Culture Opini Screen Raves

Review ‘La Luna’: Kala Pemberontakan Dimulai dari Celana Dalam

Film ‘La Luna’ menggambarkan beragam kritik penting dengan balutan komedi satir. Dari masalah menyembah Tuhan, seks, hingga kekerasan perempuan.

Avatar
  • December 8, 2023
  • 5 min read
  • 1565 Views
Review ‘La Luna’: Kala Pemberontakan Dimulai dari Celana Dalam

Kampung Bras Basah dihiasi dengan pamflet bertuliskan, “Allah Maha Melihat” di setiap sudutnya. Semua warga Muslim di seluruh dunia sebenarnya sudah tahu soal ini. Namun, khusus untuk Kampung Bras Basah, “Allah Maha Melihat” punya makna khusus. Pemimpin kampung Tok Hassan (Wan Hanafi Su) adalah “Tuhan”. Ia mengawasi semua warga dengan obsesi berlebih. Ia menggunakan hukuman untuk membuat semua orang tunduk kepadanya. Siapa pun yang melanggar, mereka akan berakhir dengan rompi oranye dan memunguti sampah di pinggir jalan.

Masuklah Hanie Abdullah (Sharifah Amani), perempuan kota yang ternyata mewarisi rumah di Kampung Bras Basah. Dari tampilan luar, ia jelas menjadi “kuman” yang harus dibersihkan oleh Tok Hassan. Enggak cuma jadi satu-satunya perempuan yang hadir tanpa penutup kepala, tapi ia juga orang pertama yang berani melawan Tok Hassan. Ketika ditanya apa yang akan direncanakan, Hanie hanya tersenyum simpul. Seolah-olah tahu, apa pun yang akan ia buat akan membuat Kampung Bras Basah terguncang.

 

 

Memang benar kampung itu akhirnya bergetar. Hanie membuka toko lingerie yang langsung membuat kebanyakan orang ketar-ketir, terutama Tok Hassan. Dengan tulisan “laki-laki dilarang masuk” di depan pintu, toko yang bernama “La Luna” ini ternyata menjadi api pertama revolusi. Siapa sangka pemberontakan pertama dimulai dari g-string berwarna pink?

Ulasan La Luna
Sumber: IMDB

Baca juga: 5 Manfaat Tidak Memakai Celana Dalam Saat Tidur bagi Perempuan

Komedi yang Penuh Isi

Menyaksikan film dengan pesan sosial kadang terasa seperti tugas. Saya sangat menghindari jenis film ini karena enggak kuat diceramahi. La Luna yang ditulis dan disutradarai oleh M. Raihan Halim bukan film tersebut. Semua penonton takkan gagal menangkap statement keras pembuatnya soal patriarki. Namun, film ini tidak pernah sekali pun berceramah apalagi mengatur karakter-karakternya, termasuk penonton, tentang apa yang menurut pembuatnya baik. Bagian terbaiknya, La Luna adalah film yang sangat menghibur.

Sebagai pencerita, M. Raihan Halim fokus dengan apa yang ingin dia sampaikan. Ia tahu hal-hal apa saja yang akan disampaikan kemudian membungkusnya dengan sempurna, bak barang dagangan di La Luna. Otomatis saya dibikin terkesima.

Hampir semua film Indonesia yang membahas soal topik serius ini, apa lagi kalau sudah dikaitkan dengan agama, selalu membungkusnya dengan nada serius (mungkin yang paling mendekati adalah Hijab (2015) karya Hanung Bramantyo. Keputusan M. Raihan Halim untuk menawarkan La Luna dalam bentuk komedi (dan juga romance tipis-tipis) ternyata justru membuat pesan yang ia tampilkan sangat kuat.

Yang menarik bagi saya, meskipun semuanya karakter utamanya beragama Muslim yang taat, La Luna bukanlah film relijius. Ini adalah gambaran universal tentang sosok fasis yang ngotot memaksakan peraturannya kepada warga. M. Raihan Halim menggarisbawahi pernyataan ini dengan karakterisasi dua pemuka agama yang sangat berbeda. Kalau Tok Hassan keras dan penuh kontrol, Ustaz Fauzi (Ledil Dzuhrie Alaudin), berusaha keras merangkul warganya. Menurutnya beribadah kepada Tuhan bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Sebaliknya, menurut Tok Hassan tidak ada yang namanya “bermain-main” dalam urusan ibadah. Semuanya harus serius, semuanya serba saklek.

Statement soal patriarki ini kemudian diperkeras oleh pembuatnya dengan sub-plot tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di sinilah menurut saya La Luna jadi tontonan penting. Sebab, meskipun menarik penontonnya dengan tawa, La Luna tidak pernah setengah-setengah dalam mengacungkan jari tengahnya soal kasus-kasus tersebut.

Bagian paling menarik dari plot ini adalah bagaimana M. Raihan Halim menggambarkan pendapat pemuka agama soal kasus ini. Ketika pasangan dalam film bertengkar hebat sampai karakter Hanie campur tangan, apa yang diucapkan oleh orang yang dianggap pemuka agama justru membuat saya merinding. Bukannya Tok Hassan melindungi si istri yang sudah jelas-jelas digebuki oleh suaminya, ia malah meminta suami “mengontrol” istrinya supaya tidak menciptakan histeria.

ulasan film La Luna
Sumber: IMDB

Baca Juga: Sejarah Korset: Antara Pengekangan dan Pembebasan Perempuan

Seks dan Agama, Perpaduan Yahud

Bagian yang sangat mengesankan dari La Luna bagi saya adalah bagaimana ia menggambarkan kehidupan rumah tangga orang-orang di kampung. Topik soal seks selalu menjadi tabu, apa lagi kalau kita membahasnya di konteks lingkungan orang-orang beragama yang taat seperti di Kampung Bras Basah.

Namun dalam film ini, saya menyaksikan pembahasan topik seks menjadi sesuatu yang menarik untuk digali. M. Raihan Halim menampilkannya sebagai bahan komedi yang jitu tapi juga observasi yang patut untuk dibincangkan. Bagian terbaiknya? Semua adegan itu tidak terlihat menjijikkan atau eksploitatif.

Seperti halnya api yang disiram oleh bensin, warga Kampung Bras Basah langsung berbondong-bondong mengunjungi toko Hanie ketika salah satu warga mendapatkan review baik ketika memakai produk La Luna (adegannya dibuat dengan sangat komikal tapi sekaligus realistis).

Kampung Bras Basah yang tadinya sepi sekarang menjadi meriah karena semua rumah tangga sekarang sibuk dengan mainan barunya. Tidak ada yang lebih menggemaskan daripada melihat pasangan-pasangan harmonis yang disibukkan oleh cinta mereka.

review La Luna terbaru
Sumber: IMDB

Baca Juga: Salah Kaprah Tentang Vagina Kita

Efek dari ini semua tentu saja adalah sepinya bapak-bapak yang sekarang sibuk ngamar di rumah bersama istrinya. Dan tidak ada yang membuat Tok Hassan kesal daripada ini: Lose control. Di momen inilah saya melihat, dari awal Tok Hassan memang didesain untuk menjadi hater sejati. Tidak mengherankan kalau dia bad mood sepanjang film. Cinta saja dia tidak punya.

La Luna dapat disaksikan di jaringan CGV.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *