Issues

Razia Rumah Makan Selama Bulan Puasa, Toleransi atau Diskriminasi?

Alih-alih menghormati, kebijakan tutupnya rumah makan selama bulan puasa mencerminkan relasi kuasa oleh umat muslim yang merupakan mayoritas di Indonesia.

Avatar
  • April 5, 2023
  • 7 min read
  • 908 Views
Razia Rumah Makan Selama Bulan Puasa, Toleransi atau Diskriminasi?

Matahari sedang terik-teriknya, ketika saya berjalan kaki menuju Warung Tegal (warteg) langganan di sekitar tempat tinggal. Saat itu hari ketujuh Ramadan—berharap warteg sudah kembali buka supaya bisa membungkus seporsi nasi, ayam goreng, dan tumis daun pepaya. Harapan saya pupus begitu melihat pintu warteg tertutup. Ternyata, selama puasa mereka berjualan mulai pukul tiga sore.

Sebagai orang yang menggantungkan nasib makan siangnya di warteg, saya cukup kesulitan mencari makan. Jalan kecil yang di siang hari umumnya ramai dengan penjual makanan, kini hanya menjadi area lalu-lalang pejalan kaki dan pengendara motor. Momen itu bikin saya memikirkan siasat untuk makan siang di hari-hari ke depan.

 

 

Memang selalu ada opsi memasak, tapi enggak setiap hari saya punya waktu di dapur. Begitu pula dengan pesan makanan di aplikasi online, yang merogoh kocek lebih besar. Karenanya, warteg kerap jadi solusi.

Tempat makan yang tutup—maupun kaca dan jendela yang ditutupi tirai, selalu menimbulkan tanda tanya di kepala saya sejak Sekolah Dasar (SD). Ibu juga suka mengingatkan, hargai orang yang berpuasa dengan enggak makan dan minum di depan umum.

Ada kalanya saya enggak menghiraukan dan meneguk air. Teriknya matahari di jam pulang sekolah semakin bikin haus. Meskipun beberapa kali “dibayar” dengan tatapan tajam, dari sesama penumpang di halte Transjakarta.

Semakin dewasa saya pun mempertanyakan, apakah ini toleransi beragama yang diharapkan umat muslim selama bulan puasa?

Baca Juga: Renungan Islam untuk Keadilan ‘Tadabbur Ramadan’

“Toleransi” di Tengah Umat Muslim yang Mayoritas Penduduk

Setiap bulan Ramadan, pemberitaan media tak jauh dari razia warung makan, penutupan tempat hiburan, dan aturan pemasangan tirai di restoran. Sejumlah tempat makan pun baru buka di sore hingga dini hari. Tujuannya untuk menghormati umat Islam yang berpuasa.

Jika melihat populasinya, pada 2021 Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat, 86,93 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Secara data, angka tersebut menunjukkan umat muslim sebagai mayoritas di Indonesia.

Perihal mayoritas itulah yang kemudian melatarbelakangi pembentukan sejumlah kebijakan terkait toleransi di bulan puasa. Seperti ditetapkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu, usai berkoordinasi dengan pimpinan kecamatan di kawasan Puncak.

Melansir Detik.com, Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor K.H. Ahmad Mukri Aji menekankan aparat pemerintah, agar bertindak tegas terhadap pengelola warung yang beroperasi di siang hari. Sementara pihak kecamatan telah mengeluarkan surat kesepakatan bersama (SKB), yang menyebutkan bahwa rumah makan boleh beroperasi pukul empat sore hingga empat dini hari.

“Kalau ada yang tidak berpuasa, silakan. Tapi mesti punya akhlak, menghormati yang berpuasa,” tutur Ahmad.

Bentuk penghargaan terhadap umat muslim ditentukan sebatas menjaga hawa nafsu, agar puasanya tidak batal. Padahal, dalam Islam tidak ada aturan tertulis terkait hal ini. Yang ditekankan justru puasa untuk menahan diri dari segala yang membatalkannya, sebagaimana makna kata “shaum” dalam bahasa Arab yang artinya “menahan”.

Maka itu, merupakan tanggung jawab individu untuk mengendalikan diri, dan tidak tergoda dengan hal-hal yang menggoda hawa nafsu. Ini juga ditekankan oleh Kiai Haji Jamaluddin Mohammad, pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Jawa Barat sekaligus peneliti Rumah KitaB.

“Kalau betul-betul memaknai ibadah puasa, itu tanggung jawab kita untuk tidak makan, minum, dan tergoda orang lain. Bukan menuntut orang lain agar tidak mengganggu puasa kita,” jelas pria yang akrab disapa Gus Jamal itu.

Baca Juga: Puasa dan Perundungan terhadap Si Gemuk

Sebagaimana tertulis dalam surat Al Baqarah ayat 183: “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar bertakwa.”

Dengan kata lain, tujuan puasa adalah meningkatkan kesalehan dengan menahan diri dari perbuatan dosa—sekaligus melatih untuk mengendalikan keinginan diri.

Terlepas dari ajarannya, kebijakan untuk menghargai umat muslim selama bulan Ramadan sebenarnya menunjukkan relasi kuasa. Sebagai mayoritas, mereka cenderung lebih kuat dan mampu menggerakan penganut agama lain, untuk patuh terhadap aturan yang ditetapkan—dalam hal ini toleransi.

Maka itu, dengan mudah kita mendapati banyak tempat makan mengikuti aturan tersebut. Atau masyarakat yang menginternalisasi “toleransi”, dengan tidak makan dan minum di depan umum. Padahal, ini termasuk dampak tindakan represif terhadap umat agama lain.

Lain halnya dengan kedudukan umat muslim di negara-negara lain—seperti Jerman, India, Cina, dan Filipina. Di ketiga negara itu, umat muslim hidup sebagai minoritas, memosisikan mereka lebih rentan.

Dalam konteks negara bangsa, Gus Jamal menilai, tidak tepat jika cara berpikir bahwa umat Islam harus mendapatkan perlakuan berbeda dari umat agama lain. Meskipun secara jumlah, umat Islam adalah mayoritas. Sebab, perilaku ini bersifat diskriminatif.

“Indonesia bukan negara agama dan dibangun oleh banyak pihak, tidak hanya Islam. Seharusnya dalam kebijakan, negara netral tidak memihak siapa pun. Tidak mengistimewakan,” ujar Gus Jamal.

Ia melihat adanya keterlibatan peran negara dalam pembuatan kebijakan ini. Seperti Pemerintah Kota Serang, yang merilis imbauan agar tempat makan tidak beroperasi pada bulan Ramadan 2021 silam. Mengutip Antara News, pemerintah bahkan menetapkan sanksi hukuman tiga bulan penjara bagi yang melanggar. Atau denda maksimal Rp50 juta.  

Berkaca dari peraturan diskriminatif yang muncul setiap tahunnya, Gus Jamal mengungkapkan aturan tersebut terbentuk lantaran negara terlalu dekat dan beriphak ke umat Islam. Akibatnya, umat agama lain merasa tidak dilindungi oleh negara.

“Yang saya sesalkan ke negara, seharusnya mereka melindungi kelompok (agama) lain dan tidak memberikan potensi ancaman diskriminasi, atau intoleransi. Jadi tidak ada kehadiran negara dalam hal ini,” ungkap Gus Jamal.

Tak hanya Gus Jamal yang berpendapat demikian. Abdul Rochman yang pada 2021 menjabat sebagai juru bicara Kementerian Agama mengatakan hal serupa, saat menanggapi kebijakan Pemerintah Kota Serang. Selain diskriminatif, menurut Abdul tak sesuai dengan prinsip moderasi dalam mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang.

Realitasnya pun tak semua orang berpuasa. Bukan hanya umat agama lain, melainkan perempuan Islam yang sedang menstruasi, nifas, hamil dan menyusui, ataupun orang tua yang tidak sanggup menjalankannya. Di samping itu, sebagian orang bekerja dengan berjualan makanan dan minuman, sehingga aturan tersebut sebenarnya merugikan berbagai pihak.

Berdasarkan pengamatan Gus Jamal, terbentuknya peraturan selama berpuasa didorong oleh tekanan publik dan faktor politik, yang mengatasnamakan aspirasi masyarakat. Hal itu dilatarbelakangi pemerintah daerah yang berhak menetapkan peraturannya untuk melaksanakan otonomi daerah—seperti tercatat dalam Pasal 18 Ayat 6 Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Kendati demikian, bukan berarti Peraturan Daerah (Perda) bisa bertentangan dengan Undang-undang (UU) yang lebih tinggi. Sedangkan yang terjadi saat ini menurut Gus justru sebaliknya. Muncul Perda syariat dan negara kalah dengan desakan dari berbagai kelompok, yang memaksakan kehendaknya.

Baca Juga: Ramadan 101: Sebuah Panduan untuk ‘Fangirl’ Saat Puasa

Negara Bertanggung Jawab Atas Peraturan Diskriminatif

Melihat peraturan diskriminatif yang masih berkembang setiap bulan Ramadan, tampaknya toleransi hidup beragama belum sepenuhnya berjalan di Indonesia. Untuk mencapai toleransi itu, Gus Jamal menegaskan setiap agama harus memiliki kesadaran, negara ini heterogen dengan berbagai aliran, agama, dan suku—sehingga harus menghargai komunitas dan entitas lain.

Sikap itu bisa dibangun dari tokoh agama, mengingatkan umat muslim bahwa hidupnya berdampingan dengan agama lain, yang eksistensinya sama seperti Islam—sekalipun berbeda secara kuantitas. Hal itu dikarenakan cara berpikir umat akan mengikuti pemimpinnya.

“Sebagian umat Islam menganggap karena mayoritas sehingga harus dihormati, mendapatkan hak istimewa. Jadi perlu disadarkan, enggak perlu segitunya berekspektasi menjadikan Islam bagian dari negara,” tutur Gus Jamal.

Namun, kesadaran itu bukan tanggung jawab tokoh agama semata, melainkan negara yang kerap membuat kebijakan. Yakni dengan bersikap netral, memisahkan diri dengan persoalan keagamaan, termasuk dalam politik. Gus Jamal bahkan menekankan, puasa tidak harus mendapatkan intervensi dari negara.

“(Peraturan) ini kan berangkat dari suatu keinginan bahwa agama jadi bagian dari negara. Saya lebih setuju Islam diajarkan secara kultural, tanpa masuk ke struktur negara. Baik dalam UU maupun lainnya,” terangnya.

Dengan demikian, negara adalah kunci untuk mengatasi permasalahan ini. Apabila negara mampu berhenti mengintervensi kehidupan beragama warganya, setidaknya perlahan masyarakat akan memahami kedudukan setiap agama setara dalam hidup berbangsa.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *