Culture Screen Raves

‘Succession’ Finale: Seni Menghancurkan Mimpi Indah

Saat kita kira tiga saudara ini akan damai dan bahagia selamanya, di situ kita keliru dan ditampar kenyataan mengejutkan: Ikut bersimpati pada mimpi yang dihancurkan.

Avatar
  • June 8, 2023
  • 5 min read
  • 526 Views

(Artikel ini mengandung spoiler)

Keputusan Jesse Armstrong untuk mengakhiri Succession di musim keempat sebenarnya adalah keputusan yang menyedihkan. Sebagai penggemar berat kisah keluarga super kaya raya rebutan kedudukan, saya merasa masih ada banyak potensi drama yang bisa digali. Inilah kutukan dari sebuah drama yang setiap karakternya well-developed (bahkan supporting character yang hanya muncul di satu episode). Setiap tikungan punya potensi untuk digali, setiap orang punya jalan untuk berkhianat.

 

 

Succession memang bukan produk Disney yang semua produknya didesain untuk menyenangkan fans. Seperti layaknya seniman sejati, Armstrong tahu bagaimana cara mengakhiri kisah tentang anak-anak ambisius yang ingin menjadi (seperti judulnya) successor dari kerajaan yang dibangun ayah mereka, tanpa overstay his welcome. Dan menyaksikan episode terakhirnya, saya tidak bisa tidak setuju dengan keputusan Armstrong untuk mengakhiri kisahnya di sini.

Seonggok Melankoli Setelah Rusuh yang Tak Berujung

Seperti tulisan saya tentang Succession sebelumnya, Succession memutuskan untuk membunuh sang raja, Logan Roy (Brian Cox) di episode tiga. Logan sedang dalam perjalanan ke Eropa, bertemu dengan tech billionaire Lukas Matsson (Alexander Skarsgard) untuk membahas soal pembelian perusahaannya, Waystar-Royco. Matinya sang Patriarkh tentu saja membuat tiga anaknya belingsatan (anak pertamanya, Connor (Alan Ruck) tidak dihitung karena dari awal sudah punya obsesi lain).

Bagian lucunya tentu saja sebelum kematian Logan, tiga anaknya ini sedang bekerja sama untuk menjatuhkan si bapak dengan perusahaan sendiri. Tapi begitu Logan meninggal dunia, Kendall (Jeremy Strong), Roman (Kieran Culkin) dan Shiv (Sarah Snook) langsung berkompetisi untuk menjadi pemenang. Sementara Kendall dan Roman bersekutu dan meyakinkan Shiv bahwa adik bungsunya itu masih masuk inner circle untuk menggagalkan rencana akuisisi, Shiv diam-diam “sohiban” dengan Matsson.

Baca juga: Pertaruhan Plot Twist ‘Succession’ yang Berhasil

Dari awal, Succession memang mendesain karakter anak-anak Logan sebagai bocah-bocah yang merasa mereka segalanya. Sangat tidak mengherankan jika Kendall-Shiv-Roman (dan juga Connor) punya relasi yang sangat chaotic karena Logan sebagai Patriarkh memang mendidik anak-anaknya untuk selalu berkompetisi. Persetujuan dari sang bapak adalah segalanya, dan Logan sampai akhir hayatnya tidak pernah memberikan itu.

Succession sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan karena intrik tusuk-tusukan dari belakang antar-saudara ini sungguh menghibur.

Di episode terakhir yang berjudul With Open Eyes, Jeremy Armstrong dan sutradara Mark Mylod sekali lagi menunjukkan keahlian mereka dalam mempermainkan penonton. Dalam 90 menit, saya tidak pernah merasakan roller coaster emosi sehebat itu. Dan untuk mempersiapkan lompatan terkejam yang pernah ada, Armstrong dan Mylod menghadirkan satu sekuens terindah dan terintim dalam sejarah Succession.

Sebelum hari H voting dengan para pemegang saham untuk menentukan nasib Waystar-Royco jadi dibeli Matsson atau tidak, Shiv dan Kendall menemui Roman yang sembunyi di rumah ibunya pasca-momen “rusuh”-nya di pemakaman Logan. Shiv tentu saja berusaha membujuk Roman untuk setuju karena dia akan jadi CEO, sementara Kendall berharap Roman akan kembali ke timnya. Malam harinya Kendall mendapatkan info bahwa Matsson menikam Shiv. Matsson mencari alternatif CEO lain dan hal ini membuat Shiv marah luar biasa.

Melihat ini tentu saja Kendall langsung ngobrol dengan saudaranya dan meminta keduanya untuk menjadikannya CEO. Shiv dan Roman berdiskusi serius tentang ini dan akhirnya memutuskan Kendall yang menjadi CEO, penerus si bapak. Pergilah mereka ke dapur rumah ibu mereka untuk merayakan ini.

Ada banyak adegan meja makan di Succession. Tentu saja sebagai serial yang bercerita tentang orang-orang kaya memutuskan sesuatu, Succession penuh dengan adegan orang berkumpul di meja besar. Tapi ini pertama kalinya dalam sejarah Succession, pembuatnya menampilkan adegan yang terasa membumi dalam artian, ini adalah visual yang sangat normal. Tiga saudara tertawa-tawa, membuka kulkas, mencari makanan di tengah malam di dapur yang relatif kecil. Tidak ada orang lain, tidak ada pekerja rumah tangga, tidak ada karyawan. Tiga orang ini berkumpul dan berbagi sesuatu yang sangat intim.

Untuk beberapa saat, rasanya sangat menyenangkan, sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam Succession.

Baca juga: Ramai-ramai Tertawakan Polah Orang Kaya di ‘Succession’

Succession adalah banyak hal, tapi ia tidak pernah kebahagiaan. Perasaan saat menonton Succession sama seperti pergi ambil rapor. Bukan perasaan riang gembira seperti saat ingin ke Dufan. Momen di dapur saat Shiv dan Roman “menginisiasi” Kendall untuk menjadi raja baru adalah momen gembira. Momen yang rasanya datang dari lubuk hati yang paling dalam. Untuk pertama kalinya, saya bisa membayangkan apa yang terjadi di rumah mereka saat mereka masih kecil, saat mereka masih remaja ketika Logan tidak ada di frame.

Setelah adegan ini selesai, Armstrong dan Mylod menambahkan momen yang lebih intim lagi di kediaman Connor yang sebenarnya adalah rumah lama Logan. Mereka berkumpul untuk memutuskan barang Logan yang mau mereka ambil dan menonton bersama video bapak mereka. Sejujurnya, apa yang mereka tonton bukanlah momen Logan saat ia menjadi bapak yang baik atau bahkan orang yang baik. Tapi tetap saja, menyaksikan ayah mereka kelihatan hidup dan di satu titik terlihat bahagia, membuat ketiga anaknya (termasuk Connor) terbawa suasana. Untuk pertama kalinya, saya sebagai penonton percaya bahwa Kendall, Roman dan Shiv bisa mempertahankan Waystar-Royco. Perusahaan itu tidak akan ke mana-mana.

Baca juga: ‘Beef’: Duet Ali Wong dan Steven Yeun yang Gelap, Menegangkan, dan Adiktif

Jangan Tertipu Dulu

Masih ada sisa sekitar 20 menitan setelah adegan tersebut selesai. Saya kira Armstrong menjadi melankoli dan memutuskan mengakhiri Succession dengan nada yang riang. Saya salah. Yang terjadi berikutnya adalah lekukan roller coaster yang sungguh curam, saya hanya bisa melongo saat menyaksikannya. Armstrong memang kejam, ia sengaja menampilkan momen paling tulus, paling intim, paling bahagia sebelum karakter-karakter ini kembali ke sifat semulanya.

Truth be told, saya tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi successor. Armstrong dari awal menggambar Succession dengan karakter-karakter paling menyebalkan yang pernah ada. Tidak ada satu pun orang di serial ini yang punya kompas moral baik. And yet, I can’t help but feeling sad melihat ujung yang sungguh brutal. Tentu, saya akan kangen dengan sekumpulan orang-orang jahat ini.

Oh, dan terima kasih Jesse Armstrong yang telah menunjukkan seni bagaimana cara menghancurkan mimpi indah. What a great series.

Succession dapat disaksikan di HBO Go


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *