Kenapa Tak Seharusnya Prabowo ‘Cawe-cawe’ Kasus Korupsi ASDP?
Ira Puspita Dewi, mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (PT ASDP), resmi bebas dari tahanan bersama dua mantan direktur lainnya: Muhammad Yusuf Hadi eks Direktur Komersial dan Harry Muhammad Adhi Caksono eks Direktur Perencanaan dan Pengembangan. Ketiganya menerima rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto.
Sebelumnya, mereka didakwa dalam kasus korupsi pembelian kapal dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada periode 2019–2022. Kerugian negara yang dituduhkan mencapai Rp1,2 triliun, terdiri dari Rp892 miliar terkait akuisisi saham dan Rp380 miliar dari pembelian kapal milik afiliasi PT JN.
Pada (20/11), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memvonis ketiganya bersalah. Ira dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Yusuf dan Harry masing-masing dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dengan denda Rp250 juta.
Namun hanya lima hari setelah putusan itu dibacakan, Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada ketiganya. Pengumuman tersebut disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bersama Sekretaris Kabinet Teddy Widjaya dan Menteri Sekretariat Negara Prasetyo Hadi di Istana Negara pada (25/11).
Menurut Prasetyo Hadi, rehabilitasi diberikan setelah Presiden menerima banyak aspirasi dari Menteri Hukum dan DPR. “Pada sore hari ini beliau membubuhkan tanda tangan, dan kami diminta menyampaikan ke publik rehabilitasi ketiga terdakwa,” ujarnya, dikutip dari laman resmi Setneg (27/11).
Baca Juga: Mengampuni Koruptor, Kado Janggal Prabowo untuk Hasto
ICW: Intervensi Presiden Mencederai Independensi Peradilan
Keputusan Presiden Prabowo menuai kritik dari organisasi masyarakat sipil, terutama Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka menilai rehabilitasi ini merupakan bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman dan melemahkan lembaga yudikatif.
Anggota Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Erma Nuzulia Syifa bilang, kasus Ira dkk .belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sesuai Pasal 234 ayat (1) KUHAP, putusan pengadilan negeri baru final jika terdakwa atau jaksa tidak mengajukan banding dalam tujuh hari setelah pembacaan putusan.
Artinya, hingga (27/11), baik terdakwa maupun jaksa masih memiliki hak untuk mengajukan banding. Pemberian rehabilitasi lima hari setelah putusan, menurut Erma, mengaburkan hak-hak hukum tersebut.
“Intervensi ini jelas mencederai independensi peradilan,” ujarnya kepada Magdalene (27/11).
Baca Juga: #MerdekainThisEconomy: Korupsi itu Patriarkal, Pancasila itu Emansipatoris
ICW menilai pemberian amnesti, grasi, rehabilitasi, atau abolisi dalam proses hukum tindak pidana korupsi tidak dapat dibenarkan karena membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan menghilangkan transparansi proses hukum. Jika dibiarkan, praktik serupa dikhawatirkan akan semakin masif.
Erma menambahkan, tanpa standar transparansi dan akuntabilitas, penggunaan hak prerogatif presiden dapat mengaburkan batas antarlembaga negara. Padahal, proses banding dan kasasi merupakan mekanisme koreksi yuridis untuk memastikan putusan pengadilan tingkat pertama sudah tepat.
“Institusi Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung adalah ruang untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan di bawahnya,” katanya.
Menurut ICW, jalur banding hingga peninjauan kembali jauh lebih akuntabel dibanding penggunaan prerogatif presiden yang tidak memiliki standar jelas.
Baca Juga: Setelah Putusan Tom Lembong, Apa Maknanya buat Pembuat Kebijakan?
Bukan Kasus Pertama
Ini bukan pertama kalinya Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya untuk membebaskan pihak yang tersandung korupsi. Sebelumnya, Tom Lembong menerima abolisi, dan Hasto Kristiyanto mendapat amnesti. Kini Ira dkk juga memperoleh rehabilitasi.
Karena itu, ICW mendesak Presiden Prabowo menghentikan intervensi terhadap proses hukum kasus korupsi. Selain itu, ICW meminta DPR segera membahas regulasi yang membatasi penggunaan hak prerogatif presiden, agar tidak menjadi celah untuk menghapus pertanggungjawaban pidana.
















