Review ‘Triangle of Sadness’: Mengolok-olok Orang Kaya Lewat Humor Östlund
Siap-siap kejutan di babak ketiga! Ini tontonan yang seru diketawai bersama-bersama.
Film pemenang Palme d’Or di Cannes tahun ini memulai adegannya dengan sekuens lucu. Seorang reporter mendatangi seorang model, Carl (Harris Dickinson), dan memintanya berpose untuk brand murah (H&M) dan brand mahal (Balenciaga).
Untuk H&M mereka tersenyum lebar karena mereka mengajak masyarakat untuk lebih konsumtif. Sementara untuk Balenciaga mereka harus tampil judes karena orang kaya perlu dipandang rendah agar mereka mau beli. Sentilan tentang kapitalisme ini bukan sekadar bumbu untuk mengenalkan profesi karakter utamanya. Ini adalah salah satu poin penting yang akan dibawa oleh film ini.
Ruben Östlund yang menulis dan menyutradarai nya, kemudian mengajak penonton untuk lebih tertawa lagi setelah mempertemukan Carl dengan pacarnya, Yaya (Charlbi Dean), yang melakukan debat panjang soal etika membayar bill saat kencan.
Lalu, suatu hari Carl dan Yaya mendapatkan kesempatan untuk naik kapal pesiar mewah dan bertemu dengan orang-orang 1 persen lainnya. Ada produsen senjata api, Oligarkh Rusia, sampai seorang Miliuner IT yang kesepian. Semuanya baik-baik saja di awal, meskipun kapten kapal mereka agak-agak kurang semangat dalam bekerja (diperankan oleh Woody Harrelson dengan begitu antusias). Sampai akhirnya terjadi sesuatu dan mereka semua terdampar di sebuah pulau.
Baca juga: ‘Rent: the Musical’, Cerita di New York yang Relevan di Jakarta
Pertunjukan “Eat the Rich!” yang Lucu
Tema “eat the rich” akhir-akhir ini menjadi tren dan saya pribadi sangat menikmatinya. Entah itu dibungkus horor (Ready or Not), thriller (The Menu) atau bahkan drama (Parasite), menyaksikan orang-orang kaya merasakan pahitnya hidup memberikan kepuasan tersendiri.
Östlund sepertinya sangat paham dengan membuat genre ini menarik, karena Triangle of Sadness adalah 147 menit penuh dengan tawa.
Menyaksikan orang-orang kaya ini kebingungan dengan bagaimana caranya bertahan hidup karena mereka tidak punya survival skills, adalah salah satu pengalaman sinematik paling juara yang saya rasakan tahun ini.
Baca juga: Laki-laki atau Perempuan yang Membayari Kencan?
Tidak bisa dimungkiri bahwa Östlund terlihat terlalu bersenang-senang dengan premisnya yang sederhana. Film ini bisa dipotong setengah jam dan pesan yang ia sampaikan tetap akan tersampaikan dengan baik. Östlund tampaknya terlalu cinta dengan semua humor dan tragedi demi tragedi yang ia atur untuk menyiksa karakternya sehingga dia keberatan untuk mengedit filmnya sehingga durasinya menjadi agak sedikit bersahabat.
Saya tidak komplain karena semua jokes yang Östlund sampaikan kualitasnya bintang lima. Tapi, kalau saja film ini diedit dengan sedikit lebih cermat, Triangle of Sadness bisa menandingi klasiknya Parasite yang sangat koheren.
Triangle of Sadness Punya Babak Terakhir yang Gurih
Triangle of Sadness dibagi dalam tiga babak. Babak pertama adalah dinamika hubungan antara Carl dan Yaya (adegan di kamar hotel harusnya bisa dipotong karena debat di dalam restoran, di taksi dan di dalam lift sudah cukup menggambarkan mereka). Babak kedua adalah semua kelucuan (dan tentu saja berujung kekacauan) yang terjadi selama di kapal pesiar. Sementara yang terakhir, adalah ketika beberapa survivor dari kapal tersebut terjebak di sebuah pulau. Di sinilah sebenarnya letak daging film ini.
Bayangkan Lord of the Flies tapi dengan sekumpulan orang kaya penuh privilese, dan tidak tahu caranya bertahan hidup di hutan. Babak terakhir Triangle of Sadness ini begitu gurih.
Ada satu karakter yang cuma sekelabat dikenalkan Östlund di babak kedua, saat kita hanya fokus pada kelakuan-kelakuan orang kaya. Namun, karakter ini punya peran lebih penting di babak ketiga. Service worker rendahan seperti Abigail (Dolly De Leon) jelas tidak mendapatkan spotlight. Sampai, tentu saja, ketika orang-orang ini tahu betapa luar biasanya Abigail dalam menangkap ikan.
Triangle of Sadness mungkin tidak sebrilian Parasite dalam konteks mengubah genre di tengah-tengah film, tapi di babak terakhir ini, penonton (seperti halnya karakter-karakternya) diajak ke situasi yang baru. Kali ini ancamannya nyata. Taruhannya jelas. Kalau mereka tidak kooperatif dengan Abigail, mereka tidak akan bisa bertahan lama.
Di bagian ini pula, Östlund pamer dengan kejeliannya menyajikan thesis baru. Selain wealth privilege ada juga yang namanya beauty privilege. Orang-orang cakep, seperti Carl dan Yaya, bisa merasakan pengalaman menyenangkan seperti naik kapal pesiar, bersenggolan dengan orang-orang 1 persen karena rupa mereka yang cakep.
Baca juga: Review ‘Sri Asih’: Beban Besar yang Dipikul Sang ‘Superhero’ Perempuan Pertama
Lalu apa yang terjadi dengan semua beauty privilege itu saat mereka terdampar di hutan? Tunggu saat kamu menyaksikan babak ketiga ini. Kamu akan menemukan dirimu tertawa cekikikan tiada henti-hentinya.
Dengan ending yang sempurna, Triangle of Sadness adalah salah satu film dengan pesan paling terang benderang yang sangat accessible. Film ini asyik untuk ditonton beramai-ramai karena Östlund tidak pernah kehabisan mesiu untuk membuat penonton tertawa. Hati-hati, di balik tawa itu siap-siap dengan teror yang terselubung.
Triangle of Sadness dapat disaksikan di CGV