Gender & Sexuality Screen Raves

‘It Ends With Us’: Menghancurkan Pola Kekerasan Domestik Bersama Blake Lively

Sebuah film terbaru tentang kekerasan dalam hubungan. Ia menguliti bagaimana sulitnya korban kekerasan keluar dari hubungan beracun.

Avatar
  • September 2, 2024
  • 5 min read
  • 633 Views
‘It Ends With Us’: Menghancurkan Pola Kekerasan Domestik Bersama Blake Lively

(Artikel ini mengandung sedikit spoiler)

It Ends With Us dimulai dengan meet cute yang menggemaskan antara dua karakter utamanya. Lily Bloom (Blake Lively) yang tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk memuji ayahnya di hari pemakaman duduk di atas rooftop, memandangi gedung dan cahaya metropolitan Boston, ketika tiba-tiba Ryle Kincaid (Justin Baldoni) masuk dan menendang kursi. Ryle kaget melihat Lily. Setelah menyalakan rokoknya, ia meminta Lily untuk tidak duduk di pinggiran tembok. Sikapnya yang perhatian ini membuat Lily langsung melunak meskipun ia tetap waspada.

 

 

Tidak butuh lama bagi mereka untuk saling ngobrol. Lily menertawakan hidupnya yang klise. Ia adalah seorang florist dengan nama panjang Lily Blossom Bloom. Ia tidak punya pilihan lain selain menjadi florist. Ryle mengatakan bahwa dia adalah neurosurgeon yang langsung membuat Lily tertawa. Ia mengira Ryle bercanda sampai akhirnya ia menyadari bahwa Ryle benar-benar jujur. Di momen ini Ryle juga mengatakan bahwa dia bukan tipe laki-laki yang berkomitmen. Hidupnya selama ini hanya diwarnai dengan kehadiran perempuan yang datang dan pergi. Ia tidak pernah berniat untuk serius. Dan sepertinya tidak akan bisa. Tapi ia melihat sesuatu yang berbeda dari Lily Bloom.

Tentu saja Lily dan Ryle bertemu lagi. Karyawan baru Lily, Alyssa (Jenny Slate), ternyata adalah saudari Ryle. Bikin Lily dan Ryle makin tak bisa menolak tarikan magnet yang sangat kuat. Mereka berdua akhirnya jatuh cinta dan tenggelam dalam warna-warni cinta. 

Suatu hari, di hari yang penuh tawa, Lily tidak sengaja terkena tangan Ryle saat mereka sedang memasak. ia terluka. Baik Lily dan Ryle menganggap insiden ini sebagai kecelakaan. Namun, ketika Lily terluka lagi oleh hal berbeda dan disebabkan oleh orang yang sama, pertanyaan muncul: Apakah ini lagi-lagi sebuah ketidaksengajaan atau sebuah pola (pattern) yang akan terulang lagi?

Baca juga: Ketika Menghadapi Orang yang Mengalami KDRT: Ini yang Bisa Kamu Lakukan

Diadaptasi dari Novel Mega Best-seller

It Ends With Us sempat kontroversial karena perseteruan antara pemain Blake Lively dan lawan mainnya Justin Baldoni, yang juga sutradara film ini. Perseteruan itu sempat bikin saya malas menonton karena tidak ingin pengalaman menontonnya jadi bias. Namun, saat akhirnya memutuskan menonton, saya terkejut karena ceritanya yang begitu menarik.

Saya tidak membaca novelnya yang mega best-seller itu, tapi sebagai sebuah adaptasi, It Ends With Us tampil dengan percaya diri dan meyakinkan. Ditulis oleh Christy Hall, film ini cukup jelas dalam menggambarkan teror domestic abuse. Bagian paling menarik dalam film ini adalah bagaimana ia menggambarkan karakter villain-nya, Ryle Kincaid. Tidak seperti film sejenis yang menggambarkan karakter toxic, diperkenalkan dengan menawan. Di pertemuan-pertemuan awal, Ryle adalah sosok yang sangat dreamy: tampan, kaya, percaya diri dan punya pekerjaan yang baik. Ia tahu bagaimana cara merayu perempuan. Ia tahu bagaimana cara membuat orang tidak bisa menolaknya. Garis tipis antara persuasif dan posesif menjadi penting di sini karena nantinya Christy Hall akan menebalkan bagian posesifnya.

Baca juga: Saya Korban KDRT, Bercerai, Jadi Penyintas Kanker, dan Berhasil Bertahan 

Penggambaran sosok Ryle yang begitu menawan ini menurut saya penting karena orang-orang seperti ini pasti tidak akan menunjukkan jati dirinya langsung. Hal ini juga menjadi krusial untuk menjelaskan kenapa karakter seperti Lily tetap mempertahankan hubungannya yang toxic dengan laki-laki seperti Ryle. 

Dalam kasus domestic abuse, saya yakin banyak orang yang bingung kenapa banyak perempuan yang masih mempertahankan (dalam beberapa kasus bahkan membela) pasangan mereka yang melakukan kekerasan. Karakterisasi Ryle di sini dibikin sangat masuk akal, sehingga alasan perempuan-perempuan seperti Lily selalu memilih untuk bersama jadi masuk akal juga.

Bagian yang juga menarik dalam It Ends With Us adalah penjelasan ibu Lily, Jenny Bloom yang diperankan Amy Morton), perihal hubungannya dengan ayahnya. Film ini dipersembahkan dengan flashback yang berfungsi untuk menebalkan soal domestic abuse

Selain Lily bertemu dengan Atlas (Brandon Sklenar) yang menjadi korban atas hubungan ibunya dengan pacarnya yang toxic, pemandangan ayah Lily “menyiksa” ibunya adalah hal yang biasa. Dalam satu momen, ketika Lily bertanya kepada ibunya kenapa dia mempertahankan rumah tangganya, si ibu menjawab bahwa berpisah jauh lebih berat daripada tetap tinggal dalam situasi yang buruk. Semua karena Jenny jatuh cinta dengan laki-laki yang menyakitinya.

Baca juga: KDRT Tak Pandang Bulu: Kenapa ‘Influencer’ Sembunyikan Derita demi Citra Bahagia

Isu Serius

It Ends With Us bukannya tanpa kekurangan. Karakter Lily terlihat terasa kurang kuat berkat penampilan exterior yang terlalu empowering. Di awal-awal, Blake Lively masih terlihat meyakinkan sebagai karakter yang mempunyai personal baggage. Tapi setelah dia bertemu dengan karakter Justin Baldoni, penampilannya mulai berubah. It Ends With Us mendadak berubah seperti salah satu episode Gossip Girl. Lily Bloom tampil seperti seorang fashionista. Baju-bajunya heboh, riasan dan hair-do-nya juga tidak kalah heboh. Bisa dimengerti bahwa seorang Blake Lively terasa mubazir hadir dalam sebuah film tanpa outfit yang keren. Tapi “bungkus” Lily Bloom yang terlalu keren ini membuat saya menjadi kurang percaya dengan karakternya.

Selain itu, karakter Lily Bloom juga dalam beberapa adegan terlihat seperti ragu atas perasaannya. Dalam salah satu sekuens yang penting, ada pengakuan dari Lily yang membuat beberapa penonton bioskop jadi menyalahkan kejujurannya. Di pengadeganan yang lebih baik, pengakuan Lily ini sebenarnya adalah sebuah bagian dari sejarah hidupnya yang membentuk karakternya. It Ends With Us mungkin tidak akan menyenangkan semua orang. Bagaimana pun juga, film ini merupakan sebuah hiburan dengan banyak cheese moment (ada alasan kenapa film ini menggunakan lagu dari Taylor Swift dan Lana del Rey). Tapi setidaknya ia berhasil menyampaikan sebuah isu serius untuk khalayak ramai.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *