Bahaya Incel dan Femisida: Percakapan Penting Setelah Nonton ‘Adolescence’
Cuma empat episode, dan tiap episode diambil dalam satu long take. Teknis menakjubkan itu tak lebih hebat dari pesan yang ingin dilempar miniseries ini.

Adolescence datang seperti pukulan keras di kepala—sesuatu yang ternyata dibutuhkan. Serial orisinal Netflix ini bukan drama remaja biasa, ia juga sebuah otopsi brutal tentang cara internet meracuni anak laki-laki dengan gagasan incel dan manosphere.
Ia mendorong penonton masuk ke dalam dunia Jamie Miller, seorang remaja 13 tahun yang dituduh membunuh teman sekelasnya. Namun, ia bukan sekadar kasus kriminal. Adolescence adalah potret kompleks tentang kesepian, internet, dan obsesi laki-laki muda terhadap figur ayah digital yang salah arah.
Jamie dipotret tidak satu lapis. Dia bukan pahlawan, bukan villain. Dia adalah produk—dari lingkungan yang minim kehadiran, dari algoritma YouTube yang menyodorkan “self-help for boys” tapi berujung bertemu dengan konten misoginis. Hasil dari masyarakat yang enggan bicara soal kesehatan mental remaja laki-laki.
Di episode pertama, kita langsung diseret ke kamar Jamie yang berantakan. Perlahan, kita akan belajar bahwa ia telah membunuh remaja perempuan, teman sekelasnya. Situasi tegang itu makin intens tiap menitnya, ketika kamera mengikuti proses hukum yang harus dihadapi bocah remaja itu dari dekat sekali.
Gambaran itu bukan fiksi kosong. Menurut laporan Center for Countering Digital Hate, lembaga nirlaba yang mencatat disinformasi di online, paparan konten misoginis pada remaja laki-laki meningkat drastis dalam tiga tahun terakhir. Banyak dari mereka mulai dari mencari tips olahraga atau cara agar percaya diri ngobrol dengan cewek, lalu pelan-pelan masuk ke rabbit’s hole: Konten yang menyalahkan perempuan atas semua kegagalan pria.
Ujungnya, bukan percakapan mudah: Pembunuhan terhadap anak perempuan oleh remaja laki-laki alias femisida, yang juga dilaporkan meningkat di Inggris, latar tempat miniseries ini.

Baca juga: Edukasi Anak Perempuan Soal Femisida, Nyalakan Alarm Sejak Dini
Manosphere Sebagai Karakter Tak Terlihat
Salah satu kekuatan Adolescence adalah caranya memperlakukan internet bukan sekadar latar, tapi sebuah karakter sendiri. Algoritma menjadi entitas aktif yang membentuk dunia Jamie. Setiap like, setiap tontonan, jadi benih untuk radikalisasi yang lebih dalam. Ini mirip dengan cara Black Mirror menggambarkan teknologi—bukan sebagai alat netral, tapi punya agendanya sendiri.
Episode dua jadi sorotan utama. Di sini kita melihat Ryan, kawan Jamie, dikejar polisi setelah ditanyai tentang senjata yang digunakan Jamie untuk membunuh. Kamera mengikuti adegan itu dari ruang kelas, menembus lorong sekolah, keluar ke jalan, lalu naik ke udara—pindah menggunakan drone. Semua dalam satu shot tanpa cut.
Adegan ini bukan sekadar pertunjukan teknis, tapi metafora visual tentang bagaimana tekanan dari semua arah—dunia nyata dan digital—menghimpit remaja hari ini. Teknik one take ini jadi terasa ampuh sebagai metode presentasi isu yang ingin dipotret Adolescence. Bikin penonton merasa seperti ada di dalam tubuh Jamie. Kita tak dikasih waktu buat napas, sama seperti dia.
Teknik ini bukan hal baru dalam filmmaking. Ia sempat populer lewat film Birdman atau 1917. Tapi, Adolescence jadi segar karena dikemas sebagai miniseries, dan melakukannya di tiap episode. Artinya, kru dan aktor harus melewati satu jam penuh tanpa salah, tanpa cut, dengan koreografi kamera yang super rumit, mirip seperti pertunjukan teater.
Hasilnya? Kita sebagai penonton seperti sengaja dipacak menonton realitas. Tak ada momen buat berpikir, tak ada waktu buat kabur. Sama seperti Jamie—dan karakter lainnya, terus bergerak. Improvisasi para aktor pun terasa lebih dekat karena berusaha benar-benar mereka realitas.

Baca juga: Budaya Kehormatan Bikin Perempuan di Turki jadi Korban Femisida
Ayah Digital dan Krisis Maskulinitas
Satu tema kuat yang muncul adalah diskursus tentang figur ayah dalam keluarga heteronormatif. Sosok ayah digantikan oleh pria-pria di internet—mereka yang menyebut diri sebagai coach, motivator, atau kadang, laki-laki alfa—sebutan untuk para pria yang dalam konsep “Manosphere” berada di posisi puncak. Mereka diberi arahan, tujuan hidup, dan—ironisnya—pelukan digital yang Jamie butuhkan. Tapi, pelukan itu berduri.
Nasihat-nasihat yang dikasih selalu punya subteks: Perempuan tidak bisa dipercaya, dunia membenci cowok baik, dan satu-satunya jalan keluar adalah jadi “pria sejati”. Buat Jamie, ini jadi pelampiasan. Tapi buat penonton, ini jadi alarm.
Tema ini dikupas tajam dalam episode 4. Kita akan dipertontonkan bagaimana dampak pembunuhan yang dilakukan Jamie, juga memengaruhi keluarganya.
Yang bikin Adolescence beda dari serial lain adalah caranya menyampaikan pesan tanpa kotbah. Dialognya natural. Kita tidak dikuliahi soal bahaya internet, tapi bisa melihat nyata dampaknya. Kita tidak diberi grafik statistik, tapi bisa melihat bagaimana satu video bisa mengubah seluruh cara pandang Jamie terhadap perempuan dan dirinya sendiri sendiri. Ini yang bikin dialog antara Jamie dan psikolognya di episode 3 jadi hentakan jitu—pukulan keras di kepala tadi, yang ternyata diperlukan semua orang: Orang tua, polisi, psikolog anak, dan kita semua sebagai masyarakat.

Adolescence fokus pada isu lama yang dikemas dalam konsep bernama baru, Manosphere. Sesuatu yang selama ini tumbuh subur dalam konsep patriarki, tapi ternyata jadi pembunuh berdarah dingin: Krisis eksistensial remaja laki-laki yang kesepian, dan lubang kelam dunia digital yang masih gelap dari sorotan kita bersama.
Isu ini meroket setelah Andrew Tate, seorang influencer sekaligus mantan kickboxer, yang dijuluki “King of Toxic Masculinity”, makin dikenal. Konten-konten yang dipublikasikannya dianggap membahayakan anak dan remaja—terutama laki-laki—yang menyaksikan kontennya. Ia menyebarkan maskulinitas toksik sehingga dikhawatirkan perilaku misoginisnya akan ditiru anak-anak dan remaja. Ia bahkan sempat dilarang di sejumlah platform media sosial, seperti X, Instagram, dan Tiktok, karena melanggar kebijakan keamanan mereka.
Omongan populer Tate, tentang perempuan yang cuma tertarik pada 20 persen ‘cowok alfa’ juga diselipkan dalam episode 2, saat polisi menyelidiki sekolah Jamie. Buat yang terpapar nama Tate, istilah seperti red pill, MGTOW, atau black pill, akan jadi familiar karena dipotret series ini.
Serial ini makin relevan karena berhasil merekam fenomena gelap lainnya di internet, semuanya diselipkan tanpa terasa maksa. Bahkan lagu-lagu soundtrack-nya—dari Tyler, The Creator sampai Billie Eilish—semua terasa kontekstual dan memperkuat suasana.
Adolescence bukan cuma serial, tapi peringatan. Ia menggambarkan dunia nyata saat ini: Saat algoritma juga jadi elemen yang ikut membesarkan anak laki-laki hari ini, bukan cuma keluarga mereka, karena satu klik bisa jadi jalan masuk ke kegelapan. Baiknya, semua mendengarkan. Lalu, melanjutkan percakapan yang telah ia mulai.
