Issues Politics & Society

Jatuh Bangun Buruh Migran Kirim Remitansi: ‘Kami Cuma Dianggap Barang Jualan’

Ada ironi dalam titel “pahlawan devisa” untuk pekerja migran selama sebagian besar gaji mereka habis demi mengirim remitansi.

Avatar
  • July 25, 2023
  • 8 min read
  • 1608 Views
Jatuh Bangun Buruh Migran Kirim Remitansi: ‘Kami Cuma Dianggap Barang Jualan’

Mungkin kamu familier dengan titel “pahlawan devisa” yang disematkan pemerintah terhadap pekerja migran. Sebab, mereka membantu perekonomian negara lewat remitansi yang rutin dikirim ke keluarga di Indonesia.

Sebagai buruh yang pernah bekerja di Hong Kong, Eni Lestari tak pernah bangga dengan sebutan tersebut. Perempuan yang kini aktif sebagai Ketua International Migrants Alliance itu bilang, “Negara menyebut kami pahlawan devisa, tapi enggak memberikan subsidi saat dibutuhkan.”

 

 

Dalam peluncuran riset The Lives of Migrant Remittances: Results of a Transnational Participatory Research Study, (10/7), Eni menjelaskan pendapatnya lebih lanjut. Saat pandemi COVID-19 misalnya, pekerja migran butuh tempat penampungan, tiket pesawat untuk pulang, dan subsidi lantaran dipulangkan dari negara tujuan dan menjadi pengangguran. Selain itu, sebagian buruh migran juga butuh bantuan biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Terutama yang orang tuanya enggak mampu, atau mengalami kecelakaan kerja.

Namun, pemerintah alpa. Dalam hal ini, pemerintah cuma melihat remitansi sebagai pengiriman uang dari buruh migran kepada keluarganya. Mereka mengesampingkan hak pekerja migran, seperti memperhatikan perlindungan kerja, peningkatan kompetensi, atau mendorong kenaikan upah.

Terkait peningkatan upah, pemerintah kerap lupa bahwa banyak pekerja migran yang sebenarnya terdidik dan layak dapat upah sesuai. Berdasarkan riset The Lives of Migrant Remittances: Results of a Transnational Participatory Research Study (2023) terhadap pekerja migran di Hong Kong, peneliti asal University of Alberta, Kanada Denise Spitzer menyatakan, 34 persen migran menempuh pendidikan S1. Artinya, latar belakang pendidikan pun enggak menjamin seseorang memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang sesuai.

Denise Spitzer (kedua dari kanan) dalam peluncuran riset The Lives of Migrant Remittances: Results of a Transnational Participatory Research Study.

Sebagai pekerja migran, mereka belum tentu dibayar penuh akibat pemotongan gaji, lantaran enggak bekerja setiap hari. Kontrak kerja mereka juga sering dilanggar, sehingga berimbas pada pembayaran gaji yang tidak sesuai dengan perjanjian—bahkan bisa tidak dibayar sama sekali.

Padahal, pekerja migran mesti mengirimkan remitansi, untuk kehidupan keluarga di negara asal. Lantas, bagaimana mereka memenuhi hal ini?

Baca Juga: Perlindungan Untuk PRT Migran yang Tidak Maksimal

Yang Mereka Bayar lewat Remitansi

“Selama kerja, uang itu cuma cukup buat biayain keluarga. Ya untuk makan, pendidikan, kesehatan,” tutur Eni.

Hal itu menggambarkan, pekerja migran memprioritaskan penghasilannya untuk remitansi, di tengah nilai tukar yang rendah. Sedangkan, merujuk penelitian yang sama oleh Denise terhadap pekerja migran Indonesia dan Filipina, rata-rata penghasilan pekerja migran per bulannya sebesar 4.410 dolar Hong Kong—sekitar Rp8,4 juta. Dari penghasilan tersebut, pengeluaran utama dan yang diprioritaskan digunakan untuk remitansi, setidaknya sebanyak 50 persen.

Pengeluaran itu belum termasuk biaya pengiriman remitansi. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2023, secara global, rata-rata biaya pengiriman dikenakan 6,25 persen dari jumlah uang yang dikirim. Kondisi ini semakin menekan pekerja migran dan menguntungkan pihak swasta, bank dan layanan jasa pengiriman uang, yang memperlakukan pekerja migran layaknya komoditas atau barang jualan.

Sebenarnya, remitansi enggak hanya untuk membiayai kebutuhan keluarga. Pekerja migran juga membayar biaya penempatan ke negara tujuan—meskipun Undang-undang (UU) Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyebutkan, pekerja migran seharusnya dibebaskan dari biaya penempatan.

Dalam wawancara bersama Kompas, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan, biaya penempatan per orang mencapai Rp30 juta, atau kurang dari itu. Adapun biaya penempatan mencakup visa kerja, pendidikan dan pelatihan kerja, tiket berangkat, dan sertifikasi kompetensi.

Benny menambahkan, alasan pekerja migran masih menanggung biaya penempatan, lantaran negara tidak punya anggaran cukup untuk membayar semua biayanya. Sebagai informasi, pekerja migran yang berangkat sebelum pandemi mencapai 270 ribu orang. Sementara sepanjang Januari hingga Oktober 2022 berjumlah 170 ribu orang.

“Misalnya per tahun ada 270 ribu orang berangkat, dikali Rp30 juta per orang. Negara harus menyiapkan dana sebesar Rp8,2 triliun. Dana sebesar itu belum cukup tersedia,” ujar Benny. Padahal, pekerja migran menghasilkan devisa sebanyak Rp159 triliun setiap tahun.

Untuk membayar biaya penempatan, sejumlah pekerja migran menyisihkan sebagian penghasilannya. Setidaknya selama enam sampai tujuh bulan masa kerja, karena mereka meminjam uang dari kerabat maupun sektor swasta, agar bisa berangkat ke negara tujuan.

Baca Juga: Perawat Migran Indonesia di Jepang: Gaji Tinggi, Tetapi Apakah Bahagia?

Denise menceritakan pengalaman Ella, informannya eks pekerja migran asal Ponorogo, Jawa Tengah, yang melakukan hal tersebut. Selama bekerja, penghasilannya sejumlah 3.000 dolar Hong Kong harus disalurkan untuk pembayaran keberangkatan. Kondisinya, saat itu penghasilan Ella hanya 3.500 dolar Hong Kong—sekitar Rp6,7 juta.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Ella menggunakan uang yang tersisa dari bayar remitansi dan biaya keberangkatan. Tanpa sepengetahuan keluarga, ia hanya punya uang 100 dolar Hong Kong untuk keperluan sehari-hari.

Cerita Ella merepresentasikan pekerja migran hanya punya sedikit tabungan, lantaran gajinya habis untuk pengiriman uang. Realitas ini enggak sejalan dengan keinginan mereka melepaskan keluarga dari kemiskinan. Mimpi untuk membangun rumah dan mempunyai modal untuk usaha terpaksa dikesampingkan. Bahkan kondisi ini berlanjur meski mereka telah bekerja untuk waktu lama, sampai tahunan.

Seperti dialami Eni, yang mulai bekerja di Hong Kong sejak 2000. Saat itu, keluarganya terdampak krisis moneter. Sebelum berangkat, Eni menargetkan bekerja selama empat tahun, setelah mempertimbangkan persentase biaya untuk membayar utang, pendidikan adik-adiknya, dan dirinya sendiri.

Sayangnya, setelah empat tahun, Eni belum bisa pulang karena adik-adiknya harus melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Ditambah biaya pendidikan terus naik, enggak sesuai dengan perhitungan di awal.

“Akhirnya aku 12 tahun di sana, sampai adik-adik udah kuliah. Itu juga diperpanjang lagi, karena ayah sakit dan tanggungan kebutuhan enggak pernah selesai. Total 22 tahun aku di luar negeri,” ungkap Eni.

Pengalaman Eni menunjukkan, beban yang ditanggung pekerja migran dalam mengirimkan remitansi enggak hanya secara ekonomi, tetapi fisik, mental, dan emosional. Walaupun tak jarang mereka menerima perlakuan eksploitatif dari pekerja: diisolasi dari berbagai pihak, enggak diberikan libur, hanya digaji 50 persen, dan enggak pernah mengalami kenaikan gaji meski sudah bekerja dalam waktu lama. Kendati demikian, pekerja migran tetap berupaya menunjang kebutuhan keluarga.

Di samping itu, menurut Denise, perkara waktu turut membebani pekerja migran. Ini karena mayoritas dari mereka memilih mengirimkan remitansi lewat layanan uang—dibandingkan aplikasi. Karena itu diperlukan upaya ekstra, di tengah jam kerja yang panjang.

“Bayangin, mereka (pekerja migran) kerja enam hari seminggu, liburnya cuma hari Minggu. Itu masih harus naik kendaraan untuk waktu lama, dan antre panjang biar bisa ngirim uang,” cerita Denise.

Bagaimana Respons Negara?

Perihal penurunan biaya pengiriman remitansi pernah diusung oleh G-20, lantaran dianggap masih tinggi. Bahkan remitansi menjadi sumber pendanaan domestik bagi pembangunan.

Setidaknya pada 2015 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat, sekitar 436 miliar dolar Amerika Serikat (AS) mengalir ke negara-negara berkembang pada 2014. Uang itu berasal dari remitansi, yang kemudian 10-15 persen di antaranya menjadi bagian layanan jasa pengiriman uang, sebagai biaya pengiriman.

Sayangnya, dalam laporan Update to Leaders on Progress Towards the G20 Remittance Target yang dirilis Oktober 2022, Indonesia tidak melaporkan perkembangan terkini tentang perencanaan remitansi, yang terangkum dalam National Remittance Plans Implementation. Sementara, dalam G20 National Remittance Plans Implementation (2017), Indonesia membahas remitansi dari sudut pandang transaksi keuangan dan sistem keuangan—bukan pengelolaan migrasi pekerja migran.

Melansir Kompas, pada Mei lalu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) justru menambah negara tujuan penempatan secara bertahap. Selain mencari kesempatan kerja formal, alasannya sekaligus ingin memperhitungkan sistem kerja perlindungan, dan kesiapan perusahaan penempatan pekerja migran. Walaupun sejumlah negara seperti Hong Kong, Malaysia, dan Brunei Darussalam masih meminta pekerja sektor informal.

Serupa dengan pihak swasta, hal itu menunjukkan, negara masih menganggap pekerja migran sebagai komoditas yang menghasilkan keuntungan berupa devisa dari remitansi. Semestinya, negara memprioritaskan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi pekerja migran. Seperti pemenuhan hak, memenuhi biaya penempatan, dan menekan biaya pengiriman remitansi.

Baca Juga: Derita Anak Buruh Migran: Ditinggalkan Orang Tua, Jadi Korban Kekerasan

Sejauh ini, bukan berarti pekerja migran belum membangun diskusi dengan pemerintah. Eni menerangkan, mereka sudah bertemu dengan orang kedutaan besar, konsulat, dan sejumlah kementerian. Dalam pertemuan itu, pekerja migran menuntut ganti rugi bagi korban, yang ditelantarkan atau dirugikan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Namun, belum sepenuhnya ditanggapi ataupun ditangani BP2MI. 

Karena itu Eni berharap, pemerintah dapat memberikan pelayanan dengan serius. “Tuntutannya simpel, berikan pekerja migran penampungan dan subsidi pendidikan untuk anak-anaknya,” ucapnya. “Lalu untuk sektor swasta, perbankan, berhenti melihat pekerja migran sebagai komoditas. Enggak layak cari keuntungan dari mereka.”

Sementara Denise, sebagai peneliti mendorong pemerintah untuk melakukan beberapa hal. Pertama, mengatur, mengurangi, dan memantau tingginya biaya penempatan, serta asuransi yang disyaratkan dan tarif yang dikenakan pemerintah lainnya.

Kedua, mengambil peran lebih aktif dalam menegosiasikan gaji yang lebih tinggi, perlindungan sosial, dan hak-hak buruh serta kesehatan.

Ketiga, memastikan kebutuhan pekerja migran terhadap bantuan hukum, formalitas, dan administratif terpenuhi, ketika haknya dilanggar.

Keempat, meningkatkan infrastruktur termasuk listrik dan akses internet, untuk memfasilitasi penggunaan layanan perbankan dan opsi penerimaan pengiriman uang. Kelima, mendukung program yang meningkatkan literasi keuangan. Yang terakhir, mengurangi biaya pengiriman uang yang tinggi sesuai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), untuk menjaga biaya transaksi di bawah tiga persen—diikuti menghilangkan koridor pengiriman uang ketika biaya melebihi lima persen.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *