Melawan ‘Toxic Masculinity’ di Kantor, Laki-laki Harus Dilibatkan
Penting untuk diingat bahwa laki-laki, biasanya tanpa disadarinya, juga terluka karena toxic masculinity alias maskulinitas beracun.
Toxic masculinity alias maskulinitas beracun ternyata masih jadi momok yang terinternalisasi di banyak orang, termasuk laki-laki sendiri. Dalam survei yang dilakukan Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE), sebanyak 59,4 persen perempuan dari 896 responden dan 40,4 persen laki-laki masih terjebak bias-bias gender. Mereka masih terjebak keyakinan toksik yang menganggap laki-laki dan perempuan harus menggenapi standar-standar gender tertentu.
Sebanyak 31 persen responden laki-laki dalam survei itu, misalnya, masih menganggap laki-laki harus kuat secara fisik dan mental; laki-laki harus selalu mengambil keputusan dalam pekerjaannya; dan laki-laki lebih pantas melakukan pekerjaan berat atau kerja fisik. Sikap-sikap yang sebetulnya dimiliki oleh semua gender ini mereka yakini sebagai peran yang cuma dimiliki laki-laki. Kesulitan mengidentifikasi peran gender ini, menurut survei IBCWE punya dampak negatif ke tempat kerja.
Bentuk-bentuk maskulinitas beracun yang terus dipelihara lama-lama bisa menyebabkan disfungsi organisasi, kata Yono Reksoprodjo, Dewan Pembina IBCWE dan Vice President of Corporate Affairs dari Sintesa Group.
Baca Juga: Saya Laki-laki, Saya Butuh Feminisme
“Biasanya dalam konteks budaya diawali karena adanya nilai maskulinitas yang mendukung kompetisi winner-takes-all di mana pemenang menunjukkan sifat stereotip maskulin seperti ketangguhan emosional stamina fisik,” ungkap Yono, dalam webinar bertajuk #LelakiTurutSerta: Involving Men to Break the Bias, Jumat (11/3) lalu. “Kekejaman budaya semacam itu yang berlebihan dan dalam kurun waktu yang cukup dapat menyebabkan disfungsi organisasi,” tambahnya.
Selain berdampak ke organisasi, maskulinitas toksik yang tidak disadari ini juga bisa berdampak pada individu laki-laki dan perempuan. HR Program Manager IBCWE Zelda Lupsita mengatakan, bias-bias kecil ini bisa berbentuk macam-macam. “Misalnya, dalam istilah man up!” ia mencontohkan.
“Ujaran ini problematik karena lahir dari nilai maskulinitas. Bahwa laki-laki harus memiliki sifat maskulin tertentu. Seakan-akan meminta laki-laki untuk terus membuktikan kualitasnya di atas perempuan. Dan ketika tidak bisa mencapai standar ini, maka mereka harus menanggung tekanan dari kolega mereka,” tambah Zelda.
Tak cuma berdampak buruk pada laki-laki, nilai-nilai maskulinitas beracun di dunia kerja juga berdampak buruk pada perempuan. Mereka biasanya menghadapi beban ganda, karena standar nilai-nilai di tempat kerja dibangun berdasarkan biar maskulinitas beracun. Misalnya, perempuan harus dituntut kompetitif seperti laki-laki, padahal di saat bersamaan akses yang diberikan pada perempuan sudah timpang sejak awal.
“Perempuan menghadapi apa yang disebut double bind atau ikatan ganda,” tambah Zelda. Mereka sering kali diminta memenuhi tanggung jawabnya sebagai pekerja, tapi di saat bersamaan terbatasi peran gender tradisional sebagai perempuan. Masalahnya, dalam norma maskulin toksik, hambatan-hambatan yang dirasakan perempuan sering dikelirukan sebagai permintaan perlakuan khusus.
Baca Juga: Rigid Ideas of ‘Manning Up’ Harm Young Men and Those Around Them
Laki-laki Harus Terlibat
Menurut Devi Asmarani, pimpinan redaksi Magdalene pada kesempatan yang sama, kesetaraan gender bertujuan menciptakan dunia yang lebih baik dan adil buat semua gender. “Namun, sering kali ada kesalahpahaman yang beredar di masyarakat, bahwa upaya ini mengacu pada pengistimewaan perempuan,” ungkapnya, yang berlaku sebagai moderator.
Senada dengan Devi, Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Indra Gunawan mengatakan, kesetaraan gender harusnya adalah perjuangan hak-hak kemanusian. Bukan mempertentangkan peran antara laki-laki dan perempuan. “Tujuan pentingnya adalah memastikan perempuan dan laki-laki memiliki kecepatan akses yang sama,” kata Indra.
Yono Reksoprodjo mengungkapkan, untuk mencapai kesetaraan gender dalam dunia kerja, perusahaan acapkali hanya fokus pada perempuan daripada memecahkan permasalahan struktural di sistem. Salah satu permasalahan struktural itu adalah melepaskan perempuan jadi tumpuan solusi, dan aktif melibatkan laki-laki melawan maskulinitas beracun.
“Sebagai agen perubahan laki-laki harus ikut berpartisipasi secara aktif mempromosikan kesetaraan gender,” tegasnya.
Baca Juga: Kurang Merasa Jantan? Jangan Salahkan Perempuan
Ia mencontohkan laporan Boston Consulting Group, yang menerangkan bahwa ada korelasi antara kemajuan perusahaan dengan kesadaran pekerja laki-laki mereka terhadap kesetaraan gender. Sekitar 96 persen perusahaan dengan pekerja laki-laki yang aktif dalam upaya kesetaraan gender mengalami kemajuan. Sebaliknya, di antara perusahaan yang tidak melibatkan laki-laki, hanya 30 persen yang mengalami kemajuan.
Salah satu narasumber, Rudy Manik, Chief Human Resources Officer dari FWD Insurance mengingatkan pentingnya perusahaan-perusahaan menerapkan kesetaraan gender dari top to bottom.
“Karena kalau dari atasan saya sudah mengimplementasikan nilai-nilai kesetaraan misalnya, mau tidak mau seluruh jajaran harus melakukannya. Kalau hal ini kita lakukan secara konsisten maka akan timbul outcome. Dan dari outcome ini bisa di-review bersama untuk terus kita implementasikan,” ungkapnya.