Boys' Love Culture Screen Raves

‘I Hear the Sunspot’: Boys Love tentang Menjadi Tuli dan Queer di Dunia yang Belum Setara

‘I Hear the Sunspot’ sukses membawakan genre BL dalam kedalaman yang baru. Ia menguliti dua identitas marginal, menjadi Tuli dan queer di dunia yang belum setara.

Avatar
  • September 23, 2024
  • 9 min read
  • 48 Views
‘I Hear the Sunspot’: Boys Love tentang Menjadi Tuli dan Queer di Dunia yang Belum Setara

Sugihara Kohei tidak pernah bisa lupa kejadian siang itu, saat ia masih duduk di bangku SMP. Gelak tawa bersama teman-teman seusai wisuda perlahan sirna saat ia mulai kehilangan kesadaran karena demam tinggi menyerangnya. Saat sinar matahari mulai menyapa esok hari, dunia Kohei tiba-tiba jadi begitu dingin.

Ia menatap sekelilingnya. Detik jarum jam, kicauan burung, hingga suara kesibukan ibu di dapur tak ada satu pun bisa ia dengar. Ia lalu sadar ternyata ia sudah kehilangan pendengarannya.

 

 

Kehilangan sesuatu yang sudah lama jadi bagian dari diri tentu bukan perkara mudah. Semenjak masuk SMA, Kohei berusaha setengah mati untuk berbaur dengan teman-teman kelasnya. Ia ingin diterima seutuhnya sebagai Kohei, bukan sebagai seorang Tuli. Tetapi apa daya, teman-teman Kohei belum siap menerimanya.

Kohei pun terisolasi di dunia yang begitu ramai. Ia mulai menjauh dari interaksi sesama manusia untuk mendapatkan kedamaiannya sendiri. Hingga menjadi mahasiswa, Kohei kemudian dikenal sebagai seseorang yang dingin dan anti-sosial.

Baca Juga:   Menonton Luasnya Spektrum Seksualitas lewat Geng ‘Heartstopper’

Namun di tengah kesendiriannya, suatu hari Kohei bertemu Sagawa Taichi. Taichi menawarkan diri menjadi pencatat materi kuliah Kohei yang kesulitan mendengar ucapan para dosen. Sebagai gantinya, Kohei harus memberi Taichi bento (bekal). Relasi yang awalnya terasa sangat transaksional lalu berubah menjadi suatu persahabatan hingga romansa. Kohei perlahan keluar dari tempurungnya karena Taichi mampu menerima dia lebih dari identitasnya sebagai seorang Tuli.

Terjebak di Antara Dua Dunia

Cerita Kohei tertuang dalam manga BL berjudul Hidamari ga Kikoeru atau I Hear the Sunspot karya Yuki Fumino yang baru-baru ini dijadikan drama dengan judul yang sama. Sejak terbit pada 2013 manga karya Fumino ini banyak dapat pujian. Ia sukses mengemas cerita yang inklusif dan tetap sensitif tentang seseorang yang tidak hanya Tuli, tetapi juga seorang queer.  

Membawa napas yang sama dengan manga-nya, drama I Hear the Sunspot yang ditulis oleh penulis naskah perempuan Kawasaki Izumi juga banjir pujian karena hal yang sama. Penonton dibiarkan hanyut dalam perjalanan Kohei menerima dua identitasnya yang bersinggungan. Perjalanan ini tentu tak sepenuhnya mulus, karena sebagai Tuli misalnya Kohei terjebak dalam ruang abu-abu di perbatasan dua dunia yang belum bisa ia masuki seutuhnya.

Kohei bukan seorang Tuli sejak lahir dan ia tidak seratus persen kehilangan pendengarannya. Kohei dididik dan dibesarkan di lingkungan orang dengar. Ia tak mampu berbahasa isyarat dan lebih mengandalkan pembacaan bibir ketika berkomunikasi dengan orang lain. Ia juga tak pernah masuk ke sekolah khusus Tuli, sebaliknya ia tetap bersekolah di sekolah umum dengan penyesuaian khusus. Hal ini membuat Kohei menjadi seorang inte, sebutan anak muda Jepang Tuli yang dididik secara “eksklusif” di sekolah umum.

Sebagai inte apalagi bukan seorang Tuli sejak lahir, Kohei kehilangan sense of belonging yang membuatnya terisolasi. 

Baca Juga: Review ‘Suzume’: Surat Cinta Makoto Shinkai untuk Rakyat Jepang

Demi bisa diterima di dunia dengar, ia berjuang keras terlibat dengan teman-teman dengar, berpura-pura memahami dan berpartisipasi dalam percakapan hingga tertawa untuk hal yang tidak ia pahami. Ia juga enggan menanyakan kembali konteks atau kata-kata yang sulit ia dengar. Ia takut kalau ketahuan tidak bisa memahami perbincangan teman-temannya dan meminta mereka mengulang perkataan mereka, ia semakin dikucilkan.

Sayang dengan segala usaha ini, Kohei tetap tidak berhasil masuk ke dalam dunia dengar karena orang-orang justru sibuk balik mengkasihinnya. Kohei dipandang sebagai korban tak berdaya dan disabilitasnya dianggap sebagai suatu kemalangan. Alhasil setiap interaksi yang ia dapat dari orang-orang dengar hanya terbatas sebagai tindakan belas kasihan saja.

Saat bermain basket, teman-teman SMA-nya sengaja tidak bermain serius agar Kohei bisa menang dan tidak terlihat menyedihkan. Saat piket tanpa dimintai tolong temannya mengambil paksa kantong sampah yang ia bawa dengan alasan Kohei pasti kesulitan karena tak bisa mendengar. Yang lebih parah lagi, saat kuliah ada seorang mahasiswi bernama Miho yang ingin dekat dengan Kohei. Ia ingin jadi “penyelamat” Kohei yang tidak berdaya seperti karakter Tuli yang ia sukai di sebuah manga.

Fiona Kumari Campbell, peneliti dan ahli teori studi disabilitas mendefinisikan perlakuan yang diterima Kohei ini sebagai albeisme atau diskriminasi terhadap orang disabilitas berdasarkan jenis dan standar tubuh tertentu. Disabilitas dianggap sebagai sebuah ketidaksempurnaan, inferior, dan tak berdaya.

Inilah mengapa teman-teman Kohei dan Miho secara tak sadar memandang diri mereka sebagai manusia sempurna sembari memproyeksikan disabilitas Kohei sebagai suatu keadaan yang membuat nilai Kohei sebagai manusia berkurang. Kohei karenanya perlu dikasihani atau dibantu.

Keterpisahan Kohei pada dunia dengar pun semakin diperparah karena ia sendiri tidak bisa sepenuhnya masuk dalam dunia Tuli. Ia yang bukan Tuli sejak lahir baru memahami bahwa dunia Tuli memiliki budaya sendiri, bahasa isyarat adalah salah satu penanda utamanya. Kohei yang tidak memiliki alat komunikasi nonverbal dan belum sepenuhnya menerima kondisinya membuat akses ke komunitas Tuli berakhir sama tertutupnya dengan dunia dengar.

Ellen Samuels dalam artikelnya yang berjudul ‘My Body, My Closet: Invisible Disability and the Limits of Coming Out’ (2003) menggambarkan pengalaman nyata yang dialami Kohei yang ia sebut sebagai orang-orang dengan disabilitas tak terlihat (non visible disabilities). Samuels bilang disabilitas yang tidak terlihat tidak hanya terpinggirkan dalam komunitas disabilitas, tetapi juga berjalan di garis yang tidak nyaman antara komunitas tersebut dan budaya dominan. Mereka sering kali menghadapi diskriminasi yang signifikan karena identitasnya tidak diakui atau tidak dipercaya.

Dalam kasus Kohei, ia terpinggirkan dalam komunitas Tuli karena tidak mengetahui bahasa isyarat, tetapi ia juga merasa pantas berada di komunitas orang dengar. Alhasil kesepian dan isolasi sosial menjadi teman dekat Kohei.

Kohei nyatanya bukan cuma figur rekaan saja. Ceritanya nyata. Jennifer M. McGuire, profesor antropologi lulusan Universitas Oxford pernah melakukan penelitian mendalam tentang inteyang memiliki disabilitas serupa dengan Kohei di Jepang. Ia menemukan bahwa kegagalan untuk terhubung dengan orang lain baik dengan orang dengar dan komunitas Tuli adalah mimpi buruk di Jepang bagi inte. Mereka terisolasi, disalahpahami, dan tidak bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi bagian dari kelompok mana pun.

Yasusa yang diwawancarai McGuire pengalamannya serupa dengan Kohei. Yasushi tidak bergabung dengan klub atau bermain dengan teman-temannya sepulang sekolah. Dia bilang bahwa dia membenci orang lain dan hidupnya sangat melelahkan karena harus terus menerus beradaptasi dengan orang dengar (kenchō [sha] ni awasete). Dia mengingat rasa “tidak berdaya” luar biasa (muryokukan) yang kemudian semakin ketara karena ia tidak bisa berbahasa isyarat. Bahasa yang tidak pernah diajarkan apalagi dipahami oleh orang tuanya.

Representasi Interseksional yang Jarang Diangkat

Genre BL sudah jadi bagian dari budaya populer Jepang yang diminati masyarakat dunia. Namun sejak kemunculannya pada 1970-an, hingga kini masih jarang sekali BL yang cukup berani mengangkat suara individu dalam belitan dua identitas marginal yang berbeda. Ini mengapa kehadiran I Hear the Sunspot jadi sangat berati di lanskap budaya populer.

Ketika identitas-identitas terpinggirkan saling bersinggungan, individu yang memiliki beberapa identitas terpinggirkan ini cenderung terlupakan atau dikenal dengan intersectional invisibility. Dalam I Hear the Sunspot, intersectional invisibility sangat terlihat dalam karakter Kohei yang Tuli dan queer.

Bagi Kohei yang berada di persimpangan identitas seperti itu, merangkul diri sendiri secara utuh tentu tidak mudah. Masyarakat pada umumnya cenderung tidak mengakui atau memvalidasi pengalaman hidup seperti dirinya. Jika ia Tuli, tak mungkin ia queer. Begitu pula sebaliknya. Tak heran teman-teman kampus menganggap kedekatan Kohei dan Taichi tak lebih dari pertemanan saja. Kakek Taichi sendiri menekankan kembali status Kohei hanya sekedar teman dekat Taichi saat ia pergi main ke rumah Taichi.

Apa yang dialami Kohei pernah disinggung oleh Robert McRuer, salah satu ahli yang terlibat dalam pembentukan bidang studi disabilitas queer. Dalam penelitian yang berjudul Compulsory Able-Bodiedness and Queer/Disabled Existence, ia mencatat bahwa heteroseksualitas yang diwajibkan oleh masyarakat (compulsory heterosexuality) selalu saling berkaitan dengan tubuh yang mampu secara fisik (able-bodiedness).

Kedua sistem tersebut kata McRuer dipelihara untuk digunakan kembali dalam memproduksi hegemoni heteroseksualitas bertubuh (able-bodied heterosexuality’s hegemony) yang kuat. Kehadiran queer disabilitas karena itu mengganggu hegemoni. Inilah mengapa dalam I Hear the Sunspot Kohei, keberadaan Kohei tak ayal disangkal terus menerus.

Namun walau disangkal masyarakat, interseksi dari identitasnya ternyata punya berkah terselubung. Dalam hal ini, Kohei yang merupakan bagian dari kelompok termarginalkan, Tuli jadi bisa lebih mudah menerima identitas termarginalkan yang lain, yaitu sebagai queer.  

Baca Juga:   5 Alasan Komedi Cinta Dorama ‘Kieta Hatsukoi’ Menggemaskan

Di saat masih cukup banyak BL yang menekankan pada proses penerimaan diri, I Hear the Sunspot tidak perlu repot-repot memberikan porsi banyak pada pembangunan narasi ini. Cinta romantis Kohei pada Taichi digambarkan hadir secara natural dan semua itu berawal dari pertemanan yang dilandasi kesetaraan.

Taichi tidak mereduksi Kohei menjadi entitas tunggal disabilitasnya. Ia memperlakukan Kohei layaknya teman-teman dengar lain tanpa terkecuali. Ia bahkan tak malu memarahi teman atau orang lain yang berusaha mereduksi identitas Kohei. Keinginan Taichi untuk terus bersama Kohei dan memahaminya lebih dari disabilitas yang Kohei miliki membantu Kohei merangkul aspek-aspek yang berbeda dari identitasnya.

Pertama-tama Kohei melewati proses pendefinisian ulang identitasnya sebagai Tuli. Ia tidak lagi melihat disabilitas yang ia miliki sebagai sesuatu yang memalukan dan perlu disembunyikan. Hanya setelah Kohei belajar untuk bangga dengan identitasnya sebagai Tuli, Kohei perlahan menyadari dan menerima ke-queer-annya tanpa berusaha menyangkalnya.  

Penerimaan dua identitas termarginalkan ini membuat Kohei menjadi lebih aktif di universitas. Ia sudah tidak lagi takut main basket. Ia ikut kamping, menjalin pertemanan baru dengan teman-teman dekat Taichi, dan memutuskan bergabung dengan klub bahasa isyarat. Sedangkan dalam hubungannya dengan Taichi, Kohei tak pernah berusaha menutupi rasa sayangnya. Ia selalu ingin memperlihatkan perhatiannya pada Taichi.

Lewat visual, perubahan Kohei yang diperankan oleh Nakazawa Motoki terlihat dari dirinya yang makin sering tersenyum dan tertawa. Bahasa tubuhnya menjadi lebih terbuka dengan sosok jangkungnya tidak lagi banyak tertunduk menghindari berpandangan mata dengan orang lain.

Cara I Hear the Sunspot memberikan suara pada seseorang dari dua identitas termarginalkan perlu diapresiasi. Namun kehadirannya tentu bukan tanpa cela. Kendati mengangkat isu disabilitas khususnya Tuli sebagai poros ceritanya, Nakazawa Motoki yang didapuk menjadi protagonis Tuli aslinya adalah seorang dengar. Begitu pula Shiraishi Yua yang memerankan Maya, junior Kohei yang Tuli.

Pelibatan aktor Tuli seharusnya jadi prioritas pertama dalam adaptasi I Hear the Sunspot. Ini mengingat budaya Tuli punya kekhasannya sendiri dan pengalaman individu komunitas ini sangat berharga untuk memberikan lebih banyak nuansa dalam narasi. Kita bisa melihat contoh baiknya dalam film CODA (2021) yang melibatkan aktor-aktor Tuli.

Kehadiran CODA jadi pengingat bersama tentang pentingnya advokasi dan representasi Tuli di tempat kerja yang datang dari individu komunitas itu sendiri. Lebih penting lagi, pelibatan aktor Tuli juga menghindarkan tokenisme dangkal belaka yang justru bisa berbalik mempertebal stigma pada komunitas tersebut.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *