December 5, 2025
Issues Politics & Society

Rehat Adalah Perlawanan: Bertahan di Tengah ‘Political Burnout’

Di tengah krisis politik dan kabar kekerasan aparat, banyak dari kita mengalami kelelahan emosional dan mental. Rehat bukan tanda menyerah, melainkan strategi untuk tetap peduli dan melawan.

  • September 2, 2025
  • 5 min read
  • 2194 Views
Rehat Adalah Perlawanan: Bertahan di Tengah ‘Political Burnout’

Riri tidak bisa menahan tangis saat membaca berita terbaru di ponselnya. Selama beberapa malam, perempuan berusia 30 tahun itu kesulitan tidur. Kepalanya dipenuhi kecemasan setelah melihat lini masa media sosial yang dibanjiri video demonstrasi dari berbagai daerah, yang dipenuhi Gambaran gas air mata, kekerasan aparat, hingga berita korban jiwa.

“Aku jadi gampang nangis dan cemas. Kok gini banget ya (situasinya),” ujar Riri, yang bekerja di sebuah LSM di Jakarta itu.

Pengalaman serupa dirasakan Nana, 27, pekerja swasta yang tinggal sendiri di Jakarta Timur. Ia merantau, jauh dari keluarga, dan kerap merasa cemas tanpa ada tempat untuk bersandar. Setiap pagi, linimasa media sosialnya dipenuhi kabar duka. Hari itu (2/9), sembilan orang dilaporkan meninggal dalam aksi protes di berbagai kota.

Anxious banget, kayak ada yang nyekek di dada, tapi enggak tahu harus apa,” ucapnya.

Cerita Riri dan Nana bukan pengecualian. Banyak dari kita, terutama generasi muda, merasakan kelelahan mental menghadapi situasi politik yang kian mencekam. Ketika demonstrasi jalan terus, pemerintah seolah tak bergeming, dan berita buruk datang bertubi-tubi, wajar jika tubuh dan pikiran mulai limbung.

Baca Juga: Masihkah DPR Mewakili Kita?

Political burnout, kelelahan yang tak terlihat

Apa yang Riri dan Nina alami disebut political burnout—sebuah kondisi ketika keterlibatan dalam isu sosial-politik justru menimbulkan kelelahan fisik, emosional, dan mental. Aktivisme, membaca berita, hingga diskusi publik yang intens membuat seseorang kewalahan.

Studi Affective Intelligence and Political Judgment (2000) menunjukkan bahwa paparan berkepanjangan terhadap berita negatif bisa menurunkan kualitas hidup dan melemahkan kemampuan mengambil keputusan. Arash Javanbakht, psikiater dan direktur Stress, Trauma, and Anxiety Research Clinic, dalam bukunya AFRAID: Understanding the Purpose of Fear, and Harnessing the Power of Anxiety (2023), menjelaskan bagaimana media sengaja mengemas ketakutan agar kita terus mengikuti, membaca, dan menonton.

Hal ini makin diperparah oleh algoritma media sosial. Dalam The Filter Bubble (2011), Eli Pariser menunjukkan bahwa konten yang kita lihat makin disesuaikan dengan pola konsumsi pribadi. Alih-alih mendapat perspektif baru, kita justru terjebak dalam gelembung yang memperkuat keresahan dan rasa tidak berdaya.

Secara tidak sadar, kita merasa wajib tahu, wajib reaktif, dan wajib marah. Namun, kapasitas mental kita ada batasnya. Political burnout membuat tubuh dan pikiran kelelahan, dan tanpa disadari, kita bisa kehilangan empati.

Jika tak dikelola, political burnout dapat menjelma menjadi apatisme. Artikel Harvard Health Publishing menjelaskan bahwa ketika otak terus-menerus dibombardir kabar buruk, tubuh bisa “mematikan” sebagian reaksi emosional sebagai mekanisme perlindungan.

Akibatnya, kita menjadi kebal terhadap kekerasan. Melihat kabar sembilan orang meninggal di tengah demo mungkin hanya membuat kita bergumam, “Ya, sudah biasa.” Padahal itu tragedi. Ketika posko medis mahasiswa digerebek aparat, kita hanya scroll dan lanjut ke berita berikutnya. Padahal itu pelanggaran serius terhadap hak asasi.

Mati rasa di tengah situasi politik yang penuh krisis adalah bahaya besar. Bukan hanya untuk diri kita, tapi juga untuk perjuangan kolektif. Sebab, gerakan rakyat bertumpu pada empati dan solidaritas

Dalam situasi seperti ini, justru kita perlu menjaga empati tetap hidup. Dan salah satu cara paling efektif adalah dengan memberi ruang untuk rehat.

Baca Juga: Kursi Roda di Barisan Depan Demo Krisis Iklim

Rehat adalah strategi bertahan

Rehat bukan bentuk pengabaian, melainkan cara untuk menjaga keberlangsungan perhatian, rasa, dan keberanian. Aktivis dan penyair Tricia Hersey dalam manifestonya Rest is Resistance menulis bahwa istirahat adalah tindakan politik. Kita hidup dalam sistem yang menuntut produktivitas dan perlawanan terus-menerus. Tapi tubuh bukan mesin, dan kelelahan bukan kegagalan.

Dengan beristirahat, kita merebut kembali otonomi atas tubuh dan waktu kita. Kita menegaskan bahwa perjuangan sosial adalah perjuangan manusiawi dan manusia butuh bernapas.

Bentuk rehat bisa sederhana. Makan makanan bergizi dari warung terdekat, misalnya. Selain mengisi energi, makanan berprotein bisa merangsang produksi serotonin dan dopamin, zat kimia yang meningkatkan mood dan kestabilan emosi.

Rehat juga bisa berbentuk diam, bengong, melamun, menatap langit, atau sekadar tidak membuka gawai selama beberapa jam. Psikolog Susan Weinschenk menulis bahwa “tidak melakukan apa-apa adalah persiapan penting untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik.” Saat kita diam, otak bagian Default Mode Network aktif—jaringan yang memfasilitasi kreativitas, refleksi, dan regenerasi emosional.

Tidur adalah bentuk rehat lain yang sering dikorbankan. Banyak dari kita begadang karena merasa perlu “update” situasi terkini. Padahal, seperti yang diungkapkan Hersey, tidur membantu otak memproses trauma, memperkuat daya ingat, dan menyembuhkan tubuh.

Bahkan, berbincang ringan dengan teman bisa menjadi bentuk perlawanan. Menelepon seseorang, bercanda, dan berbagi keresahan menciptakan ruang aman. Di tengah isolasi politik, percakapan adalah bentuk solidaritas yang tak kalah penting dari aksi turun ke jalan.

Semua ini bukan langkah yang remeh. Rehat adalah strategi untuk bertahan, untuk memastikan bahwa empati tidak mati, bahwa kita tidak menjadi apatis, bahwa kita tetap bisa merasa.

Baca Juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Justru Ramai-ramai WFH

Kisah Riri dan Nana mencerminkan banyak dari kita yang merasa sesak, lelah, dan takut. Political burnout itu nyata. Tapi alih-alih menyerah, kita bisa melawan dengan cara yang lebih berkelanjutan: dengan memberi ruang untuk bernapas.

Karena perjuangan ini bukan sprint, melainkan maraton panjang. Dan dalam maraton, kita perlu tahu kapan harus berhenti sejenak.

Rehat adalah cara menjaga empati tetap hidup. Dan empati adalah bahan bakar dari semua perjuangan yang layak dijalani. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.