Sinetron ‘Pintu Berkah’ dan Glorifikasi Perempuan Berkerudung
Tak cuma ramai fenomena tukang jasa keliling, ada isu penting tentang perempuan berkerudung yang muncul di sinetron ‘Pintu Berkah’ Indosiar.
Kerap kali perempuan berkerudung dicitrakan sebagai orang lemah dan tak berdaya. Orang yang ketika diselingkuhi oleh suami cuma bisa menangis dan berdoa. Orang yang mendapat kekerasan fisik dalam rumah tangga cuma bisa sabar dan pasif saja. Ada juga yang begitu pasrah menghadapi kezaliman sang mertua.
Sebaliknya, kebanyakan perempuan tak berkerudung, dicitrakan sebagai perempuan penggoda. Perempuan berwatak jahat dan tega, tak berperikeperempuanan. Dalam beberapa sinetron Indosiar, mereka juga ditampilkan kerap memaki dan mencaci perempuan-perempuan berkerudung, yang hanya bisa mengucap “Astagfirullahaladzim” ketika mendapatkan perlakuan buruk.
Baca juga: Kenapa Karakter Perempuan di Sinetron Indonesia Masih Belum Beragam?
Narasi Over Glorifikasi yang Rawan Dinormalisasi
Entah, apa yang coba diketengahkan oleh penulis skenario sinetron yang viral karena berbagai jenis jasa keliling out of the box itu. Padahal, fakta sinetron tentu jauh berbeda dengan realitas. Ini bukan karena identitasku sebagai perempuan berkerudung lalu dengan membabi buta membenarkan citra perempuan berkerudung yang begitu sempurna.
Sinetron ini nyatanya justru rawan menjadi pelopor narasi-narasi yang mengglorifikasi perempuan berkerudung dengan citra istri salihah. Hal itu diwujudkan melalui ragam indikator, seperti istri salihah pasti berkerudung, istri salihah adalah mereka yang pasrah tanpa perlawanan. Istri salihah itu taat tanpa tapi, istri salihah rela diselingkuhi dalam relasi monogami. Istri salihah rela menjadi bulan-bulanan mertua jahat. Istri salihah juga rela jadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berkali-kali.
Dalam beberapa episode memang istri salihah digambarkan tak mengenakan penutup kepala, tapi jumlahnya sedikit. Akan terasa aneh jika ada perempuan tak berkerudung jadi tokoh protagonis. Seolah ide itu tak sejalan lagi dengan bayangan penggemar fanatik sinetron–yang belakangan kuberi julukan “Persatuan Perempuan Penikmat Sinetron Indosiar” (P3SI).
Baca juga: Peran ‘Perempuan Korban’ di Film: Basi dan Harus Ditinggalkan
Kebaikan Tak Cuma Monopoli Perempuan Berkerudung
Bahwa perempuan, baik berkerudung atau tidak punya potensi menjadi orang baik atau buruk. Perempuan berkerudung tak selamanya berperilaku baik. Sebaliknya, perempuan yang tak berkerudung juga tentu tidak sepenuhnya berperangai buruk.
Mungkin ada anggota P3SI yang komentar, “Enggak usah serius-serius banget dong, itu kan cuma sinetron fiktif.” Justru karena ini adalah sinetron yang diputar rutin dan ditonton jutaan orang, akan membuat narasi ini dinormalisasi. Padahal, baik atau buruk perempuan, sekali lagi tak bergantung dari baju yang membalutnya. Toh, kerudung dan baju itu bisa sangat simbolik, sehingga tak bisa jadi indikator untuk memastikan perilaku penggunanya.
Yang terjadi berikutnya, anggota P3SI cenderung mengekalkan stigma buruk bahwa perempuan tak berkerudung sudah pasti bukan perempuan baik. Stigma ini sendiri mulai terasa saat aku mulai merutinkan riset kecil-kecilan dengan menyambangi beberapa kolom komentar di postingan yang memberitakan tentang perselingkuhan seseorang.
Kerap kali yang menjadi orang ketiga di rumah tangga adalah mereka yang tak berkerudung. Kita tentu masih ingat tentang karakter perempuan ketiga di sinetron viral “Layangan Putus”. Menariknya, dalam sinetron itu, baik istri maupun perempuan yang dicitrakan sebagai penggoda, sama-sama tidak mengenakan kerudung. Sehingga, itu tak memantik glorifikasi perempuan berkerudung sebagaimana yang selama ini ditayangkan di sinetron Indosiar.
Baca juga: Kenapa Perempuan Muslim Pakai Jilbab?
Bukankah Tontonan itu Sebaiknya Jadi Tuntunan juga?
Betapa pun fiksinya kisah-kisah yang digambarkan di sinetron Indosiar, pembuatnya perlu mempertimbangkan dampak yang bakal muncul. Penggambaran perempuan “salihah” dalam sinetron bisa berdampak buruk pula. Bagaimana tidak? Jika untuk dibilang salihah, perempuan harus kehilangan agensinya, pasrah, dan tak bisa melawan, tentu ini berbahaya. Apalagi jika perempuan ada dalam relasi yang toksik dan berkekerasan.
Padahal kesabaran tak dicitrakan dengan diam dan tak melakukan apa-apa. Dalam ragam tafsir yang disajikan tentang makna sabar, baik dari Prof. Hamka di tafsir Al-Azhar-nya maupun Prof. Quraish Shihab di tafsir Al-Misbah, sama-sama memaknai sabar yang aktif. Sabar yang tetap melakukan upaya-upaya pertahanan diri.
Bayangkan jika perempuan lalu menelan mentah-mentah indikator kesalehan yang dicitrakan di sinetron Indosiar. Perempuan akan kembali menjadi makhluk yang powerless, tak berdaya demi memenuhi standar kesalehan perempuan sebagaimana yang ditampilkan di sinetron.
Padahal, para feminis sudah mati-matian mendobrak narasi pasif dan mendorong perempuan untuk lebih berdaya dengan suaranya. Yang tak tinggal pasrah sampai babak belur lahir batin demi ridho suami, atau citra salihah yang keblinger. Citra yang dibuat bukan berdasarkan panduan agama melainkan narasi sinetron yang berusaha di-agama-agamakan.