December 6, 2025
Culture Gender & Sexuality Issues Opini Screen Raves

Saat Sally di Upin & Ipin Kehilangan Sisi Femininnya

Abang Sally di Upin & Ipin hadir sebagai karakter queer berdaya, tapi representasi queer terhapus ketika Abang Sally dibuat jadi maskulin.

  • August 1, 2025
  • 6 min read
  • 2682 Views
Saat Sally di Upin & Ipin Kehilangan Sisi Femininnya

Suatu sore di 2010, saya yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak sedang anteng menonton televisi. Saat itu belum marak telepon genggam. Karena itu, televisi jadi andalan ketika anak-anak butuh hiburan. 

Di layar kaca, tayang animasi asal Malaysia berjudul Upin & Ipin, mengisahkan tentang dua bocah kembar yang hidup di Kampung Durian Runtuh. Upin dan Ipin yatim piatu. Mereka tinggal bersama Kak Ros dan sang nenek yang dipanggil Opah. 

Kehidupan Upin dan Ipin tidak hanya berputar di rumah, tapi juga menggambarkan dinamika warga Durian Runtuh. Kampung ini digambarkan sebagai lingkungan yang beragam, baik usia, latar etnis, bahasa, hingga ekspresi gender. 

Keragaman itu salah satunya hadir lewat sosok Abang Sally atau Salleh, laki-laki dewasa yang tampil dengan ekspresi feminin. Karakter Sally langsung menarik perhatian saya saat kanak-kanak. Mungkin karena saya merasa cukup dekat dengannya. Dulu saya sering disebut “kebanci-bancian” oleh teman-teman sebaya karena gerak-gerik yang dianggap terlalu lembut. Bedanya, Sally tidak menjadi bahan ejekan di kampungnya. 

Alih-alih dijadikan lelucon atau disingkirkan, Sally justru ditampilkan sebagai bagian yang wajar dan diterima dari komunitas. Ia bukan sekadar tempelan atau karakter komedi, seperti yang kerap muncul dalam tayangan anak pada umumnya. Ia hadir sebagai sosok yang punya tempat, punya suara, dan punya peran di lingkungannya. 

Baca juga: #RuangAmanAnak: Berikan ‘Safe Space’ untuk Anak-anak Queer, Bagaimana Caranya? 

Karakter Queer yang Berdaya 

Meski kehadiran queer di layar kaca makin jamak, banyak di antaranya masih terjebak dalam peran stereotip, yakni jadi objek tawa atau comic relief character. Tak jarang pula, karakter queer hadir sebagai simbol keberagaman tanpa peran yang berarti. Fenomena ini dikenal sebagai tokenisme, yaitu ketika representasi minoritas dilakukan secara dangkal hanya untuk memasukkan unsur keberagaman, bukan sebagai bagian integral dari cerita. 

Namun, Sally di Upin & Ipin menawarkan karakter queer yang berbeda dari karakter di media pada umumnya. Ia digambarkan sebagai queer yang berdaya lewat kerja-kerja yang ia lakukan. Di musim kelima animasi Upin & Ipin misalnya, Sally diceritakan mempunyai usaha kerajinan bernama “Jari Jemari Salleh”. 

Dalam episode itu Sally diperlihatkan sebagai entrepreneur yang sukses. Usahanya berkembang pesat, bahkan sempat menerima seribu pesanan karangan bunga dalam sehari.  

Perannya makin berkembang di musim-musim berikutnya. Dalam episode berjudul “Usahawan Muda” di musim ketujuh, karakter Sally bukan hanya ditampilkan berdaya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk warga Kampung Durian Runtuh lain. Di episode tersebut, ia diceritakan membantu Mail, Upin, dan Ipin mendistribusikan produknya di online shop. Di sinilah Sally digambarkan bukan hanya mandiri secara ekonomi, tapi juga suportif terhadap komunitas di kampungnya. 

Tak berhenti di ranah wirausaha, Sally juga bekerja sebagai pustakawan keliling. Di episode “Seronoknya Membaca” dalam musim ketiga, Sally ditampilkan sebagai penjaga perpustakaan keliling. Ia memperkenalkan anak-anak Kampung Durian Runtuh pada dunia literasi. 

Sally bahkan dipercaya sebagai sutradara teater dalam pementasan “Kisah Penggembala dan Srigala” di sekolah Upin dan Ipin. Melihat anak-anak kesulitan membuat kostum, ia turun tangan langsung, mengukur badan mereka dan menjahitkan kostum dengan hasil yang apik.  

Selain mengurus busana, Sally juga melatih mereka agar dapat tampil percaya diri di atas panggung. Kepiawaiannya sebagai sutradara juga tampak dalam episode “Selamatkan Neo Nusantara”, di mana ia menyutradarai film dengan bantuan teknologi green screen untuk membangun kota imajinasi yang dipenuhi robot raksasa. 

Terbaru, dalam episode “Idola Misteri” musim ke-12, identitas Sally sebagai DJ radio dengan nama panggung DJ Soul menjadi kejutan bagi warga kampung–terutama Kakak Upin dan Ipin, Ros yang mengidolakannya. Momen ini menunjukkan bakat lain dari Sally sebagai penyiar radio. 

Dari peran-peran yang dijalankan oleh Sally, menunjukkan kalau kehadirannya enggak hanya sekadar tempelan simbolik atau objek komedi semata, melainkan penggerak cerita yang aktif dan digambarkan berdaya baik secara ekonomi maupun sosial.  

Baca juga: ‘Queercoded’ dalam Anime 90-an: Bukti Anak Kecil Lebih Toleran 

Karakter Queer yang Dihilangkan dari Diri Sally 

Sayangnya, perkembangan karakter Sally tak selalu bergerak ke arah yang menguatkan representasi queer. Dalam episode “Irama Raya” musim ke-15, Sally–yang kini disebut dengan nama lahirnya Salleh–dibuat berubah setelah sering bergaul dengan karakter Iz dan Badrol. 

Lewat episode itu, sisi feminin yang selama ini menjadi identitas kuat dalam karakter Sally mulai dikikis. Hal ini dapat terlihat lewat suara dan penampilan Sally yang lebih maskulin. Perubahan Sally menurut saya menandakan penghilangan keragaman ekspresi gender yang selama ini sangat berarti, terutama bagi penonton anak-anak seperti saya dulu yang merasa menjadi liyan dan nyaris tak memiliki ruang untuk merasa “ada”.  

Waktu kecil, saya sering dianggap berbeda–terlalu lembut, halus, atau tidak cukup maskulin. Rasanya seperti hidup di definisi yang sudah ditentukan oleh orang lain, tanpa punya ruang untuk jadi diri sendiri. Namun, saat melihat karakter Sally di layar kaca, saya versi kecil seolah menemukan secercah keberadaan.

“Ternyata ada, ya, karakter seperti Sally. Ternyata, yang seperti aku bisa ada juga,” gumam saya waktu itu di dalam hati. 

Sebagai penonton yang merasa terwakili oleh karakter Sally, saya merasakan kehilangan. Penghilangan sisi feminin itu seolah menyampaikan pesan kepada anak-anak bahwa ekspresi feminin pada laki-laki merupakan sesuatu yang harus diperbaiki, atau dikoreksi melalui pergaulan. 

Padahal, representasi seperti inilah yang justru dibutuhkan oleh anak-anak—terutama mereka yang merasa berbeda dan belum punya ruang untuk merasa “cukup” sebagai dirinya sendiri.  

Kehadiran karakter queer yang utuh dan positif seperti Sally dapat membuka ruang penerimaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.  

Hal ini sejalan dengan temuan Cheuk Ying Yip dan Jae-Eun Oh (2025), yang menunjukkan paparan terhadap representasi queer dalam animasi memainkan peran penting dalam menumbuhkan sikap inklusif dan empati di kalangan anak-anak. Mereka menemukan, meskipun anak-anak mungkin belum sepenuhnya memahami identitas queer, tapi lewat representasi positif di media, anak-anak akan cenderung menunjukkan penerimaan yang lebih tinggi.  

Dengan kata lain, representasi queer dalam media bukan hanya membentuk persepsi di saat anak menonton, tetapi juga memberikan bekal pemahaman dan empati yang berkembang seiring usia. 

Baca juga: Reggy Lawalata dan Membesarkan Anak Transgender 

Temuan ini juga didukung oleh berbagai studi sebelumnya. Stockton (2009), menyebutkan pemahaman anak terhadap gender sangat dipengaruhi oleh media yang mereka konsumsi, terutama animasi. De Carvalho Baptista (2020), Martin dkk. (2002), dan Oliver & Green (2001) mencatat penggambaran peran gender dalam karya animasi dapat membentuk keyakinan, ideologi, pendapat, dan konsep kepada anak-anak mengenai norma sosial, hubungan, dan perilaku. 

Ketika representasi queer dihapus dari karakter seperti Sally, anak-anak kehilangan kesempatan untuk melihat bahwa menjadi berbeda dari norma bukanlah kesalahan. Media seperti animasi punya kekuatan membentuk cara pandang, dan penghilangan sisi feminin Sally berarti ikut menghapus kemungkinan bagi anak-anak untuk belajar menerima perbedaan.  

Sebagai seseorang yang dulu merasa sendirian karena tak sesuai dengan ekspektasi maskulinitas, kehadiran Sally pernah memberi saya ruang untuk merasa dilihat. Hari ini, saya bertanya-tanya: Berapa banyak anak yang kehilangan ruang itu karena karakter seperti Sally dipaksa menyesuaikan diri dengan norma? 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.