Ada Diri Kita dalam Don dan Kawan-kawan ‘Jumbo’
Peringatan spoiler.
Sebagai generasi Z yang lahir di akhir tahun 90-an, menonton film animasi Jumbo praktis membawa saya pada nostalgia masa kecil yang penuh keseruan. Mengambil setting tahun 2000-an, apa yang Don (Prince Poetiray) dan teman-temannya lakukan terasa dekat dengan kebiasaan saya bermain dulu, yakni main kasti sampai ikut pentas seni.
Dirilis 2 April kemarin, Jumbo sendiri adalah film petualangan fantasi animasi yang disutradarai Ryan Adriandhy, seorang animator dan stand-up comedian. Banyak menyuguhkan unsur-unsur lokal, Jumbo menceritakan kisah Don, seorang anak yatim piatu bertubuh besar yang ingin membuktikan kemampuannya lantaran sering dirundung. Kehadiran tokoh Atta (Muhammad Adhiyat), lawan yang jadi kawan, membuat Don belajar untuk menemukan kepercayaan dirinya. Bersama dua sahabatnya, Nurman (Verrys Yamarno) dan Mae (Graciella Abigail), Don memutuskan ikut pentas seni untuk membuktikan kemampuannya.
Sepanjang film dimainkan, beberapa scene pun sukses besar menghadirkan tangis pada diri saya. Enggak cuma soal momen haru yang memang menyentuh hati, beberapa adegan dalam film juga terasa dekat lantaran cukup jujur menggambarkan diri anak-anak yang tengah tumbuh dalam lingkup pertemanan.
Tidak seperti Bawang Merah dan Bawang Putih yang punya dikotomi penokohan antara si baik dan si jahat, film Jumbo justru menyuguhkan penokohan anak yang rasanya cukup kompleks.
Film ini tidak hanya tentang diri Don yang terus dirundung, atau Atta yang terus jadi anak bandel dalam alur cerita. “Jumbo” menyuguhkan pertengkaran, proses belajar, sampai kata maaf yang akan selalu ada dalam sebuah perjalanan tumbuh kembang anak.
Baca juga: Ke Mana Perginya Film Ramah Anak?
Membangun Kepercayaan Diri
Berusia 10 tahun dalam film, keinginan Don untuk membuktikan potensi dirinya sesuai dengan yang Erik Erikson sebutkan dalam teori perkembangannya, yakni Eight Stage of Psychosocial Development. Di usia-usia Don (6-12 tahun), anak tengah melalui sebuah tahapan bernama Industry versus Inferiority yang berfokus pada proses pembangunan kepercayaan diri, di mana anak akan mencari posisinya di tengah masyarakat atau pertemanan.
Pada konteks Don, hal ini dapat terlihat pada bagaimana ia bersikeras untuk membuktikan posisinya sebagai orang yang “pantas” diajak dan diperhitungkan dalam lingkup pertemanan. Dalam momen ini, sebagai anak, Don tengah memasuki dunia baru di luar keluarganya, dan membutuhkan pengakuan bahwa ia dapat berfungsi dalam lingkup tersebut.
Dalam ulasan Safaa Issawi, Industry Versus Inferiority (2017), dari Department of Psychology University of Detroit, dijelaskan bahwa kesuksesan tahapan perkembangan ini dapat ditunjukkan dengan kepercayaan diri anak yang muncul. Selain itu, harga diri anak juga dapat terbentuk dan harapannya, anak dapat memanfaatkan kemampuan serta nilai-nilainya di masyarakat dengan baik.
Meskipun sempat muncul rasa egois pada diri Don lantaran memenangkan pentas seni, di akhir, Don tetap dapat memaknai kemenangannya sebagai sesuatu yang berbeda. Meskipun terlihat cukup singkat untuk menggambarkan sebuah proses perkembangan, pertumbuhan karakter Don dalam Jumbo sangat memperlihatkan keberhasilan tahapan perkembangan ini.
Enggak cuma itu, Don juga menyadari bahwa membalas budi, menepati janji, dan membantu orang lain merupakan bentuk kontribusi lain yang dapat menebalkan posisinya dalam proses sosialisasi di masyarakat.
Baca juga: Film ‘Cuties’, Kontroversi, dan Dilema Anak Perempuan Masa Puber
Kak Acil, Oma Don, dan Anak yang Butuh Pendampingan
Kehadiran Kak Acil (Angga Yunanda), Kakak Atta, dan Oma Don (Ratna Riantiarno) sangat menggambarkan bagaimana pentingnya peran orang dewasa dalam tumbuh kembang anak. Terkhusus pada tahapan perkembangan ini, melansir Story Changes, dorongan orang dewasa untuk mengembangkan skill, akan membantu anak untuk mengembangkan kompetensi dan keyakinan akan kemampuan mereka.
Dalam film, dorongan Oma Don dan juga Kak Acil pada Don dan Atta–untuk ikut pentas seni–jadi hal yang krusial. Masih dari laman yang sama, selain meyakinkan bahwa anak punya kesempatan untuk terus mengembangkan keterampilan, dukungan yang diberikan oleh dua tokoh tersebut dapat membuat anak yakin bahwa ia punya lingkungan yang aman untuk mengembangkan dirinya.
Selain itu, orang dewasa juga punya andil penting dalam membantu memvalidasi perasaan anak, sampai membingkai ulang emosi anak. Seperti yang dilakukan Kak Acil saat menenangkan Atta ketika ia marah, menyadur laman Forty Carrots Family Center, upaya ini penting karena dapat membuat anak mengenali emosinya.
Baca juga: Menonton Lagi Film ‘Mudik’ dan Merasakan “Beban” Ketika Pulang Kampung
Dalam film, Kak Acil mengingatkan Atta untuk tidak meluapkan emosinya dengan amarah ketika berada dalam lingkup pertemanan. Dari laman yang sama disebutkan, aksi seperti yang Kak Acil lakukan disebut dapat menumbuhkan empati, sampai regulasi emosi anak yang lebih baik.
















