Deretan Figur Publik yang Pilih Berisik, Ada Hindia hingga Sherina
Jakarta, (29/8) masih bergolak. Insiden yang merenggut nyawa Affan Kurniawan, 21, pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob sehari sebelumnya, telah memantik kemarahan kolektif.
Dari jalanan hingga media sosial, suara protes bersahut-sahutan. Musisi, artis, aktivis, hingga pakar hukum menyerukan hal yang sama. Bahwa tragedi ini adalah potret gagalnya institusi negara melindungi warganya.
Baca Juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol
Hindia dan Sherina Munaf Soroti Brutalitas Aparat
Musisi Baskara Putra, yang dikenal dengan nama panggung Hindia, tak lagi bisa menahan amarah melihat pola kekerasan yang menimpa rakyat. Lewat akun Instagram @wordfangs (29/8), ia menyoroti bobroknya sistem yang membiarkan tragedi seperti yang menimpa Affan Kurniawan terjadi berulang kali.
“Jangan hanya post korban. Post pelakunya. Akuntabilitas. Bahwa ini bukan masalah oknum, ini masalah institusional yang sudah mengakar, kejauhan, keterlaluan,” tulisnya.
Hindia mengingatkan, kekerasan aparat terhadap rakyat bukanlah hal baru. Pola ini sudah berulang selama bertahun-tahun. Karena itu, ia meminta publik, terutama mereka yang punya pengaruh, untuk tak hanya bersimpati pada korban. Pelaku dan struktur yang membuat kekerasan terus terjadi juga tak boleh lepas dari sorotan.
Mengutip pesan dari aktivis Sumarsih, Hindia menutup unggahannya: “Jangan yang ada hanya korban, tetapi pelakunya tidak ada.”
Suara Hindia punya pesan penting, kemarahan rakyat harus diarahkan ke akar masalah, bukan sekadar dibiarkan sebagai riuh sesaat.
Senada dengan Hindia, artis Sherina Munaf meluapkan amarahnya soal tanggung jawab aparat.
“Aparat seharusnya melindungi rakyatnya, bukan mengambil nyawa seseorang yang tengah bekerja banting tulang,” tulisnya dalam akun Instagram @sherinamunaf (28/8).
Dalam unggahan itu, ia juga menekankan, semua ilusi kekuasaan tidak bisa menutupi fakta bahwa Indonesia berdiri dan bertahan karena rakyatnya.
Kami sakit hati karena kami cinta negeri ini.
Kami marah, karena kami dikecewakan ketika ingin percaya.
Aku percaya Indonesia masih ada.
Dengar. Suara. Kami.
Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi
Kalis Mardiasih dan Watiek Ideo Soroti Amarah Pekerja Jalanan
Jika Hindia menyorot akuntabilitas institusi, aktivis perempuan Kalis Mardiasih mengingatkan pada wajah-wajah nyata yang hadir di aksi, yakni para pekerja jalanan.
“Tukang ojek, dan pekerja jalanan lainnya bukan sekadar massa. Mereka adalah warga negara Indonesia yang terdampak secara langsung kebijakan publik yang menyengsarakan rakyat,” ujar Kalis kepada Magdalene (29/8).
Kalis tegas, amarah ini bukanlah reaksi sesaat. Para pekerja jalanan, yang setiap hari mengais rezeki di bawah terik matahari dengan penghasilan minim, justru harus menyaksikan pejabat publik membicarakan tunjangan rumah puluhan juta sambil menaikkan pajak rakyat. Dari ketidakadilan itu lahirlah kemarahan yang otentik. Sekaligus peringatan, harga diri rakyat tidak bisa terus-menerus diinjak.
Penulis buku anak Watiek Ideo, punya pandangan serupa dengan Kalis. Menurutnya, kemarahan rakyat berakar dari sistem yang tidak adil. Pajak dan kontribusi rakyat seharusnya kembali dalam bentuk perlindungan dan layanan publik, tapi kenyataannya sering tersedot oleh kepentingan elit politik. Ketika keadilan tidak ditegakkan, protes rakyat menjadi refleksi sah dari ketegangan yang sudah lama terpendam.
“Kematian Affan bukan sekadar kisah pilu pribadi. Ia simbol nyata kegagalan negara menjaga warganya. Rakyat sudah membayar dengan darah dan keringat. Jangan berhenti bersuara,” ujar Watiek kepada Magdalene (29/8).
Tak berhenti di kata-kata, Watiek bersama Nada Arini dari Sustainable Indonesia menginisiasi penggalangan donasi untuk mendukung jalannya aksi. Melalui unggahan Instagramnya, @watikedie, donasi tersebut berhasil terkumpul hingga Rp105 juta.
Baca Juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Ramai-ramai WFH
Bivitri Susanti Soroti Solidaritas Pekerja Ojek Online
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti pun tak bisa menahan kemarahannya. Menurutnya, amarah yang muncul hari ini bukan hanya milik korban atau pengemudi ojek online, tapi publik yang lebih luas.
“Ini akan bisa makin membesar karena kita tahu ojek online itu salah satu kelompok yang paling terjepit sebagai precariat,” ujar Bivitri kepada Magdalene (29/8).
Bagi Bivitri, tragedi Affan meningkatkan posisi rentan para pengemudi ojek online. Dengan status sebagai mitra, mereka tak memiliki asuransi maupun jaminan kesehatan. Lain persoalannya jika perusahaan tersebut memberikan keistimewaan. Itulah sebabnya amarah publik tidak bisa diremehkan sebagai emosi sesaat, melainkan cerminan dari ketidakadilan struktural yang telah lama mengakar.
Namun ia memberi peringatan. Jika amarah yang membuncah ini tak ditangani dengan serius, protes bisa berubah jadi konflik horisontal. Ia khawatir, gelombang protes yang tidak terkendali bisa memicu benturan antarkelompok di masyarakat. Bahkan membuka ruang intervensi militer. Skenario yang jelas membahayakan demokrasi.
Menurut Bivitri, solusi ada pada respons pemerintah dan elit politik. Ia menekankan, penyelesaian isu ini harus dibawa ke tingkat elit, agar ada perubahan konkret dan sistematis Bivitri menekankan, reformasi kepolisian dan langkah-langkah nyata lainnya perlu memiliki target jelas.
“Jangan dengan pidato Prabowo biasanya yang delusional dan demagogis gitu ya. Jangan ‘kita adalah bangsa besar, ini pasti provokasi antek asing, dan sebagainya’. Kita enggak boleh ada di level itu sekarang,” ujar Bivitri.
















