Demonstrasi Berujung Mimpi Buruk: Cerita Rian, Remaja Korban Kekerasan Aparat
Pelajar asal Kebon Jeruk, “Rian” (bukan nama sebenarnya), tak menyangka akan menjadi korban penculikan dan penyiksaan oleh aparat kepolisian. Remaja berusia 17 tahun itu mengikuti rangkaian demonstrasi yang digelar berbagai elemen masyarakat pada Agustus.
“Saya memang ikut demonstrasi pas hari Senin, Kamis, dan Jumat, tapi abis itu enggak ikut lagi, cuma mantau doang di beberapa daerah, kayak di Pejompongan,” ungkapnya kepada Magdalene (17/9)
Rian mengaku mendapatkan informasi aksi melalui media sosial. Ia geram ketika melihat tersebar gaji anggota DPR yang menurutnya tidak wajar. Kegeraman itu mendorongnya untuk ikut dalam demonstrasi, dimulai pada (25/8). Bersama beberapa kawannya, ia datang ke Gedung DPR setelah pulang sekolah.
Baca Juga: Sejarah Mencatat TNI Sama Represifnya dengan Polisi: Anak Muda Wajib Mengkritisi
Tiga aksi ia ikuti berjalan lancar, meski ia sempat terjebak gas air mata saat aparat kepolisian memukul mundur demonstran hingga ke daerah Palmerah. Namun, Rian dan kawan-kawannya berhasil pulang dengan selamat.
“Masih aman tuh, hari Senin, Kamis, sama Juma, tapi abis kejadian pengemudi ojek daring dilindas polisi, keadaan mulai runyam. Tegang banget, jalanan penuh sama demonstran, polisi bahkan tentara,” jelasnya.
Nahas, pada (30/8) ketika sedang berkeliling bersama kawan untuk memastikan keadaan, Rian dan seorang kawannya tiba-tiba diserang aparat kepolisian. Keduanya dipukul hingga pingsan dan dibawa ke mobil.
“Kaget banget, tiba-tiba di belakang kepala ada yang mukul, keras banget. Saya langsung jatuh, enggak bisa bergerak tapi masih sadar pas dibawa ke mobil, dan abis itu gelap dah,” lanjutnya.
Ketika bangun, Rian sudah berada di atas ranjang rumah sakit yang lokasinya tidak diketahui. Tubuhnya penuh bekas luka pukulan dan darah yang mengering. Ia pusing dan lemah, tapi perawat memberi makan dan minum untuk memulihkan kondisinya.
Meski begitu, perawat tidak memberi penjelasan mengenai apa yang terjadi. Ia pun tidak sanggup bertanya karena masih syok.
Baca juga: Reformasi Polisi Bisa Dimulai dari Mendidik Aparat Muda, Begini Caranya
“Bangun langsung sakit semua, badan lebam-lebam, banyak juga darah kering. Mau ngomong juga susah karena masih pusing,” ujarnya.
Setelah beberapa jam perawatan, Rian diperbolehkan pulang. Barang-barang miliknya, termasuk gawai dikembalikan meski terdapat retakan imbas terjatuh. Motornya pun sudah berada di depan rumah sakit.
Ia pulang bersama rekannya mengendarai motor. Meski sempat linglung arah pulang tapi ia berhasil sampai rumah dengan selamat esok harinya pukul 21.00. Sesampainya di rumah, orang tua Rian terkejut melihat kondisi putranya yang babak belur.
“Ayah sama ibu nangis, nanya ini siapa yang ngelakuin, kok tega amat, sempet dimarahin juga tapi sebentar doang. Lebih banyak mereka yang nangis,” ujarnya.
Rian langsung merebahkan diri di kasur. Tubuhnya nyeri. Ia juga tak bisa tidur nyenyak, bahkan sering mengigau.
“Kata orang rumah, saya ngigaunya kayak orang minta ampun dan teriak berhenti, Pak berhenti,” tuturnya.
Mimpi-mimpi buruk menghantui setiap tidurnya, menggiringnya kembali ke saat-saat dipukul dan dibawa ke mobil. Setiap kali bangun dari mimpi, jantungnya berdebar kencang, tangannya bergetar, dan ia merasakan serangan kaget yang tiba-tiba, seolah tubuhnya masih berada dalam kondisi darurat.
“Ada trauma setiap liat aparat kepolisian, karena yang ada di bayangan pas saya dipukuli. Kalo denger suara yang keras aja sedikit langsung kebayang dan keringet dingin,” ungkapnya.
Hari demi hari, Rian masih merasakan efek trauma itu. Tangannya kerap bergetar tanpa sebab. Kadang disertai serangan syok kecil yang membuatnya terhuyung. Bahkan suara-suara keras atau gerakan tiba-tiba di sekitarnya bisa bikin ia terkejut.
Rian bahkan harus tidak masuk sekolah selama satu minggu imbas kejadian tersebut. Selain karena fisiknya yang tidak memungkinkan, ia juga merasa kelelahan mental.
Di sela-sela masa pemulihan, Rian terus memikirkan apa yang terjadi padanya. Banyak pertanyaan yang tidak menemukan jawaban di benaknya.
Baca juga: Dear Pemerintah, Kami Remaja SMA juga Berhak Bersuara di Demo
“Salah saya apa, sampai dipukuli gitu? Kok bisa terjadi sama saya? Padahal saya tidak membakar halte atau melakukan hal buruk lain. Tapi kenapa diperlakukan seperti penjahat,” terangnya pada Magdalene (4/9)
Di tengah kebingungannya, ia pesimis kasusnya bisa dibawa ke pengadilan. Rian menginginkan pelaku yang menculik dan menyiksanya dihukum, tapi ia sadar tidak bisa mengharapkan hukum di Indonesia hari ini.
“Keadilan ada enggak sih buat orang miskin kayak saya? Saya enggak nyesel ikut demo, tapi saya nyesel kenapa hal ini bisa terjadi. Bukan cuma saya, tapi dengan mata kepala saya sendiri saya lihat banyak orang diculik. Enggak memandang usia, jenis kelamin, bahkan orang yang cuma numpang lewat sekali pun bisa kena,” tandasnya.
Rian bukanlah satu-satunya korban kekerasan oleh aparat ketika demonstrasi. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat setidaknya 1.186 anak yang sempat dibawa ke kepolisian selama demonstrasi Agustus. KPAI juga mengungkapkan selama penangkapan dan pemeriksaan, anak-anak tersebut mengalami kekerasan fisik dan verbal.
Sementara itu, Pakar hukum sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Asfinawati, menyebut perlunya penyelidikan independen. Guna mengusut kasus kriminalisasi yang dilakukan aparat kepolisian maupun tentara kepada sipil ketika demonstrasi.
“Kalau negara serius mengusut itu gampang. Ada CCTV dimana-mana, bisa dilacak sebenarnya siapa sih yang berani memukuli masyarakat sipil? Harusnya ada penyidikan. Kalau kasus ini ternyata polisi yang terlibat, seharusnya jaksa yang menyidik,” ujar Asfin saat dihubungi Magdalene.
Menurutnya, penyelidikan tetap bisa dilakukan dengan melibatkan orang-orang di sekitar korban, memeriksa rekaman CCTV, dan mengumpulkan keterangan untuk membongkar pola pelanggaran. Namun, kenyataannya, kasus penculikan dan penyiksaan seperti yang menimpa Rian sering berhenti di tengah jalan.
“Kasusnya memang terindikasi kekerasan yang dilakukan negara dengan melibatkan aparat. Agar publik bisa tahu kebenarannya, perlu ada tim pencari fakta independen yang melibatkan Komnas HAM, Komnas Perempuan, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, bahkan pemerintah. Dengan cara itu, kasus yang selama ini seakan dibiarkan bisa terungkap,” pungkasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















