‘Restraining Order’ untuk Lindungi Korban KDRT: Sebuah Pembelajaran
AS dan Uni Eropa punya aturan agar korban KDRT tidak mendapatkan kekerasan berulang.
Di film-film seri kriminal atau di berita-berita tentang aktris Hollywood, kita bisa menemukan istilah restraining order, atau perintah agar pelaku kekerasan menjauhkan diri dari korban.
Hal ini misalnya terjadi pada aktris dan mantan model Denise Richards, yang menuntut temporary restraining order dari Pengadilan Los Angeles, California, terhadap mantan suaminya Charlie Sheen. Alasannya karena Sheen pernah menganiaya, melakukan kekerasan psikis, dan mengancam akan membunuhnya.
Permohonannya dikabulkan dan hakim memerintahkan Sheen agar menjauhi Richards dan anak-anaknya sejauh minimal 300 meter.
Korban kekerasan berulang, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penguntitan (stalking), sangat membutuhkan perlindungan agar dijauhkan dari pelaku, salah satunya dengan mekanisme restraining order (atau sering disebut juga protection order/protective order/order of protection).
Sayangnya, aturan ini belum ada di Indonesia. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hanya menyebutkan adanya “penetapan kondisi khusus” yang tercantum dalam penjelasan Pasal 31 Ayat (1).
Di negara bagian California, AS, ada empat macam restraining order yang dapat diajukan dalam kasus KDRT:
- Emergency Protective Order (EPO).
EPO adalah jenis restraining order darurat yang diajukan oleh polisi apabila mereka menganggap bahwa korban KDRT berada dalam bahaya dan perlu segera mendapatkan perlindungan. Polisi dapat menghubungi hakim segera setelah menerima laporan korban dan hakim harus selalu siap untuk menerbitkan EPO saat itu juga.
- Temporary Restraining Order (TRO)
EPO dapat diberlakukan hingga tujuh hari. Dalam jangka waktu tersebut, hakim dapat memerintahkan pelaku untuk meninggalkan rumah dan menjauh dari korban serta anak-anaknya. Dalam jangka waktu tersebut, korban dapat mengajukan masa perlindungan lebih lama atau TRO, yang berlaku antara 20-25 hari.
- Permanent Restraining Order
Permanent Restraining Order “tidak benar-benar permanen” karena biasanya diberlakukan hingga maksimal lima tahun. Setelah masa berlakunya habis, korban dapat mengajukannya kembali.
- Criminal Protective Order atau “Stay-Away” Order
Perintah perlindungan ini diajukan ketika korban telah melaporkan kasusnya ke polisi. Pengadilan pidana dapat menetapkan perintah perlindungan untuk jangka waktu sejak kasusnya diproses hingga tiga tahun setelah terdakwa dinyatakan bersalah.
Sementara itu di New York, seperti halnya negara bagian lainnya di Amerika Serikat, tidak memiliki UU khusus untuk mengatur KDRT, tetapi tindakan-tindakan yang tergolong dalam kekerasan diatur dalam New York Consolidated Laws, Penal Law.
Dalam undang-undang tersebut, definisi kekerasan tidak hanya “kejahatan terhadap tubuh” (seperti penganiayaan atau kekerasan seksual), melainkan juga stalking (mengikuti, memata matai), mengganggu, mengancam akan melukai dengan atau tanpa senjata, kecerobohan yang membahayakan (reckless endangerment), menghancurkan barang, mengintimidasi, menakut-nakuti secara verbal, mencuri barang, dan mencuri identitas (misalnya, kartu kredit).
Order of protection dalam KDRT tidak hanya dapat diajukan untuk melindungi korban dari tindakan yang dilakukan pasangan, tetapi juga mantan pasangan (termasuk pacar atau mantan pacar, dan remaja dalam hubungan pacaran), orang-orang yang pernah mengasuh anak secara bersama-sama, saudara ipar, mertua, menantu, dan orang yang memiliki hubungan darah (saudara kandung, orang tua, dan lain-lain).
Korban kejahatan-kejahatan tersebut dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan order of protection kepada pengadilan keluarga. Di pengadilan pidana, permohonan order of protection hanya dapat diminta setelah tersangka ditangkap dan yang berhak mengajukannya hanya jaksa.
Di pengadilan keluarga, pemohon wajib hadir di persidangan. Sementara itu, di pengadilan pidana, Jaksa tak harus menghadirkan korban jika bukti-bukti dianggap cukup.
Output dari order of protection, baik sementara maupun permanen, adalah penetapan yang dikeluarkan oleh hakim untuk membatasi atau mencegah pelaku agar tak melakukan perbuatan tertentu, misalnya :
- Berhenti mengganggu korban dan anggota keluarganya
- Menjauhi tempat tinggal, sekolah, atau tempat kerja korban dan keluarganya.
- Berhenti mengontak korban dan anggota keluarganya, termasuk lewat telepon, pesan teks, media sosial, surat, e-mail, mengirimkan hadiah, bunga, maupun menghubungi korban lewat orang lain.
- Menyerahkan senjata api dan melarang pembelian senjata api.
Aturan di Eropa
Peneliti Uni Eropa pada 2015 mengeluarkan hasil pemetaan aturan dan implementasi perintah perlindungan korban kekerasan di 27 negara Uni Eropa, yang berjudul Mapping The Legislation and Assessing The Impact of Protection Orders in the European Member States (POEMS Project).
Di Belanda, menurut penelitian tersebut, protection order umumnya dapat diberlakukan pada hampir semua pelaku kejahatan dan korban. Short term barring order hanya diterapkan dalam kasus KDRT.
Civil protection order dan short term barring order tidak selalu diikuti atau didahului oleh laporan ke polisi. Penetapan criminal protection order dapat dikeluarkan oleh hakim. Korban tidak dapat mengajukan permohonan tersebut, tetapi dia dapat memberitahukan secara verbal kepada jaksa agar mengajukannya.
Short term barring order mengharuskan pelaku menjauhi rumah bersama (yang dihuni pasangan dan anak-anaknya) dalam jangka waktu 10 hari sampai 28 hari. Civil protection order diberlakukan selama satu hingga dua tahun, tetapi masih ada yang dikeluarkan tanpa ada tanggal kadaluwarsa dan tidak ada hukum yang melarang hal ini.
Di banyak negara, protection order hanya berlaku di negara di mana penetapan tersebut dikeluarkan. Artinya, jika korban pindah ke negara lain, ada kemungkinan pelaku mengikutinya dan dapat mengulangi perbuatannya.
Kemungkinan terburuk inilah yang melatarbelakangi Uni Eropa mengadopsi dua instrumen hukum untuk melindungi korban yang pindah atau melakukan perjalanan ke negara lain di kawasan Uni Eropa, yaitu Directive 2011/99/EU tentang European Protection Orders dan Regulation 606/2013 tentang Mutual Recognition of Protection Measures in Civil Matters (EPM). Dengan adanya dua instrumen hukum tersebut, protection order yang diperoleh di sebuah negara anggota Uni Eropa akan berlaku di negara Uni Eropa lainnya.
Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.
Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.