Issues Politics & Society Prose & Poem

Review ‘Perempuan di Rumah No.8’: Luka Perih dari Orang Terkasih

‘Perempuan di Rumah No. 8’ adalah horor KDRT yang diceritakan dari kacamata para penyintas. Susah untuk tak menangis setelah membacanya.

Avatar
  • March 6, 2024
  • 7 min read
  • 4224 Views
Review ‘Perempuan di Rumah No.8’: Luka Perih dari Orang Terkasih

Anika tak pernah menduga kebahagiaannya bertemu orang terkasih justru berakhir petaka. Reza, laki-laki pertama yang ia cintai mendadak bak iblis jahat. Ia gemar menghajar Anika hingga mengalami pendarahan hebat dan nyaris tak sadar.

Sambil menahan nyeri, perempuan itu berusaha menghubungi satu-satunya keluarga, Bibi Santi. Namun alih-alih ditolong, Santi justru meminta Anika rujuk. Membeberkan pertengkaran dengan pasangan sendiri adalah aib, kata dia, dan Muslimah taat dilarang melakukannya.

 

 

Orang kedua yang ia mintai tolong adalah Desti, teman kantor. Beruntung, respons Desti tak seperti Bibinya. Setibanya di rumah Anika dan melihat perempuan itu hampir di ambang kematian, Desti langsung melarikan Anika ke rumah sakit. Beruntung nyawa Anika tertolong, namun bayi dalam kandungannya meninggal.

Trauma dengan kekerasan tersebut, Anika lari dari rumah dan mencari tempat persembunyian. Dari rumah aman di Bogor, ia berpindah ke kontrakan mungil bernomor delapan di Yogyakarta. Tak disangka di kontrakan itu, Anika menemukan kengerian baru. Bukan dalam wujud manusia, tapi dalam wujud hantu perempuan bernama Lastri. 

Baca Juga: Review ‘Kisah Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang’: Lagu Lama Keegoisan Manusia

Horor dan Kepahitan yang Berpadu

Kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol telah lama menjadi bagian warisan leluhur dalam berbagai karya populer. Gita Putri Damayana dalam tulisannya di The Conversation bilang kisah hantu perempuan yang terus menonjol dalam budaya masyarakat Indonesia bukan cuma kebetulan.

Ada benang merah yang membuat eksistensi mereka tak pernah tergerus zaman. Kisah hantu-hantu perempuan ini sebenarnya menyimpan masalah besar yang menghantui para perempuan Indonesia: Rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dan tak ada rasa aman dari kekerasan.

Kuntilanak dan Sundel Bolong gagal mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Mereka meninggal bersama dengan bayinya saat persalinan. Sementara, Si Manis Jembatan Ancol dan Sundel Bolong adalah perempuan korban kekerasan seksual yang menjadi hantu untuk menuntut keadilan.

Riwayat kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol menunjukkan eratnya kekerasan terhadap perempuan dari kisah yang diceritakan turun temurun dengan kenyataan yang masih menimpa perempuan Indonesia sampai hari ini. Mutiarini dalam novel terbarunya, Perempuan di Rumah No.8, nampaknya menyadari benang merah ini. Dengan ciamik, ia juga menggunakan unsur horor dalam membangun narasi penting terkait kekerasan terhadap perempuan lewat sosok Lastri.

Lastri digambarkan Mutiarini dalam wujud mengerikan. Lehernya patah, wajar babak belur berlumur darah, dan matanya merah menyala. Sosoknya selalu menggentayangi Anika. Menariknya, Lastri tak pernah sekali pun memperlihatkan diri di hadapan orang lain.

Maksud kehadiran Lastri bukan tanpa sebab. Sama seperti Anika, ternyata Lastri adalah korban kekerasan dari orang terkasihnya. Satu hal yang membuat mereka berbeda hanya penghilangan nyawa. Lastri tak bisa keluar dari lingkar kekerasan hingga akhir hayatnya. Ia harus tahan menahan segala bentuk kekerasan dari suaminya baik itu ekonomi, fisik, dan psikologis bahkan ketika ia sedang dilanda depresi pasca-melahirkan. Tubuhnya remuk begitu pula mentalnya berakhir terpuruk.

Parahnya lagi, tak ada satu pun yang mau menolong Lastri keluar dari penderitaan. Para tetangga enggan membantunya lantaran urusan KDRT selalu dianggap urusan privat yang tak boleh dicampuri orang luar. Ia adalah aib yang harus ditutupi istri, sehingga penyelesaiannya juga harus melibatkan kedua orang yang “berkonflik” saja, tak boleh melibatkan pihak luar. Inilah yang terjadi pada Anika saat ia meminta pertolongan pada Santi tapi malah berujung diceramahi.

Lastri dan Anika boleh jadi cuma karakter fiksi, tetapi ia tercipta lewat realitas pahit perempuan Indonesia seperti layaknya hantu perempuan terdahulu. Selama 21 tahun Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, tercatat lebih dari 2,5 juta Kekerasan Berbasis Gender di ranah personal dilaporkan, di mana Kekerasan terhadap Istri (KTI) paling banyak dilaporkan sebanyak 484,993 kasus.

Lastri bahkan secara spesifik adalah satu dari 83 persen perempuan meninggal dalam KDRT yang tercatat oleh Komnas Perempuan dalam penelusurannya terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) pada 2015-2022.

Mayoritas kasus pembunuhan tersebut diakibatkan oleh motif kecemburuan dan ketersinggungan pelaku terhadap korban. Hal ini menurut Komnas Perempuan mewujud sebagai femisida atau pembunuhan perempuan langsung atau tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya akibat ketimpangan relasi kuasa.

Dalam banyak kasus femisida yang diawali KDRT, perempuan korban memang terlambat dapat pertolongan. Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan bahkan hingga menyebutnya sebagai silent killer.

Baca Juga: ‘Babel, or the Necessity of Violence’: Benarkah Kekerasan Dibutuhkan dalam Gerakan Pembebasan?

Korban Laki-laki dan Kekerasan yang Diturunkan

Apa yang tak bisa disampaikan nonfiksi bisa diceritakan fiksi secara lebih mendalam dan gamblang. Inilah mengapa eksistensi karya fiksi penting sebagai jembatan bagi pembaca untuk memahami realitas dunia yang luput mereka cermati. Dalam Perempuan di Rumah No.8, Mutiarini memanfaatkan peran penting karya fiksi ini dalam menyikap tabir terkait korban laki-laki dalam kasus KDRT.

Ketika berbicara KDRT, masyarakat masih terkungkung pemahaman bahwa KDRT cuma dialami perempuan. Kelompok yang dalam pandangan patriarkal “lebih lemah”. Padahal dalam kenyataannya, laki-laki juga bisa jadi korban. Hal ini bisa dilihat dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) korban KDRT sejak 1 Januari 2022 hingga 14 Februari 2023 yang mencatat 15 persen korban KDRT adalah laki-laki.

Fakta yang luput diperbincangkan inilah yang berusaha Mutiarini angkat dalam karya fiksinya. Ia menghadirkan tokoh Ibnu, korban KDRT laki-laki yang nantinya jadi sosok berpengaruh buat Anika dalam menyadari kekerasan yang ia alami dan cara untuk keluar darinya.

Sama seperti Anika dan perempuan korban KDRT lainnya, Ibnu tak luput mendapatkan berbagai jenis kekerasan dari orang terkasihnya. Mulai dari kekerasan verbal hingga fisik ia terima. Namun, layaknya banyak korban KDRT laki-laki di luar sana, Ibnu tak menyadari ia korban kekerasan. Ketidaksadaran Ibnu bukan tanpa sebab. Ia hadir karena kuatnya stigma sosial yang disematkan masyarakat pada laki-laki korban kekerasan lewat stereotip gender.

Dalam masyarakat yang terobsesi dengan peran dan atribut gender tradisional biner, laki-laki dipaksa untuk menaati satu set aturan tertentu dalam bersikap dan berperilaku. Mereka yang digadang-gadang sebagai pemimpin alamiah, harus bersikap dan terlihat gagah. Mereka harus kuat. Tak boleh memperlihatkan emosi karena itu tanda kelemahan.  Ini yang jadi alasan mengapa ketika ada laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai korban kekerasan, masyarakat justru balik mencemooh atau menghakimi mereka.

Baca Juga: Review ‘Yellowface’: Siapa Paling Berhak Ceritakan Kisah Orang Pinggiran?

“Kami dibilang cemen lah, pengecutlah, gagal jadi pemimpin, kalah sama perempuan,” begitu kata Ibnu.

Budaya populer juga sayangnya juga mempertebal stigma ini. Dikutip dari DW, penelitian ilmuwan Elizabeth Bates dari Universitas Cumbria di Inggris menemukan di televisi dan program komedi, kekerasan terhadap laki-laki lebih sering menjadi bahan humor. Hal ini pada prosesnya membuat banyak laki-laki juga takut mencari pertolongan.

“Mereka takut tidak akan dipercaya. Dan cara media melaporkan kekerasan dapat memengaruhi rasa takut itu,” tulis Bates.

Senada dengan ucapan Bates, Carmen Pitre, direktur eksekutif Sojourner Family Peace Center, penyedia layanan nirlaba untuk mendukung korban KDRT di Wisconsin, Amerika bilang korban laki-laki takut dengan stereotip bahwa mereka harus menjadi “jenis kelamin yang lebih kuat” dan dengan demikian harus mampu melawan pelaku kekerasan. Laki-laki jadinya lebih sering menghadapi keraguan dari aparat penegak hukum dan hanya ada sedikit tempat penampungan KDRT yang menerima laki-laki.

Tak kalah pentingnya, sebagai karya fiksi yang mampu menjembatani realitas, Mutiarini juga berusaha mengangkat isu terkait kekerasan yang diturunkan. Caranya adalah dengan membuat karakter Reza tidak hitam putih. Untuk memahami temperamen dan kekerasan yang dilakukan Reza, Mutiarini menggambarkan sosok suami Anika ini sebagai anak korban KDRT dari ayahnya sendiri, Husein.

Baca Juga: Ulasan ‘Lessons in Chemistry’, Benarkah Perempuan Kini Sudah Setara?

Sejak Reza kecil, ia tak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang cukup dari ayahnya. Sebaliknya, Husein menerapkan pengasuhan tangan baja, sehingga yang Reza dapatkan darinya hanya hinaan, tamparan, pukulan, hingga tendangan. Ibunya pun tak pernah bisa berbuat banyak. Kekerasan yang telah terjadi selama bertahun-tahun dia alami pun menimbulkan luka yang menganga, sekaligus membentuk kepribadian Reza.

Dalam hal ini, kekerasan jadi satu-satunya bentuk “perhatian” dan “kasih sayang” yang Reza ketahui dan itulah yang ia lakukan pada Anika. Nurmawati, Humas Rifka Annisa Women’s Crisis Center menjelaskan pelaku KDRT memang biasanya berawal dari korban kekerasan keluarga.

“Riset yang kami lakukan menunjukkan kecenderungan pelaku adalah korban dari relasi orang tua yang seperti itu, penuh kekerasan,” kata dia kepada Kompas.

Korban yang mengalami atau melihat tindak kekerasan ini bisa menyalahartikan hal tersebut sebagai hal yang lumrah. Nurma menerangkan, individu tersebut lalu mengilhami hal yang dialaminya dan mengaplikasikannya pada kehidupannya.

“Mereka merasa dipukul, dicaci maki atau tidak menghargai pasangan itu sebagai hal yang wajar dalam hubungan keluarga,” kata Nurma.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *