Culture Opini Travel & Leisure

‘Kereta Berdarah’; Dominasi Hantu Perempuan dan Protes Alam di Tengah Pembangunan

Ada pesan kuat tentang mencintai dan menghormati alam dalam film 'Kereta Berdarah'. Kemarahan itu digambarkan sebagai hantu yang meneror.

Avatar
  • February 10, 2024
  • 6 min read
  • 5769 Views
‘Kereta Berdarah’; Dominasi Hantu Perempuan dan Protes Alam di Tengah Pembangunan

Dibanding genre lain, saya sebetulnya lebih tertarik film romantis atau action. Namun, ajakan teman bikin saya tertarik menonton “Kereta Berdarah”, film besutan Rizal Mantovani dan skenario Erwanto Alphadullah. Makin menarik, karena film ini ternyata ingin menyampaikan pesan lingkungan melalui kisah penumpang kereta api yang dihantui oleh sosok Ratu Dendam. 

Erwanto Al Alphadullah, seperti dikutip dari Inilah.com, menyebut bahwa pembukaan film yang menggambarkan kerusakan lingkungan merupakan refleksi dari realitas eksploitasi lahan di Indonesia. 

 

 

Erwanto juga menyebut bahwa film ini menjadi simbol kemarahan terhadap sikap pemerintah dan masyarakat yang acuh terhadap lingkungan. “Kereta berdarah” mencoba menggabungkan elemen horor dan thriller dengan isu sosial, khususnya perubahan iklim dan eksploitasi alam yang menjadi latar belakang kemarahan ratu hantu sebagai penjaga hutan. 

Singkat cerita, Bapak Bara (Kiki Narendra) yang berperan sebagai Bupati mengatur semua sistem transportasi kereta di kotanya. Ia membuat kereta wisata yang diberi nama Sangkara dengan tujuan setiap penumpang akan menuju Sangkara Resort sebagai destinasi. 

Visinya untuk menggaet investor lebih banyak guna pengembangan proyek infrastruktur transportasi darat, dengan mengorbankan kawasan hutan dengan beragam jenis pohon penjaga mata air sepanjang tahun. Dalam film tersebut diceritakan, bahwa masyarakat setempat percaya tanah kawasan hutan adalah tanah terlarang yang sakral dan tidak boleh diolah fungsikan menjadi tempat lain. Mereka percaya hutan itu adalah tempat ritual desa dan para lelembut atau makhlus halus bersemayam seraya menjaga hutan ratusan tahun. 

Warga sekitar meyakini bahwa hutan tersebut adalah rumah bagi spirit atau entitas gaib yang justru merekalah yang bertugas menjaga keseimbangan kosmis atau ekuilibrium di kawasan tersebut. 

Karena tak kuat melawan penguasa, masyarakat pun kalah.  Pembuatan rel atau jalur kereta api akhirnya terjadi dengan mengundang banyak investor. Peristiwa ganjil pun mulai terjadi mulai para pekerja yang diganggu dan hilang. 

Teror demi teror mulai bermunculan. Meski terdengar ganjil dan tidak masuk akal, kejadian-kejadian supranatural seperti di film “Kereta Berdarah” sesungguhnya mewakili kepercayaan yang umum diyakini oleh masyarakat tradisional di Jawa atau daerah-daerah lain. 

Di Bali, misalnya, kita tidak asing dengan “Sekala Niskala” yang meyakini bahwa realitas manusia dibangun dari keterhubungan kompleks antara dunia yang kasat mata dan tidak kasat mata, yang tergapai dan terimajinasikan serta yang dicerna lewat rasio dan olah rasa. 

Maka bukan hal yang aneh, ketika kita sering mendengar ucapan nenek moyang kita “Setiap alam dirusak, pasti penjaga hutan (lelembut) tidak terima.”

Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Saras Dewi, penulis, akademisi, dan aktivis ekofeminisme, ia menyebut bahwa hal-hal di luar nalar yang terjadi dalam relasi manusia dan alam adalah bentuk komunikasi. Apa yang sering dianggap tahayyul atau hal-hal gaib bisa jadi itu adalah cara kita sebagai manusia untuk saling merespon dengan alam. Bisa jadi tanda alam sakit, alam takut. 

Amitav Ghosh dalam bukunya Nutmeg’s Curse: Parable for Planet in Crisis juga menjelaskan bagaimana era sebelum kolonialisme menjangkiti dunia, masyarakat dan makhluk lain di alam saling aktif bekerja sama membentuk rutinitas yang harmonis. 

Bukan sebuah kebetulan, pada tahun 1599 ketika gunung api Banda meletus bersamaan dengan masuknya kapal Belanda pencari pala pertama. Sesepuh di Banda tahu, gunung api sedang memberi peringatan tentang hal buruk yang akan datang pada wilayah mereka, dan benar kedatangan kapal itu berujung pada sejarah panjang kolonialisme di Indonesia dan dunia. 

Pada dasarnya modernitaslah yang membawa cara pandang baru bahwa alam adalah objek pasif dan mati, serta menempatkan manusia sebagai pusat (andosentrisme) makhluk yang paling beradab yang terpisah dengan alam. Cara pandang inilah yang kemudian menjustifikasi segala bentuk eksploitasi alam hingga hari ini. 

Baca juga: 4 Rekomendasi Film Horor tentang ‘Hagsploitation’

Kisah tentang tumbuhan-tumbuhan hidup rupanya tak sekadar mistis belaka. Dalam buku mereka yang berjudul The Secret Life of Plants, Peter Tompkins dan Cristopher Bird mengklaim bahwa tumbuhan adalah makhluk sadar yang memiliki jiwa, emosi, preferensi musikal bahkan kepribadian. Tumbuan memang tidak memiliki indra khusus, tapi beberapa penelitian membuktikan bahwa merespons lingkungan sekitar dengan seluruh bagian tubuh dan cara yang lebih holistik. Tumbuhan bisa merasakan sakit, memahami intensi makhluk di sekitarnya, mampu mengikuti pergerakan benda luar angkasa, juga memprediksi gempa. Dalam buku tersebut juga mengkritik dikotomi penyebutan benda mati dan benda hidup yang selama ini dipakai di sistem pengetahuan modern. Artinya tak ada yang benar-benar mati di alam ini. 

Dari film ini kita manusia belajar bahwa pembangunan mengakibatkan penghilangan pohon, situs atau sesuatu yang disakralkan akan memiliki dampak yang besar. Perusakan alam sesungguhnya menimbulkan efek domino bagi terganggunya rutinitas semua makhluk yang tinggal di dalamnya. 

Dominasi Hantu Perempuan Dalam Film Kereta Berdarah

Selain narasi dan sinematografi yang bagus, saya juga ingin mengulas soal dominasi hantu perempuan di film ini, bahkan hantu perempuan di film ini menjadi tokoh sentral penjaga hutan yang dianggap paling marah karena kerusakan lingkungan. Dalam kajian ekofeminisme alam dan perempuan memiliki kesamaan sebagai sumber penghidupan karena kemampuannya dalam mereproduksi kehidupan. 

Namun kesamaan simbolik ini juga menyamakan perempuan dan alam sebagai kaum yang ditindas oleh manusia berciri maskulin. Alam memang kerap kali dikaitkan dengan sosok perempuan baik secara konseptual, simbolik dan linguistik. Contohnya adalah istilah Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi yang menggambarkan sifat feminin yaitu menyayangi, merawat, dan menghidupi. Begitupun penggambaran hantu perempuan di film seolah menjustifikasi hal tersebut.

Baca juga: Saya Nonton Film Horor Kelas B: Ada Feminisme dalam Karya Amer Bersaudara

Tak bisa dimungkiri, bahwa film horor di Indonesia masih menempatkan perempuan menjadi unsur dominan sebagai hantu, bahkan citra perempuan dalam film horor kerap kali ditempatkan sebagai sosok yang negatif. Hal ini tentu menunjukkan bahwa ada ketimpangan representasi hantu perempuan dan laki-laki dalam sejarah film horor Indonesia yang disebabkan oleh kentalnya budaya patriarki.  

Kerap kali sosok perempuan dalam film horor muncul sebagai hantu untuk membalas dendam atas ketidakadilan yang mereka alami. Film horor hampir selalu menampilkan paradoks atas sosok perempuan. 

Di satu sisi mereka dikonstruksi sebagai korban, sedangkan di sisi lain mereka punya sifat layaknya monster. Perempuan dalam film awalnya ditampilkan sebagai korban, lalu kemudian berubah menjadi hantu dengan tampilan monster. Dengan begitu perempuan direpresentasikan memiliki kekuatan untuk balas dendam walaupun telah meninggal, hal ini juga dapat disimpulkan perempuan tidak dapat dominasi laki-laki sehingga baru bisa melawan dalam keadaan mati. 

Seolah ada kesan pemberdayaan, akan tetapi jika direproduksi terus-menerus akan mengerdilkan posisi perempuan ketika dia hidup.



#waveforequality


Avatar
About Author

Uswah Sahal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *