Culture Screen Raves

‘The Idol’: Membuktikan Pengalaman Menonton yang Tidak Menyenangkan

Romantisasi ketelanjangan, narkoba, dan perempuan seksi dalam karya Sam Levinson. Sebetulnya, apa yang mengejutkan?

Avatar
  • June 20, 2023
  • 5 min read
  • 2500 Views
‘The Idol’: Membuktikan Pengalaman Menonton yang Tidak Menyenangkan

(Artikel ini mengandung spoiler dua episode pertama The Idol)

Mendekati menit-menit terakhir The Idol episode 2 yang berjudul “Double Fantasy”, Tedros yang diperankan Abel “The Weeknd” Tesfaye berdiri menatap Jocelyn (Lily Rose-Depp), yang matanya ditutup kain berwarna merah.

 

 

You look like a treat. Imagine my tongue on your pussy. My fat tongue. I wanna grab you by the ass while I suffocate you with my cock. I want you to choke on it,”  Tedros mendesis.

Sebelum muncul di HBO, sebelum premiere-nya yang mewah di Cannes, The Idol sudah mencuri perhatian berkat pemberitaan Rolling Stone Maret lalu. Berdasarkan laporan dari beberapa kru yang bekerja dalam produksi tersebut, ada konflik yang terjadi di antara para co-creators.

The Idol tadinya dikerjakan oleh Amy Seimetz, aktor sekaligus pembuat film (salah satu karyanya adalah serial The Girlfriend Experience). Mereka bahkan sudah syuting 80 persen dari total 6 episode yang tadinya akan dibuat. Co-creator sekaligus aktor utama The Idol, Abel Tesfaye, menurut para informan tidak suka dengan hasil akhir versi Seimetz karena The Idol jadi terlalu condong menggunakan perspektif perempuan. Pergesekan kreatif ini akhirnya membuat Seimetz mundur dari proyek tersebut dan digantikan oleh Sam Levinson.

Baca juga: Kontroversi Sam Levinson, dari ‘Euphoria’ Hingga ‘The Idol’

Kalau sudah menonton Euphoria atau Malcolm & Marie (Netflix), kamu pasti tahu apa yang mungkin dihadirkan oleh Levinson. Sebagai sebuah drama remaja, Euphoria memang terlihat “mentereng” berkat production value-nya yang di atas rata-rata dan kegemaran Levinson untuk selalu over-the-top, termasuk bagaimana ia menggambarkan seksualitas karakter remajanya.

Tema remaja mengeksplor seksualitas memang wajar, tapi dalam kasus Euphoria, aksi Levinson terasa agak berlebihan. Euphoria terasa seperti bergantung pada adegan-adegan tersebut daripada plot.

Sementara dalam Malcolm & Marie, Levinson menulis monolog panjang yang diucapkan karakter John David Washington, karakter pembuat film, tentang seorang kritikus film. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa dialog yang diucapkan oleh Washington tersebut adalah cara Levinson untuk “balas dendam” kepada seorang kritikus yang mengkritik filmnya, Assassination Nation.

Di atas kertas, kolaborasi Levinson dan Abel Tesfaye adalah kismet. Kalau kamu mendengarkan atau menonton satu saja video dari The Weeknd, kamu pasti tahu bahwa selera mereka berdua sama. Baik Levinson dan Tesfaye sama-sama hobi untuk meromantisasi gaya hidup hedonisme. Narkoba, perempuan seksi dengan baju yang minim, ketelanjangan. Hal-hal ini bisa ditemukan di karya-karya Levinson dan Tesfaye.

Pengalaman yang Tidak Menyenangkan

Dengan publikasi yang begitu buruk, sebenarnya saya tidak tertarik untuk menyaksikan The Idol. Kenyataan bahwa The Idol menggantikan slot Succession juga tidak begitu membantu. Tapi ternyata rasa penasaran itu ada. Lagipula saya tidak bisa tidak menyukai sesuatu tanpa alasan. Dan ternyata setelah menonton dua episode pertama The Idol, saya membuktikan bahwa berita-berita itu benar. The Idol memberikan pengalaman menonton yang tidak menyenangkan.

Sejak episode pertama, The Idol (seperti halnya Euphoria) membuka perjalanan si karakter utamanya dengan shock value. Jocelyn diceritakan sebagai pop-star yang mentally struggling, baru saja keluar dari mental facility setelah ibunya meninggal dunia, sedang bersiap untuk comeback. Sebentar lagi ia akan tur sekaligus merilis single terbarunya. Ini semua big deal sampai seorang jurnalis datang untuk minta wawancara eksklusif. Di antara semua kekacauan ini, foto Jocelyn lengkap dengan sperma di wajahnya tiba-tiba bocor di internet. Netizen menyebut Jocelyn sebagai “the human cumsock”.

Sampai Jocelyn belum bertemu Tedros, The Idol menggambarkan hidupnya yang hampa. Ia dikelilingi begitu banyak orang tapi ia merasa sendiri. Ketika ia bertemu dengan lelaki itulah, Jocelyn merasa seperti mempunyai tujuan lagi dalam hidupnya. Leia (Rachel Sennott), asisten Jocelyn mengatakan bahwa Tedros agak “rape-y” dan Jocelyn membalasnya dengan, “I like that about him.”

Baca juga: ‘Succession’ Finale: Seni Menghancurkan Mimpi Indah

Kalau ini belum meyakinkan saya bahwa The Idol ditulis oleh laki-laki cis-heterosexual, tunggu sampai adegan penutup episode pertamanya.

Jocelyn mengajak Tedros ke rumahnya untuk mendengarkan single terbarunya, World Class Sinner. Mereka mengobrol kemudian interaksi mereka berubah menjadi foreplay. Tedros kemudian melilitkan kaindi kepala Jocelyn sampai ia kesulitan bernapas, yang digambarkan membuat Jocelyn semakin bergairah, alih-alih takut. Tedros kemudian mengambil pisau dan menyobek bagian mulut Jocelyn seraya mendesis, “Now, you’re ready to sing.”

Eksploitasi seksualitas sebenarnya bukan barang baru di Hollywood, tapi dalam The Idol, penonton seperti dipaksa menjadi peserta dalam fetish yang disajikan oleh pembuatnya. Yang membuat ini semakin buruk, Tesfaye sebagai pemeran utama sama sekali tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam berakting. Mungkin dalam video klip, Tesfaye terlihat meyakinkan mengingat penonton tidak perlu mendengarkan dia berdialog. Namun, dalam sebuah serial di mana kemampuan beraktingnya sangat dibutuhkan, Tesfaye terlihat cukup memalukan.

Sepanjang menonton The Idol, saya sama sekali tidak paham mengapa karakter Jocelyn sebegitu terpikatnya dengan Tedros. Tesfaye tidak memiliki screen presence atau kharisma yang kuat untuk menjadi cult leader yang membius.

Tanpa kehadiran Tesfaye, The Idol sebenarnya menjanjikan sebuah cerita menarik. Ini adalah cerita tentang seseorang yang direbut kebebasannya. Jocelyn sebagai seorang pop-star, digambarkan sama sekali tidak mempunyai suara atas perjalanan kariernya. Ada lintah-lintah yang mengelilinginya, memutuskan apa yang terbaik untuk dia.

Baca juga: Aktor Nonbiner Menang Tony Award, Kategori Akting Berdasarkan Gender Sudah Usang?

Orang-orang ini (Jane Adams sebagai Nikki Katz, Da’Vine Joy Randolph sebagai Destiny, Dan Levy sebagai Benjamin dan Hank Azaria sebagai Chaim) yang menyebut kesehatan mental Jocelyn sebagai sesuatu yang “seksi”.

Ada sekilas sekuens menarik di episode dua, ketika Jocelyn terlihat sekali “kacau”. Di sebuah proses syuting video klipnya, ia terus meminta syuting diulang karena tak merasa puas. Kakinya berdarah, air matanya mengalir, sementara puluhan orang menyaksikannya memanggil ibunya yang sudah tiada. Jocelyn adalah korban dari industri dan sayangnya tidak ia sadari. Kalau saja The Idol fokus dengan cerita tersebut, serial ini mungkin akan menjadi lebih mudah ditonton.

Sayang sekali Levinson dan Tesfaye lebih fokus ke fantasi seksual mereka.

The Idol dapat disaksikan di HBO GO



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *