Di Balik Rencana “Damai” Trump di Gaza: Dikritik Akademisi Cuma Menguntungkan Israel
Perundingan perdamaian di Gaza sedang berlangsung di Mesir sejak Senin (6/10) hingga Selasa (7/10). Mengutip dari BBC, perundingan ini berlandaskan 20 poin rencana perdamaian di Gaza, yang diinisiasi Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Salah satu dari 20 poin menyebut Hamas harus meninggalkan semua perannya di Gaza. Anggota Hamas akan diberikan amnesti jika mereka berkomitmen untuk ikut menciptakan perdamaian, sementara yang ingin meninggalkan Gaza akan dijamin keselamatannya sampai negara tujuan.
Dilansir dari Reuters (3/10), Hamas menegaskan “apresiasi terhadap upaya Arab, Islam, dan internasional, termasuk Presiden Donald Trump, untuk menghentikan perang di Jalur Gaza, pertukaran tahanan, serta masuknya bantuan kemanusiaan secara segera.”
Mereka menyetujui “pembebasan seluruh tahanan Israel, baik hidup maupun jenazah, sesuai formula pertukaran yang tercantum dalam proposal Presiden Trump, dengan mempertimbangkan kondisi lapangan.”
Baca juga: Solusi Dua Negara ala Prabowo: Palsu dan Warisan Kolonial
Hamas menyetujui rencana damai ini dengan syarat. Dilansir dari Reuters, Pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum bilang, pihaknya berpartisipasi dalam negosiasi di Mesir dan sedang berusaha mengatasi hambatan dalam perundingan. Ia mengatakan kesepakatan harus memastikan berakhirnya perang dan penarikan penuh Israel dari Gaza—syarat yang tidak pernah diterima Israel.
Di sisi lain, Israel ingin Hamas melucuti senjatanya, sesuatu yang ditolak kelompok tersebut. Hamas beserta faksi lain di Palestina menyatakan, tak ada yang berhak melucuti senjata dari rakyat Palestina.
Sementara, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menyambut baik semua poin. Padahal, salah satu poin menyebut Israel tidak akan menjajah Gaza dan menarik mundur semua pasukan. Kementerian luar negeri dari 8 negara, termasuk Indonesia, pun ikut menerima “upaya” Trump menghentikan “perang”.
Israel memang belum menyetujui rencana Trump secara resmi. Negara itu masih harus mengambil suara di parlemen untuk bisa menyetujuinya secara resmi.
Tony Blair Sebagai Pimpinan Pemerintahan Sementara di Gaza
Rencana damai Trump juga menyatakan pengembalian bantuan ke Gaza sesuai jumlah yang disepakati, yaitu sekitar 600 truk bantuan per hari. Bantuan itu akan didistribusikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Red Crescent, dan organisasi lain yang tidak berafiliasi dengan Israel maupun Hamas.
Bantuan saat ini didistribusikan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang belum jelas status yayasannya. Secara teknis GHF adalah organisasi AS, meskipun menurut The Times of Israel, yayasan itu adalah “gagasan orang Israel yang berhubungan dengan pemerintah”.
Jika perundingan rencana ini mencapai kesepakatan, dilansir dari Al Jazeera, mantan Perdana Menteri Britania Raya, Tony Blair diprediksi akan ditunjuk Trump memimpin pemerintahan transisional di Gaza—selama waktu yang belum ditentukan. Hamas menolak dengan mengatakan Blair seharusnya diadili karena jejaknya sebagai kriminal perang.
Baca juga: Israel Menyadap Flotilla dan Menangkap Aktivis: Apa Saja yang Terjadi?
Dia punya rekam jejak buruk di Timur Tengah. Saat menjadi perdana menteri, Blair membantu Presiden AS kala itu, George W Bush menyerang Iraq dan membunuh ratusan ribu warga sipil. Dia juga mendukung Trump saat pertama kali mengajukan ide untuk mengambil alih Gaza pada Februari 2025. Melihat rekam jejak ini, penunjukkan Blair hanya akan membawa keuntungan bagi Trump dan Israel.
Diragukan Akademisi
Kepada Al Jazeera, pakar geopolitik, Norman Finkelstein bilang rencana perdamaian Trump tidak didukung oleh riset yang kuat. Dokumen itu, katanya, tidak memuat referensi apa pun, seperti perjanjian damai di masa lalu atau hukum internasional milik PBB.
Terlebih lagi, rencana ini tidak adil. Ia menyoroti tenggat waktu dalam proposal itu cuma hadir untuk Hamas. Ia juga menyoroti poin 16 yang mengatakan Israeli Defence Force (IDF) harus memberikan wilayah yang diduduki kepada tentara internasional, “jika sudah tidak ada ancaman di Gaza.”
Jika ancaman yang dimaksud adalah Hamas yang masih memiliki senjata, Finkelstein ragu penyerahan ini akan berjalan mulus.
“Bagaimana cara membuktikan Hamas sudah menanggalkan senjata? Adakah cara untuk membuktikan itu? Jadi yang Israel perlu lakukan (untuk membatalkan perjanjian) hanya berkata, Hamas masih bersenjata.”
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nostalgiawan Wahyudi mengatakan, rencana ini hanya akan menguntungkan Israel. Dia mencontohkan penarikan pasukan Israel secara bertahap, sementara Hamas harus langsung melucuti senjatanya. Kemudian Negara Arab, jelasnya, akan disingkirkan ketika perundingan berakhir dan pemerintahan sementara mengambil alih.
Nostalgiawan juga menilai, rencana ini adalah manipulasi untuk mengalihkan dunia dari narasi pengakuan Palestina. “Kita juga bisa melihat bahwa upaya-upaya ini sebetulnya tidak lebih dari cara Amerika dan Israel sedikit bergeser dari arus utama pengakuan negara Palestina atau kemerdekaan Palestina yang dilakukan di PBB,” tuturnya, dilansir dari Antara.
Israel yang Selalu Ingkar Janji
Bukan kali pertama Israel bersikap baik pada rencana, tetapi menghancurkannya di tengah jalan. Pemerintah Israel biasanya akan membuat satu poin yang mustahil diwujudkan, untuk kemudian menyerang lagi.
Al Jazeera mencatat, Pada May 2024, Hamas menerima perjanjian damai, tetapi Israel menolak menyetujuinya dan menginvasi Rafah. Padahal, mantan Presiden AS, Joe Biden ikut mengumumkan, Israel akan segera menawarkan rencana gencatan senjata. Namun, Netanyahu diam dan perjanjian tak pernah terjadi.
Lima bulan kemudian, Israel malah menambahkan kondisi baru dalam perjanjian: kontrol permanen Israel di Koridor Philadelphi, yaitu perbatasan Mesir dan Gaza. Kairo dan Hamas pun sama-sama menolak kondisi tersebut.
Hal serupa terjadi pada Januari 2025, ketika Trump menekan Netanyahu untuk melakukan gencatan senjata. Namun, hanya berselang tiga bulan, Israel melanggarnya, melanjutkan bombardir dan blokade ke Gaza.
Yang paling baru, Israel meluncurkan bom ke Qatar, pada 9 September lalu. Menurut pengakuan pejabat Hamas kepada Al Jazeera, Penyerangan itu terjadi ketika pemimpin senior Hamas sedang berada di Doha untuk membicarakan rencana gencatan senjata yang diinisiasi oleh AS. Sebab, Qatar adalah mediator antara kubu Israel dan Hamas dalam perundingan gencatan senjata.
















