di Lingkungan Maskulin
Selain jadi pelajar, Victor adalah atlet basket yang memiliki prestasi gemilang di timnya. Kendati berprestasi, ia tidak luput dari diskriminasi saat melela, memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Benji di depan teman-teman sekolahnya.
Victor awalnya berpikir, semua orang di sekolahnya akan menerima ia apa adanya. Namun ia keliru. Tak disangka, pelatih Victor, Ford, memanggilnya ke kantor pada hari pertama latihan usai liburan musim panas. Dalam perbincangan tersebut, Ford mengungkapkan bagaimana beberapa rekan satu tim Victor telah mengajukan keluhan tentang bagaimana Victor ditempatkan di ruang ganti dan ruang mandi yang sama dengan anggota lainnya kendati ia seorang gay. Teman-teman timnya ini takut mereka akan menjadi “mangsa” Victor yang seorang gay, seakan-akan Victor adalah predator seksual.
Sikap dari Ford dan kepala tim basket Victor, Andrew yang tidak tegas pun membuat Victor semakin frustrasi dan membuatnya bertanya mengapa ia dianggap sebagai seorang kriminal hanya karena orientasi seksual yang ia miliki.
Apa yang dialami oleh Victor ini sebenarnya merupakan refleksi dalam olahraga yang masih sangat homofobik. Out on the Fields (2015) dan OutSport (2019), melakukan penelitian terhadap homofobia dan transfobia dalam olahraga yang melibatkan 12.000+ partisipan lesbian, gay, biseksual, transgender dari semua negara Uni Eropa dan Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Melalui penelitian tersebut ditemukan, 80 partisipan pernah melihat atau mengalami homofobia, di mana sebanyak 51 persen laki-laki usia 15-21 telah menjadi sasaran perilaku homofobia dalam olahraga.
Baca juga: 10 Film dan Serial TV Bertema LGBT yang Wajib Ditonton
2. Jadi Remaja Queer di Keluarga yang Religius
Victor tumbuh di dalam keluarga yang religius dengan seorang ibu, Isabel yang merupakan jemaah taat gereja. Setelah Victor melela di depan orang tua dan adiknya, Isabel sulit menerima orientasi seksual anaknya. Hal pertama yang Isabel lakukan adalah mencoba menyangkal orientasi Victor dengan mengungkapkan bagaimana Victor di usia remaja mungkin kesulitan membedakan rasa kagum dan cinta terhadap Benji.
Seiring berjalannya waktu, Isabel tidak pernah mau mengakui Benji sebagai kekasih Victor dan bersikeras memandang Benji sebatas teman Victor, kendati anaknya telah memperkenalkan Benji sebagai kekasihnya. Penyangkalan Isabel ini pun membuat Victor frustrasi, belum lagi ibunya ini kerap memperlakukan Benji dengan dingin dan sangat tidak ramah dibandingkan dengan teman-temannya yang lain.
Perilaku homofobik yang Isabel lakukan kepada Victor dan Benji sebenarnya tidak datang dari ruang hampa. Namun, itu bersumber dari interpretasi agama yang kerap meminggirkan kelompok LGBT dan menganggap mereka sebagai dosa. Interpretasi yang diskriminatif ini disampaikan oleh Lawrance, pendeta gereja tempat Isabel kerap datangi.
Dalam satu adegan misalnya, Pendeta Lawrence mengungkapkan tidak ada yang bisa menyelamatkan orang-orang gay dari neraka karena apa yang mereka lakukan adalah dosa berat yang tidak bisa diampuni Tuhan. Dari sinilah Isabel kemudian sampai pada satu titik di mana ia mempertanyakan kredibilitasnya sebagai orang tua, titik kesalahan apa yang ia telah perbuat dalam mendidik Victor hingga Victor bisa sampai seperti ini.
Baca juga: Lampaui ‘Love, Simon’: 7 Film Queer Bertema ‘Coming of Age’
3. Susahnya Remaja Queer Mengakses Pendidikan Seks
Pendidikan seks yang komprehensif dan ramah remaja tentunya sangat diperlukan bagi semua remaja untuk lebih mengenali tubuh mereka sendiri dan mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan. Hal ini karena pendidikan seks yang komprehensif ramah remaja mengajarkan mereka untuk mengetahui konsekuensi saat mulai mereka aktif secara seksual, seperti kehamilan dan penyakit menular seksual.
Sayangnya, pendidikan seks komprehensif ramah remaja ini masih dipatok dengan standar pasangan heteroseksual, sehingga kebutuhan pendidikan seks untuk remaja queer masih tidak dilihat. Sebuah studi pada 2015 oleh Centers for Disease Control yang berfokus pada remaja lesbian, gay, dan biseksual melaporkan, remaja laki-laki gay dan biseksual memiliki tingkat HIV, sifilis, dan penyakit menular seksual lainnya (PMS) yang sangat tinggi, dan lesbian dan biseksual remaja perempuan lebih mungkin untuk hamil daripada rekan-rekan heteroseksual mereka.
Remaja queer tumbuh tanpa akses terhadap pendidikan seks yang memanusiakan mereka dan hal inilah yang berusaha Love, Victor angkat. Tanpa ada orang dewasa yang mampu memberikannya pelajaran mengenai pendidikan seks ini, Victor pun dihadapkan dengan tantangan untuk mencari tahu sendiri bagaimana caranya berhubungan seks yang aman dengan Benji.
Sayangnya, usaha dirinya untuk mencari tahu ini tidak membuahkan hasil. Ia bahkan mengeluhkan hal ini pada sahabatnya, Felix bahwa ia dan banyak remaja queer lain tumbuh dalam masyarakat yang sangat heteroseksual, di mana representasi dari kelompok mereka dilihat sebagai hal yang tidak wajar.
Satu-satunya akses yang mereka miliki untuk belajar pendidikan seks adalah melalui video porno yang sebenarnya tidak mendidik sama sekali. Kurangnya akses pendidikan seks ini juga membuat para guru tidak memahami keberagaman orientasi seksual yang dimiliki remaja dan cenderung menyangkal pengalaman mereka.
4. Representasi dari Karakter Laki-laki Queer Muslim
Hal terakhir yang membuat Love, Victor menjadi serial yang menempati tempat spesial di hati saya adalah adanya satu karakter remaja laki-laki queer Muslim, Rahim. Rahim secara perdana diperkenalkan di musim kedua sebagai sahabat dekat adik Victor, Pilar.
Dalam musim kedua ini, Rahim datang sebagai seseorang yang mampu memahami Victor yang sama-sama merupakan remaja laki-laki queer kulit berwarna yang berasal dari keluarga religius. Dengan pembawaannya yang asyik, Rahim mampu menavigasikan berbagai isu sensitif dalam percakapannya bersama Victor tanpa adanya intonasi menggurui.
Ia misalnya mengangkat isu bagaimana sebagai remaja queer kulit berwarna, ia dan Victor akan lebih rentan mengalami diskriminasi berlapis atas orientasi seksual mereka.
Rahim menjelaskan bagaimana ia lahir di dalam keluarga Muslim yang konservatif, di mana ibu dan ayahnya memandang pernikahan antara laki-laki dan perempuan sebagai sebuah ritual sakral yang harus dilalui setiap Muslim.
Ia juga menambahkan, sebagai seorang imigran, ibu dan ayahnya mengorbankan banyak hal untuk membangun kehidupan di Amerika, sehingga ia bisa mendapatkan kesempatan hidup lebih baik dibandingkan negara asalnya.
Namun, jika Rahim berani melela, kesempatan hidup yang sudah susah payah dibangun oleh orang tuanya ini mungkin akan sirna, karena remaja queer kulit berwarna mengalami diskriminasi yang lebih berlapis dibandingkan dengan remaja kulit putih yang lain. Bahkan tidak jarang bahkan remaja queer kulit berwarna akan menerima diskriminasi di dalam komunitas LGBT itu sendiri.
Rahim dalam hal ini pun menekankan bagaimana privilese kulit putih benar adanya dan remaja queer kulit berwarna masih harus mendapatkan diskriminasi berlapis kendati mereka sudah berada di dalam ruang yang mereka anggap aman.