Culture Screen Raves

Review ‘The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes’: Isu Kelas hingga Masa Lalu Presiden Snow

Bertujuan mengisahkan titik balik ‘villain’ Presiden Snow hingga isu pertentangan kelas, tapi eksekusinya serba tanggung.

Avatar
  • November 28, 2023
  • 4 min read
  • 3579 Views
Review ‘The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes’: Isu Kelas hingga Masa Lalu Presiden Snow

Buatmu pecinta trilogi The Hunger Games, film The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes (2023) ibarat obat rindu. Film yang disutradarai oleh Francis Lawrence itu bakal membawa kenangan kembali ke delapan tahun silam, saat Mockingjay Part II rilis.

Film ini sendiri lebih fokus pada cerita hidup Coriolanus Snow sebelum menjadi Presiden Capitol ibu kota Panem. Alih-alih antagonis, Snow digambarkan sebagai sosok protagonis yang lembut dan penuh kasih. Namun itu dulu, sampai akhirnya semua berubah 180 derajat.

 

 

Perubahan Snow paling relevan dengan adagium umum bahwa orang jahat adalah mereka yang baik tapi tersakiti. Formula ini juga dipakai untuk mengembangkan karakter Snow di sini. Kita akan dibawa agar ikut bersimpati pada rasa sakit Coriolanus muda, sehingga bibit-bibit kekejamannya muncul kala itu.

Apa-apa saja fakta menarik dari masa lalu Snow? Apa yang menjadi titik balik perubahan karakter Snow? Semua hal itu akan dirangkum dalam penjelasan Magdalene berikut.

Sumber: Vanity Fair

Perubahan Karakter Snow yang Tak Dieksekusi Maksimal

Coriolanus Snow (Tom Blyth) yang saat itu berusia 18 tahun, tengah bersiap untuk mendapatkan beasiswa kuliah. Ia harus berjuang untuk menaikkan martabat keluarga. Namun enggak pernah ada yang tahu jika keluarga Snow jatuh ke lubang kemiskinan.

Ayahnya, Crassus Snow adalah bangsawan dan jenderal, tapi meninggal ketika terjadi Pemberontakan Pertama dengan distrik-distrik. Untuk itu Snow berusaha dan belajar mati-matian agar bisa juga mendapatkan Plinth Prize, demi masuk ke universitas bergengsi.

Di saat ia bersiap untuk merebut kesempatan, justru masuk tugas terakhir dari games creator dan dekan akademi Casca Highbottom (Peter Dinklage). Masing-masing murid tingkat akhir diwajibkan untuk mendampingi peserta Hunger Games yang akan segera bertanding. Di sinilah pertemuan pertama Snow dengan perempuan muda Lucy Gray Baird (Rachel Zegler) dari Distrik 12.

Lucy sebetulnya bukan penduduk asli Distrik 12. Ia berasal dari kelompok musisi bernama Covey—nomaden dari satu distrik ke distrik lainnya. Namun, nama Lucy dimasukkan dalam daftar peserta oleh anak perempuan sang wali kota Mayfair Lipp (Isobel Jesper Jones).

Hal ini mengindikasikan penyalahgunaan kekuasaan, karena Mayfair bisa sesuka hati memasukkan nama Lucy. Ia memanfaatkan jabatan ayahnya sebagai wali kota untuk membalas dendam.

Singkat cerita, nama Lucy terpilih menjadi peserta. Demi membantu Lucy menang, Snow melakukan segala cara. Selain itu, pendamping akan mendapatkan Plinth Prize. Bagi Snow ini adalah kesempatan ia satu-satunya. Ibarat dua tiga pulau terlampaui, Lucy menang dan Snow mendapatkan penghargaan, beasiswa dan masuk ke universitas tanpa biaya apa pun.

Kita akan melihat asal mula The Hunger Games yang dulunya enggak dilirik oleh banyak orang. Namun, ketika Snow menyampaikan ide untuk para peserta ditampilkan dulu sebelum bermain dan adanya donatur untuk membantu mereka. Sehingga, itu membuat permainan semakin dilirik warga Penom.

Nantinya Snow akan dilatih sendiri oleh Dr. Volumnia Gaul (Viola Davis)—head gamemaker untuk Hunger Games yang kesepuluh.

Masalahnya, dari rentetan narasi tentang Snow, penonton tak diperlihatkan bagaimana karakter villain itu bertumbuh. Kita diberi penekanan bahwa rasa sakitnya membuat karakter bisa berubah dari yang lemah lembut dan penuh kasih jadi keji dan tanpa ampun. Namun, kita tak pernah diperlihatkan apa yang sebenarnya menjadi titik balik Snow. Hal inilah yang menjadi lubang paling besar dari film prekuel ini.

Sumber: Vanity Fair

Baca juga: 7 Rekomendasi Film Aksi Perempuan Paling ‘Badass’

Bias Kelas dan Eksploitasi Manusia yang Kentara

Seperti yang kita tahu The Hunger Games diciptakan untuk “menghukum” para distrik setelah pemberontakan (rebellion). Mereka harus mengirim dua orang anak laki-laki dan perempuan untuk mengikuti kompetisi tersebut, yang mempertaruhkan hidup dan nyawa. Mati atau hidup adalah jawaban dari kemenangan permainan tersebut.

Di peringatan 10 tahun The Hunger Games, Panem membuat sesuatu yang baru. Kehadiran para peserta yang selalu disembunyikan sebelumnya kemudian dihadirkan sebelum pertandingan dimulai. Mereka ditempatkan dalam kandang di kebun binatang.

Hal ini memperlihatkan adanya eksploitasi manusia yang dilakukan Panem untuk menarik perhatian para penonton. Tujuannya untuk mengundang simpati agar mereka mendapatkan donatur dan bantuan saat permainan berlangsung.

Lalu jika membahas keempat film The Hunger Games hingga yang terbaru sekarang, masalah bias kelas selalu tak luput. Perbedaan kelas sosial sangat berbanding jauh, di sini warga Panem dianggap sebagai penguasa, sedangkan warga distrik hanyalah budak. Mereka diibaratkan harus membayar ‘upeti’ kepada Panem.

Baca juga: ‘Glass Onion’: Sekuel yang Biasa Saja dari ‘Knives Out’

Sumber: IMDB

Ini terlihat dari warga distrik-distrik harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan penduduk Panem. Mulai dari listrik, air hingga bahan makanan. Semua wilayah pekerjaan dijaga ketat oleh peacekeeper atau tentara Panem yang ditugaskan menjaga kedamaian di setiap distrik. Dan bagi siapa saja yang melanggar aturan, maka peacekeeper tak segan-segan untuk membunuh mereka. Tak terkecuali di The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes.

Jika kamu penasaran dengan jalan cerita Presiden Snow, film The Hunger Games: The Ballads of Songbirds and Snakes masih tayang di bioskop.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *