Review ‘Bidaah’: Saat Orang Saleh Jualan Agama demi Memperdaya Perempuan
Walid memanfaatkan fanatisme agama umatnya untuk tujuan pribadi, mulai dari pemuas hasrat seksual hingga memperdaya perempuan.

Kamu mungkin familier dengan potongan video yang ramai beredar di TikTok dan Instagram. Lelaki mengenakan jubah dan surban khas Melayu yang dikelilingi jemaah, termasuk kelompok perempuan. Ia berkata kepada para jemaah, “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid.”
Belakangan, nama Walid memang sedang naik daun: Banyak orang membahasnya di media sosial, tapi umumnya dengan sentimen negatif. Walid adalah pemimpin aliran Jamaah Ummah dalam serial Malaysia Bidaah. Menyelami serial yang tayang di Viu ini membuatku paham, kenapa warganet ramai-ramai membenci sosoknya.
Di serial tersebut, Walid mengajarkan hal-hal yang relatif kontroversial, seperti mencium dan meminum air bekas rendaman kaki, mengaku bertemu Rasul, pernikahan batin, hingga meniduri para muridnya. Semua ini jelas bertentangan dengan ajaran agama yang sebenarnya. Kita mengenalnya dengan bidaah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bidaah merujuk pada pembaruan ajaran Islam yang tidak berlandaskan Al-Quran dan hadis.
Meski ajarannya nyeleneh, Jamaah Ummah besutan Walid diperkirakan mencapai 100 orang, mulai dari remaja hingga lansia. Walid sendiri digambarkan sebagai sosok guru kharismatik yang mengeklaim dapat menyampaikan pesan langsung dari Rasul dan Allah.
Para pengikutnya diwajibkan untuk mematuhi segala perintah dan perkataannya. Bahkan, setiap kali ada yang meragukan atau mempertanyakan ucapannya, Walid dengan percaya diri nyeletuk, “Aku adalah reinkarnasi Imam Mahdi.” Dalam keyakinan umat Islam, Imam Mahdi adalah sosok yang akan menyelamatkan umat manusia dari fitnah Dajjal di akhir zaman.
Cerita Walid ini secara gamblang mempertontonkan topik feodalisme, konservatisme, dan fanatisme agama. Di negara berkembang dengan mayoritas Muslim macam Indonesia dan Malaysia, topik ini memang sering menjadi makanan sehari-hari.
Namun, penggunaan agama sebagai alat untuk mencapai keuntungan pribadi tidak selalu berjalan mulus. Walid pun memiliki antitesis yang gigih, yakni Baiduri dan Hambali. Mereka berusaha keras untuk membongkar ajaran sesat yang disebarkan oleh Walid. Konflik semakin memanas ketika Baiduri, yang ibunya merupakan pengikut garis keras dalam jemaah, harus menghadapi dilema. Sang ibu bahkan rela bercerai dengan ayah Baiduri demi tetap setia pada ajaran Walid.
Cerita ini bukan sekadar kisah tentang fanatisme agama, tetapi juga mengajak kita merenung tentang bagaimana seseorang bisa terjebak dalam manipulasi yang mengatasnamakan agama. Setiap episode seolah menggambarkan perjalanan panjang antara keraguan dan pencarian kebenaran, dengan latar belakang masyarakat yang mudah terjebak pada janji-janji keimanan yang menggiurkan.
Dengan menggunakan teknik alur maju nampak kita bisa memahami maksud kritik serial Bidaah ini. Di zaman sekarang, fanatisme agama masih menjadi kekuatan dominan bagi umat. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang erat kaitannya dengan agama, seperti yang dijelaskan oleh Zulkarnain, akademisi dari UIN Sumatera Utara Medan, dalam jurnalnya. “Pengaruh Fanatisme Keagamaan terhadap Perilaku Sosial”.
Kata dia, agama diposisikan sebagai satu acuan nilai (system of referenced value) dalam keseluruhan sistem tindakan (system of action). Seorang individu fanatis akan mengembalikan segala hal pada pedoman agama, pemimpin, dan kepercayaan.
Baca Juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?
Perempuan Jadi Korban
Pondok aliran ini bak tempat persembunyian lantaran hanya bisa dijangkau dengan perahu. Terletak di antara pegunungan dan hutan, itu tertutup rapat dari dunia luar. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan menyeberangi danau.
Walid memiliki empat istri, dan para lelaki tua di lingkarannya, yang disebut syekh, juga memiliki lebih dari satu istri. Lingkaran dekat pendukungnya tampak mendapatkan keuntungan besar, mulai dari harta, kekuasaan, hingga perempuan yang menjadi korban. Pernikahan dalam aliran ini tidak memerlukan penghulu, orang tua pengantin, atau saksi.
Pernikahan mereka disebut sebagai pernikahan batin. Jodoh seseorang ditentukan langsung oleh Walid sebagai pemimpin, dengan iming-iming bahwa itu adalah pesan dari Rasulullah.
Perempuan yang akan dinikahkan dengan salah satu syekh diumumkan terlebih dahulu. Setelah itu, pernikahan dilangsungkan, bisa melibatkan tiga atau empat pasangan sekaligus dalam pernikahan batin.
“Demi kebaikan dan keberkahan, untuk menunaikan tugas akhir dunia. Mereka yang dipilih akan berbakti kepada orang yang akan menjadi surganya,” kata tangan kanan Walid.
Rata-rata kawin paksa ini melibatkan perempuan dengan rentang usia 16-19 tahun. Mereka umumnya bakal dipersunting sebagai istri ketiga atau keempat seorang syekh.
“Aku menikahkanmu, hal ini disaksikan Rasulullah di bawah perwalianku, Muhammad Mahdi Ilman dengan mas kawin satu kitab Al-Quran,” ucap Walid.
Meski sangat mencurangi perempuan, aliran ini eksis karena didukung oleh istri-istri di belakangnya. Kerap kali narasi yang digunakan juga memanfaatkan kerinduan hamba pada surga dan ketakutan pada neraka. Misal, istri yang mencoba kabur tidak akan mendapat surga, istri yang melawan suami tidak akan dapat ridha suami ke surga.
Persis seperti Maisarah, salah satu istri Syekh yang mengeluh, “Aku tak mau hidup dengan pria tua itu. Aku tak mau hidup dalam neraka ini. Dia tua dan penuh nafsu, dia hanya memikirkan kepuasan nafsunya saja. Aku tak pernah bersedia menikah dengannya”.
Sesuai dugaan, curhatan Maisarah justru direspons dengan doktrin agama: “Sebagai seorang istri itu sudah tanggung jawabmu untuk melayani nafsu suami, itu yang pertama dan paling utama. Kau tak bisa menulis takdirmu Maisarah itu kehendak tuhan.”
Peter Nauman, pendiri International Centre for the Study of Radicalisation (ICSR) menjelaskan bagaimana seseorang bisa terpapar pada radikalisme agama. Ada lima faktor utama yang berperan, mulai dari latar belakang individu, kebutuhan emosional, proses terpapar radikalisme, narasi doktrin yang disebarkan, hingga adanya figur berpengaruh yang menormalisasi kekerasan, yang akhirnya diterima sebagai bagian dari doktrin tersebut.
Walid pun melakukan pola serupa. Ia memanipulasi perempuan muda–yang umumnya mencari jalan taubat kepada Tuhan—untuk mendapatkan keuntungan seksual. “Aku mau kalian pejamkan mata, bayangkan Walid, jangan berhenti berzikir,” saat itulah dia memperkosa tokoh Dewi.
Di Indonesia, dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2022, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan terdapat enam belas kasus kekerasan seksual di pesantren antara 2015-2021. Dalam konteks ini, Walid memegang kendali penuh atas gerak jemaahnya. Perempuan hanya diperlakukan sebagai objek untuk memuaskan nafsu belaka. Semua pengikutnya tunduk dan patuh pada ucapan Walid, kecuali Baiduri dan Hambali yang tidak terpengaruh.
Baca Juga: Bagaimana Aku Berdamai dengan Agamaku Sendiri
Perjuangan Melawan Kesesatan Walid
Sejak awal, Baiduri menunjukkan perlawanan dengan menolak ritual mencium dan minum air bekas kaki Walid. Dia mulai menyadari apa yang diikuti ibunya adalah sekte yang jauh dari ajaran Al-Quran dan Allah. Meskipun ibunya bersikeras tindakan Walid adalah petunjuk dari Rasulullah dan Allah, Baiduri semakin merasa ada yang salah.
Baiduri seperti penyelidik yang mencatat setiap tindak-tanduk Walid, mulai dari memergoki perbuatan bejat Walid terhadap Dewi dan Mia, hingga memaksa perempuan-perempuan itu bekerja tanpa bayaran. Air bekas mandinya bahkan dijadikan minuman sehari-hari oleh pengikutnya, disertai doa-doa pujian pada Walid.
Kesesatan Walid semakin terlihat jelas ketika dia melarang siapa pun yang bukan mahram untuk berduaan. Namun dia sendiri melanggar aturan itu dengan Dewi dan Mia, yang dia manipulasi hubungannya dengan klaim hubungan ayah-anak. Sementara itu, jika ada orang lain yang berduaan tanpa mahram, mereka akan dihukum rajam, dilempar batu hingga darah mengucur.
Hambali, di sisi lain, bergerak untuk mengadukan kesesatan Walid kepada ulama di Malaysia agar ada tindakan. Namun, Baiduri sadar perjuangannya tidak akan berhasil jika dilakukan sendiri. Setelah mencatat ketidakberesan, ia mulai meyakinkan istri-istri Walid untuk mengungkap kebobrokan pemimpin mereka. Selama ini, apa yang diagungkan Walid dengan membawa nama Rasulullah dan Allah hanyalah kedok untuk memanipulasi mereka.
Fenomena seperti ini juga tidak asing di masyarakat Indonesia. Misalnya, di Jawa Timur, dalam pengajian yang dipimpin oleh tokoh yang disebut “Gus”, air botol yang telah diberi doa-doa sering dibagikan. Ada juga yang berebut bekas air minum para tokoh agama. Bahkan, orang-orang yang berjalan berpapasan dengan tokoh agama harus menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan.
Akhirnya, perjuangan Baiduri dan Hambali membuahkan hasil. Ketika keduanya dihukum rajam, polisi datang untuk menangkap semua jemaah. Titik balik yang membawa Walid ke pihak berwajib datang dari istri pertamanya, Hafizah, yang berbalik arah. Ketika dituduh sebagai pengkhianat jemaah, Hafizah menjawab, “Aku lebih baik berkhianat kepada engkau, Walid, Rabiatul, daripada berkhianat kepada Allah.”
Dalam jurnal yang ditulis oleh Fitri, akademisi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, berjudul “Dampak Radikalisme terhadap Perempuan Masa Kini,” disebutkan, perempuan memiliki peran yang sangat sentral dalam aliran agama radikal. Perempuan dinilai sebagai subjek pendukung bagi laki-laki, yang memberikan bantuan moral dan material.
Agama menjadi kendaraan yang sangat efektif untuk memengaruhi seseorang, terutama ketika dilakukan oleh seorang tokoh kharismatik. Di Indonesia, kekerasan dalam lembaga pendidikan seperti pesantren sering terjadi, dan hal ini menunjukkan betapa pentingnya kesadaran dan sikap skeptis terhadap tindakan seorang tokoh agama yang mengatasnamakan Rasulullah dan Allah. Fanatisme agama ini menunjukkan bahwa perempuan sering kali menjadi korban, baik secara moral maupun material.
