December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

Review ‘Trigger’: Saat Kegagalan Negara Dijawab dengan Moncong Senjata

‘Trigger’ di Netflix menyoroti kekerasan senjata akibat kegagalan sistem sosial dan politik. Sayang, pesan bahayanya sering tenggelam dalam visual yang kurang esensial.

  • August 22, 2025
  • 4 min read
  • 1341 Views
Review ‘Trigger’: Saat Kegagalan Negara Dijawab dengan Moncong Senjata

(mengandung spoiler)

Episode pertama Trigger langsung mengajak penonton masuk ke situasi mencekam. Yu Jeong-tae (Woo Ji-hun), mahasiswa yang terlihat patuh aturan, menatap pedagang korek berbentuk senjata dengan tatapan misterius. Ketegangan memuncak ketika ia menegur bapak yang duduk di kursi ibu hamil.

Begitu tiba di tempat les, ia membuka tas gitar yang ternyata berisi senapan panjang, lalu menembaki orang-orang di sekitarnya. Adegan itu ternyata hanya imajinasi Jeong-tae, namun di akhir episode pertama, mimpi buruk itu benar-benar jadi kenyataan.

Topik tentang senjata api bukan hal baru dalam dunia hiburan. Namun Trigger, yang ditulis dan disutradarai Kwon Oh-seung, mencoba menghadirkannya dari kacamata berbeda.

Drama ini berangkat dari realitas sosial-ekonomi Korea Selatan yang penuh tekanan. Harga properti yang selangit, sistem sewa rumah jeonse yang menuntut deposit 50–80 persen nilai properti, hingga utang rumah tangga yang tinggi membuat hidup banyak orang berjalan di tepi jurang.

Dalam masyarakat dengan ketimpangan setajam itu, kehadiran senjata api menjadi semacam percikan di atas bara: Ia bisa meledakkan kemarahan yang lama dipendam.

Baca Juga: 12 Drakor Terbaik dengan Rating Tinggi yang Wajib Ditonton

Kemarahan, Trauma, dan Jalan Pintas Senjata

Di tengah kondisi penuh tekanan ini, kita diperkenalkan pada Lee Do (Kim Nam-gil), polisi pendiam yang enggan memegang senjata karena trauma masa lalu. Ia terseret dalam kasus penembakan mahasiswa di kos kecil, yang kemudian membawanya pada sosok misterius Moon Bae (Kim Young-kwang).

Moon Bae masuk ke sebuah rumah dengan paket berisi senjata api, membuka jalur cerita tentang bagaimana senjata bisa beredar dan mengubah hidup banyak orang.

Buatku, cerita Trigger menunjukkan, orang-orang biasa, ketika ditekan sistem dan kehilangan ruang keadilan, bisa terdorong mengambil jalan ekstrem. Oh Kyeong-suk (Gil Hae-yeon), ibu yang kehilangan anak karena kecelakaan kerja, awalnya memilih protes damai di depan perusahaan. Namun saat aksinya diabaikan, ia memutuskan mengadili bos anaknya sendiri begitu senjata ada di tangannya. Keputusan ini mencerminkan keputusasaan yang lahir ketika sistem hukum dan sosial gagal melindungi warga yang rentan.

Dilema yang sama juga menimpa Cho Hyun-sik (Kim Won-hae), bos sekaligus figur ayah bagi Lee Do. Dulu, ia menasihati Lee Do agar tidak balas dendam atas kematian orang tuanya. Namun, ketika putrinya sendiri menjadi korban senjata, ia sendiri tak mampu menahan amarah.

Dalam salah satu adegan paling emosional, Hyun-sik bertanya pada Lee Do bagaimana mungkin seseorang bisa menahan rasa sakit sebesar itu tanpa membalas. Adegan ini menyoroti bagaimana luka pribadi bisa menabrak prinsip moral yang selama ini dijunjung.

Lapisan cerita makin kompleks ketika Trigger menyoroti dunia remaja dan sekolah. Park Gyu-jin (Park Yoon-ho) dan Seo Young-dong (Son Bo-seung) adalah korban bullying yang terus-menerus diintimidasi Kang Seong-jun (Hong Min-gi). Mereka sudah mencoba berbagai cara untuk bertahan, tapi sekolah tak peduli dan guru-guru menganggap masalah ini sepele.

Situasi baru dianggap serius ketika kedua korban, dalam keputusasaan, mengunci pagar sekolah dan mengangkat senjata. Adegan ini menjadi salah satu kritik paling tajam dalam drama: Ketika institusi pendidikan gagal, anak-anak dipaksa mencari cara lain agar suaranya didengar.

Baca Juga: Setop Romantisisasi ‘Softboy’ dalam Drakor ‘Nevertheless’!

Pesan Utama yang Terdistorsi

Benang merah dari semua kisah ini adalah kegagalan sistem. Dari perusahaan yang tak mau bertanggung jawab, sekolah yang abai terhadap murid, hingga aparat yang tak mampu mencegah siklus kekerasan, drama ini memperlihatkan bagaimana struktur yang lemah dan timpang membuat individu mencari jalan pintas lewat senjata api

Kisah Kyeong-suk, Hyun-sik, hingga remaja korban bullying menggarisbawahi satu hal: Saat warga tak menemukan perlindungan dalam sistem, senjata terlihat sebagai cara terakhir, meski dengan risiko fatal.

Namun, Trigger menghadirkan paradoks. Di satu sisi, drama ini ingin memperingatkan bahaya senjata api. Di sisi lain, visual dan narasinya sering kali menampilkan senjata dengan gaya keren. Lee Do ditampilkan bak pahlawan aksi ala John Wick. Ia cekatan, berani, dan karismatik.

Sementara antagonisnya digambarkan seperti Joker: licik, sistematis, dan penuh daya tarik. Sinematografi yang penuh gaya, editing cepat, serta musik mendebarkan membuat adegan aksi tampak menawan—bahkan ketika isinya adalah kekerasan.

Di titik inilah pesan Trigger menjadi kabur. Ia berteriak keras soal risiko senjata dalam masyarakat Korea yang penuh utang dan tekanan hidup, tetapi suaranya sering tenggelam oleh kebutuhan tampil “cool”.

Drama ini berhasil memotret luka kolektif masyarakat yang tertekan, tapi pada saat yang sama juga memperkuat daya tarik senjata sebagai simbol kekuasaan. Bagi penonton, kontradiksi ini bisa terasa membingungkan: Apakah kita diajak mengkritisi kekerasan, atau justru menikmatinya lewat bungkus yang penuh gaya?

Seluruh episode ditonton untuk ulasan ini.
Trigger dapat disaksikan di Netflix.

About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.