Review ‘Tetris’: Sejarah Pelik Permainan yang Bikin Candu
Sebagai sebuah origin story, Tetris cukup kompleks dan juga sederhana di saat yang bersamaan.
Saya rasa semua orang pernah terjerat pesona Tetris, sebuah game yang sangat sederhana tapi bikin candu. Waktu masih SD, saya pernah menghabiskan delapan jam penuh main gameboy murah (bukan yang original) untuk main Tetris. Setiap kalah, saya memulainya lagi dari awal. Rekor tertinggi: Saya berhasil dapat semua buah yang ada di pinggir layar. Rasanya melebihi jadi juara kelas.
Saya bukan pemain game akut. Kebanyakan game yangada di ponsel punya kesulitan sangat rendah seperti Candy Crush, Redecor (game seru jadi interior designer), dan tentu saja Tetris. Dulu saya pernah iseng me-Wikipedia siapa pembuat Tetris, yang nyantol di kepala cuma info tentang penciptanya adalah orang Rusia. Bersyukur sekali Apple TV merilis Tetris, sebuah film tentang origin story game tersebut, karena yang saya baca di Wikipedia tidak ada apa-apanya dibanding apa pun yang saya lihat di filmnya.
Tetris tidak bercerita tentang bagaimana Alexey Pajitnov (Nikita Efremov) menciptakan game tersebut ketika dia bosan di kantornya. Film ini lebih fokus berkisah tentang cara Tetris bisa beredar di seluruh dunia dan akhirnya mengubah hidup banyak orang (termasuk saya).
Tokoh utamanya adalah Henk Rogers (Taron Egerton), seorang pencipta game yang sekarang nyambi sebagai marketing. Di sanalah ia melihat Tetris. Sekali bermain, Henk Rogers tahu bahwa game ini tidak bisa dilupakan.
Baca juga: ‘Close’: Cerita tentang Maskulinitas yang Membunuh Persahabatan Laki-Laki
Rogers lalu ingin memiliki Tetris. Tapi, hak ciptanya dimiliki oleh Andromeda Software (Toby Jones sebagai Robert Stein) bekerja sama dengan Mirrorsoft, yang dimiliki Robert Maxwell (Roger Allam). Rogers tidak menyerah. Ia tahu hak cipta Tetris untuk Jepang masih tersedia. Nintendo sedang membuat prototype untuk Game Boy, dan Rogers diutus untuk mendapatkan hak cipta Tetris untuk peralatan handheld. Ia tahu ini kesempatan besar, tapi misinya tidak sesederhana yang ia pikir.
Cerita Kompleks yang Sederhana di Saat Bersamaan
Sebagai sebuah origin story, Tetris cukup kompleks dan juga sederhana di saat yang bersamaan. Ia menjelaskan sebuah perang hak cipta yang lumayan ribet karena berhubungan dengan kondisi politik Rusia pada dekade 80-an. Tapi pada saat yang bersamaan, penulis skrip (Noah Pink) dan sutradaranya (Jon S. Baird) menjalankan plot tersebut seperti sebuah perlombaan lari cepat. Semua orang (atau lebih tepatnya, Henk Rogers) berlari melawan waktu.
Dengan durasi 118 menit, Tetris berlari cukup cepat. Tidak ada momen yang membosankan, tidak ada waktu untuk beristirahat.
Baca juga: Yang Kurang Nendang dari ‘Dungeons & Dragons: Honor Among Thieves’
Tetris, yang didesain sebagai crowd pleaser, mendesain karakternya dengan warna yang jelas. Karakter protagonisnya nampak sangat likeable sementara karakter antagonisnya terlihat jahat, bahkan bila dilihat dari kejauhan satu kilometer. Anthony Boyle yang berperan sebagai Kevin Maxwell perlu mendapatkan pujian karena dia sangat nyaman memerankan karakter ini, Anda pasti ingin menamparnya saat melihat mukanya yang “tampol-able”.
Pilihan ini sangat adil, meski akhirnya penonton tidak akan mendapatkan interaksi antar-karakter yang dalam. Hampir semua interaksi mereka selalu transaksional demi menjalankan plot yang sudah kepalang sibuk. Adegan-adegan Henk Rogers dengan keluarganya lebih terasa sebagai cermin atas apa yang nanti Rogers rela lakukan demi mendapatkan game ini.
Tetris memang tidak didesain untuk menjadi seperti The Social Network, film tentang cikal bakal Facebook yang lebih dari sekadar origin story. Memutuskan untuk menjadi crowd pleaser pun bukan pilihan mudah, karena banyak film mencobanya dan tidak semuaberhasil. Tetris, sebagai sebuah film hiburan berhasil melakukan tugasnya.
Baca juga: ‘Swarm’: Thriller tentang Fandom Toksik yang Cocok Buat Penggemar ‘Pop Culture’
Jon S. Baird sebagai sutradara paham sekali pacing. Film ini dari awal sampai akhir berhasil membuat saya merasakan apa pun yang pembuat filmnya ingin rasakan (menurut tebakan saya): Saya ikut terlibat dengan perjuangan Henk Rogers, ikut iba dengan nasib Alexey, dan yang penting, ingin sekali tokoh utamanya berhasil mendapatkan hak cipta untuk mendistribusikan Tetris ke seluruh dunia. Memang, ada momen saya berpikir, “Adegan ini pasti tidak mungkin terjadi di dunia nyata,” tapi, saya tidak peduli. Tetris cukup memikat dan menghibur. Dengan efek 8-bit sebagai “hiasan” dan soundtrack yang seru, Tetris adalah tontonan asyik untuk ditonton sekeluarga.
PS: Taron Egerton memang secara fisik tidak cocok untuk memerankan Henk Rogers yang merupakan keturunan Indonesia-Belanda, tapi dia berhasil membuat saya peduli dengan nasibnya.
Tetris dapat disaksikan di Apple TV+