Refleksi Dua Tahun UU TPKS: Gagap APH hingga Terbatasnya Jenis KBGO
Implementasi Undang-undang TPKS, khususnya untuk penanganan KBGO belum sempurna. Sebenarnya apa saja yang jadi hambatannya?
Setelah perjuangan satu dekade, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan Parlemen pada 12 April 2022. Kehadirannya jadi babak baru Indonesia dalam melawan kekerasan seksual. Sebab, UU ini digadang-gadang mampu memberikan jaminan paripurna atas pencegahan, perlindungan, akses keadilan, pemulihan, dan pemenuhan hak-hak korban.
Terlebih, UU TPKS memasukkan klausul soal Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2). KBGO sendiri termasuk dalam tindak pidana berupa perekaman/ pengambilan gambar bernuansa seksual tanpa persetujuan, serta mentransmisikan informasi/dokumen elektronik yang bermuatan seksual. Ada pula penguntitan atau pelacakan yang menggunakan sistem elektronik pada orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, baik dengan pemerasan, pengancaman, pemaksaan, menyesatkan/ memperdaya seseorang.
Sayang, meski ada pasal spesifik KBGO, itu masih tak cukup ideal. Sebelas dua belas, implementasi UU ini juga belum berjalan baik. Tercatat hingga sekarang, dari tujuh peraturan turunan UU TPKS, baru dua yang diterbitkan. Mereka adalah Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Perpres Diklat); dan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Dalam kerja-kerja pendampingan, masih menggantungnya lima peraturan turunan ini menjadi hambatan terbesar bagi korban dalam mengakses hak atas pemulihan dan keadilan.
Baca Juga: Magdalene Primer: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Jenis KBGO yang Masih Terbatas Bikin Korban Makin Rentan
Catatan Tahunan (Catahu) Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta punya catatan buram soal kekerasan pasca-UU disahkan. Menurut mereka, sepanjang 2023 ada sebanyak 1.141 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jabodetabek. Dari jumlah ini, KBGO mendominasi hingga menyentuh 250 kasus dari total 497 pengaduan kekerasan seksual.
Dalam hal ini, ancaman penyebaran gambar/foto bernuansa seksual (111 kasus) dan penyebaran konten intim tanpa konsensual (77 kasus) jadi dua kasus KBGO paling marak. Banyaknya kasus KBGO yang diadukan ke lembaga ini belum memotret keseluruhan kasus yang ditangani LBH APIK Jakarta. Menurut Uli Arta Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta, cukup banyak kasus KBGO dengan jenis-jenis yang tidak terakomodasi dalam pengaturan UU TPKS terkait KSBE.
“Pengaturan UU TPKS tentang KSBE (KBGO) hanya mengatur tiga bentuk, yaitu perekaman, transmisi, dan penguntitan. Sedangkan ada 62 kasus KBGO yang ditangani LBH APIK tidak masuk dalam pengaturan ini,” tuturnya pada Magdalene.co.
Tercatat dari 62 kasus jenis-jenis KBGO yang diidentifikasi, mulai dari pengancaman, manipulasi foto atau deepfake, ancaman pemerkosaan dan penyebaran informasi melalui pinjaman online, penyebaran informasi pribadi (termasuk foto), atau pembuatan akun tiruan dengan membuat fitnah berupa narasi “open BO”− istilah yang digunakan untuk merujuk kepada pekerja seks yang menawarkan jasanya melalui internet.
Jenis-jenis KBGO yang tidak diakomodasi dalam pengaturan KBGO UU TPKS ini kata Uli berdampak pada laporan korban yang justru diproses menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Buntut dari pemakaian UU ITE dibanding UU TPKS, punya dampak berlapis buat korban. Pertama, korban yang sudah berani melapor justru rentan dikriminalisasi balik oleh pelaku dengan menggunakan UU ITE Pasal 27 ayat 3 atau pasal pencemaran nama baik (dalam revisi UU ITE diganti menjadi Pasal 27A). Dalam analisis LBH APIK terhadap 141 putusan pidana khusus terkait UU ITE pada 2020 – 2021, tercatat sebanyak 76 persen (104) menggunakan Pasal 27 ayat (3) untuk mendakwa perempuan korban dengan dalih pencemaran nama baik.
“Ini banyak terjadi ketika kami melakukan pendampingan korban KBGO. Kami mendorong APH untuk menggunakan UU TPKS, tapi tidak berhasil. Mereka justru lebih prefer menggunakan ke UU ITE. Makanya tidak sedikit kasus KBGO (yang korbannya dilaporkan balik) akhirnya berujung mediasi, tapi ini kan tidak adil bagi korban,” tutur Uli.
Kedua, sidang dengan menggunakan UU ITE dalam memidanakan kasus KBGO, biasanya digelar bakal dilakukan secara terbuka. Sebagai pendamping, Uli sangat mengkhawatirkan keamanan dan kondisi korban yang melaporkan kasusnya, tapi justru diadili dalam ruang sidang. Siapa saja bisa mendengar cerita dan riwayat seksual korban. Pertanyaan dari pengacara jaksa dan hakim menurut Uli juga sering tidak sesuai dengan kasus yang diproses.
“Kita lihat saja kasus Gisel. Bukannya mendalami atau fokus pada kasus kekerasan yang dia alami dan konteks penyebarannya (konten intim non konsensual), yang digali malah hubungan seks korban. Pertanyaan-pertanyaan kaya gini membuat korban tidak nyaman dan panik. Korban disalahkan akhirnya bikin mereka mundur,” imbuhnya.
Ketiga, lantaran UU ITE tidak mengatur hak-hak korban terkait hak pemulihan, penanganan serta perlindungan, maka beban pembuktian masih dipikul berat sebelah oleh korban. Padahal menurut Patricia Cindy dari kolektif TaskForce KBGO, dalam situasi mengalami kekerasan, korban kerap panik dan terhimpit. Sehingga, mereka kesulitan untuk berpikir strategis seperti menyimpan bukti berupa obrolan dengan pelaku apalagi sampai menelusuri link penyebaran konten intim non konsensual.
“Beban ini masih di korban, jadi ketika kekurangan bukti, polisi enggak mau memproses laporan korban. Padahal kalau memakai UU TPKS, dengan dua alat bukti (keterangan korban dan atau saksi lalu diperkuat bukti lain), kasus bisa diproses (Pasal 25 ayat 1). Dalam kasus kekerasan seksual, harusnya ada pendekatan tersendiri untuk menilai dua alat bukti cukup seperti apa dipertimbangkan,” jelasnya.
Senada dengan Cindy, Uli bilang, beberapa kasus yang didampingi LBH APIK Jakarta berakhir dipetieskan setelah dapat SP3 karena tak cukup bukti. Bahkan ada yang dinyatakan, kasus tak termasuk peristiwa tindak pidana.
Ironisnya, ketika korban dan pendamping sudah mengumpulkan bukti, hak atas privasi mereka belum tentu terjamin. Uli menceritakan, dalam proses pendampingan kasus KBGO, laptop atau ponsel korban akan disita oleh pihak kepolisian hingga bisa memakan waktu berbulan-bulan lamanya.
Tidak hanya bisa mengganggu atau memutus akses ekonomi atau pendidikan korban yang kesehariannya bergantung pada akses internet lewat laptop dan ponsel. Privasi yang tidak berhubungan dengan kasus, bisa saja terambil. Ini yang kata Uli dalam kasus pendampingan juga membuat korban tidak melaporkan atau mundur.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Gilang, Penggunaan UU ITE untuk Kekerasan Seksual Keliru
Aparat Penegak Hukum yang Masih Terbata-bata
Salah satu hambatan paling kentara adalah sosialisasi UU TPKS yang masih belum merata di kalangan APH. Padahal pada 28 Juni 2022, Kapolri telah mengirimkan surat telegram nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022 kepada semua Kapolda di Indonesia berisi perintah pada semua institusi kepolisian di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.
Hal ini membuat mereka jadi tak paham seluk beluk undang-undang ini apalagi mahir merespons dan menangani korban kekerasan. Penghakiman terhadap korban sering kali terjadi di lapangan. Uli menceritakan dalam pengalaman LBH APIK Jakarta melaporkan kasus KBGO yang melibatkan penyebaran konten intim non konsensual yang dilakukan pasangan, APH justru memberondong korban dengan pertanyaan maupun ungkapan yang cenderung menyalahkan dan memojokkan korban.
“Pas lapor yang dipertanyakan justru, ‘Kok baru dilaporkan sekarang, Mbak? Kamu lagi sakit hati ya?’ Bahkan ditanyain hubungan seksual korban. ‘Selama ini tinggal bareng, udah berapa kali berhubungan seksual?’
“Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bikin korban yang kami damping korban jadinya sedih akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pelaporan lagi. Ini banyak terjadi dan yang ngebuat korban enggak percaya sama polisi,” tutur Uli.
Uli menambahkan, penghakiman semakin kental jika korban memiliki jabatan strategis atau pendidikan tinggi. LBH APIK Jakarta pernah mendampingi kasus KBGO perempuan pekerja BUMN dengan pendidikan S2. Berkenalan dengan pelaku secara daring, korban diperas hingga ratusan juta rupiah pasca-melakukan Video Call Sex (VCS) yang ternyata direkam dan diancam bakal disebarkan oleh pelaku.
Pelaku sudah mengantongi alamat tempat tinggal, pekerjaan, serta posisi korban, sehingga korban semakin terjerat. Mengetahui detail kejadian ini, bukan berempati, APH justru dengan entengnya melontarkan hinaan.
“S2 kok bisa ditipu sama orang? Kamu kan udah punya pendidikan bagus, pekerjaan bagus, kok mau diajak begitu. Korban dianggap bodoh banget. Jadi memang ada stigma yang sengaja dibentuk kalau korbannya punya pendidikan atau pekerjaan bagus,” kata Uli.
Buntut dari sosialisasi tidak merata dari UU TPKS juga berpengaruh besar pada penolakan kasus korban anak. Hal ini terjadi dalam kasus dampingan END Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia yang melibatkan anak usia 14 tahun. Umi Farida, Project Manager ECPAT Indonesia bilang korban mengalami child grooming hingga sextortion. Ia dikondisikan oleh pelaku agar mau mengirimkan foto intim dirinya sendiri.
Ibu korban kemudian melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian. Tetapi bukannya diproses, polisi justru menolak laporan ibu korban. Pihak kepolisian beralasan sang anak sendiri yang mengirimkan foto tersebut yang artinya ia telah memberikan persetujuan pada pelaku. Umi sangat menyayangkan respons APH yang menurutnya jelas memperlihatkan minimnya perspektif APH terhadap korban anak dan pengetahuan mereka terhadap UU TPKS.
Uli menjelaskan, anak tidak ada dalam posisi yang dapat memberikan persetujuan jika berkaitan dengan hubungan seksual. Karena belum memiliki hak atas konsen/persetujuan, maka sekalipun anak memberikan persetujuan pribadinya, ini sudah masuk dalam kekerasan seksual. Umi kemudian mengutip Pasal 14 ayat 5. Pasal ini menerangkan bahwa jika korban kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan anak atau penyandang dsabilitas, maka adanya kehendak atau persetujuan Korban tidak menghapuskan tuntutan pidana.
“Mengacu ke Pasal 14 ayat 5, kalau pun korban setuju untuk merekam lalu mengirimkannya ke pelaku ya tetap harus diproses karena dia masih anak-anak. Namun, polisi ini enggak paham ketentuan ini, sehingga ditolak laporan ibu korban,” katanya.
Lebih dari itu, Umi juga menyesalkan minimnya perspektif dan pemahaman APH juga diperparah dengan kelemahan UU TPKS yang belum memakai konsep pendekatan hulu ke hilir dalam terjadinya KBGO. UU TPKS dalam hal ini hanya mengatur hulunya saja, yaitu jenis KBGO berupa sextortion. Padahal menurutnya dalam kasus KBGO pada anak, child grooming pasti selalu terjadi dan berada pada tahap awalnya.
“Setelah child grooming masuk sexting, baru abis itu sextortion. Jadi yang diatur sekian persen. Padahal (anak) yang ngalamin KBGO kan tidak ujuk-ujuk telanjang, pasti ada proses-proses itu. Ini sayangnya diabaikan atau tidak menjadi pertimbangan UU TPKS, sehingga jadi masalah ketika ada yang melapor,” tutur Umi.
Dalam kasus pendampingan korban anak lainnya, Umi juga mendapati APH yang terbata-bata dalam menangani kasus. APH dalam hal ini justru meneleponnya dengan keadaan bingung. Mereka bertanya-tanya soal UU TPKS dan pasal apa yang seharusnya dipakai untuk menangani kasus KBGO anak yang dilaporkan.
“Udah inisiatif melapor eh ditolak karena polisinya bingung. Mereka telepon saya, ‘Mau pakai (pasal) apa ya, Mbak? Saya baca semuanya enggak ada di UU TPKS, baru bisa pakai pornografi. Aduh saya baca ini (UU Pornografi) juga pusing, Mbak’. Mereka ngomong kaya gitu,” cerita Umi.
Tidak kalah pentingnya, Retty Ratnawati Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan masih ada utang besar yang ditunggu terkait pengaturan soal KSBE. Dalam hal ini, UU TPKS masih diperlukan peraturan pelaksana yang secara spesifik mengatur right to be forgotten.
Ini adalah hak korban KBGO di korban berhak atas penghapusan objek/konten KSBE, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintah dapat menghapus konten KSBE yang tersebar di situs di luar negeri dan melakukan kerjasama bilateral atau multilateral untuk upaya penghapusan konten tersebut dari peredaran elektronik.
Retty bilang pentingnya pengaturan right to be forgotten ini penting karena dampak KBGO yang dialami korban tidak hanya secara psikologis, tetapi juga sosial hingga ekonomi,
“Korban yang mengalami KBGO psikologisnya terbebani terus. Dia jadi berusaha untuk menutup diri. Ini menutup akses sosialisasinya dan bisa berdampak ke ekonomi atau penghidupannya karena kita sekarang bekerja mengandalkan internet,” kata Retty
Dua tahun sejak lahirnya UU TPKS, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh para pendamping dalam mendampingi dan menangani korban KBGO. Keterbatasan pengaturan KBGO hingga masih minimnya pemahaman terkait UU ini memang punya dampak besar. Kendati demikian, kita tak boleh mengindahkan fakta bahwa kehadirannya memberikan sejumlah peluang akses keadilan bagi korban yang mana tidak diatur dalam UU ITE.
Baca Juga: SKB UU ITE Bawa Kemajuan, Tapi Revisi UU Tetap Diperlukan
Karena itu, untuk mengawal implementasinya dan mengeliminasi pasca diberlakukan, Cindy dari TaskForce KBGO mengungkapkan, kita perlu terus mendorong adanya peraturan turunan yang spesifik mengatur jenis KBGO yang lain. Ia bilang dalam prinsip hukum, selama belum ada ketentuan secara tertulis yang bisa memidanakan atau mengkriminalisasi jenis-jenis KBGO tertentu, maka peluang korban untuk mendapatkan hak-haknya belum bisa terjamin penuh. APH juga punya kewajiban untuk tidak asal memidanakan seseorang.
Ia menekankan peraturan turunan ini juga perlu disesuaikan dengan tren yang bisa dirujuk langsung dari data dan kerja-kerja pendampingan korban KBGO. Sehingga, ketika hukum yang memang pada dasarnya tidak akan bisa selalu menangkap tindak pidana apa saja yang akan terjadi di kemudian hari, setidaknya penafsiran bisa diperluas untuk KBGO yang bisa dipidana.
Selain itu, kata Cindy, kita perlu mendorong UU TPKS sekaligus pedoman penanganan kasus KBGO, seperti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak dan juknis) di internal APH. Hal ini dilakukan untuk menyamakan perspektif dan akan memudahkan APH yang belum familier dan punya pengetahuan yang cukup terkait KBGO.
Mengamini Cindy, Ratna Batara Munti, Direktur Eksekutif LBH APIK JABAR dalam tulisannya yang diterbitkan Konde.co sempat menyebutkan beberapa rekomendasi terkait refleksi UU TPKS. Rekomendasi itu antara lain adalah audiensi ke Kapolri, KPPA dan K/L terkait terkait strategi implementasi UU TPKS, bimbingan teknis terkait penerapan aspek materil dan formil UU TPKS, diberikan kepada para penyidik, tidak saja di unit PPA tetapi juga unit cybercrime di kepolisian.
Disusul dengan menyiapkan ahli-ahli terkait KSBE yang memiliki perspektif gender dan HAM yang bisa diakses oleh korban/pendamping. Terakhir, memperbanyak jejaring/organisasi yang bisa membantu mendampingi korban untuk mengakses penghapusan konten seksual secara langsung dari platform digital. Harapannya dengan rekomendasi-rekomendasi ini, ke depan UU TPKS bisa secara utuh memberikan keadilan kepada para korban.