Issues Opini Politics & Society

Hidup-Kerja di 1 Lokasi Jakarta: Tak Semudah itu, Pak Ridwan Kamil

Curahan hati warga Depok yang sehari-hari cari nafkah di Jakarta.

Avatar
  • August 29, 2024
  • 5 min read
  • 989 Views
Hidup-Kerja di 1 Lokasi Jakarta: Tak Semudah itu, Pak Ridwan Kamil

Resmi berlaga di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024, Ridwan Kamil semakin membuat saya resah. Bukan cuma soal rekam jejak partai pengusungnya, tapi sebagai warga Depok yang sumber penghidupan dan pergaulannya di Jakarta, omon-omon eks Gubernur Jabar itu bikin saya degdegan. Bagaimana kalau saya enggak bisa lagi kerja di Jakarta nanti? Bagaimana jika saya dilarang ngopi di tempat yang cuma ada di Jakarta? Atau bagaimana jika saya ingin menikmati ruang terbuka hijau, macam Taman Literasi atau Hutan Kota GBK, tapi opsi yang saya punya cuma Alun-alun Depok?

Saya enggak sedang merutuki nasib terlahir sebagai warga Depok, tapi harus diakui kehidupan saya dan banyak warga setempat lain, justru lebih banyak berputar di Jakarta. Depok pun pada akhirnya sekadar tempat mengistirahatkan badan saja. Bahkan saat Ridwan kamil memimpin Jabar sekali pun, Depok masih belum menjadi kota nyaman buat kami. Jangankah bicara ketersediaan moda transportasi umum, buat rekreasi saja, saya cuma bisa memikirkan Margo City, pusat belanja serba ada di Margonda Raya, yang kini makin sesak.  

 

 

Kekhawatiran saya bertambah ketika Ridwan Kamil mulai bicara di media soal rencana-rencana “visioner” jika berhasil memimpin Jakarta. Salah satunya itu tadi, wacana hidup-kerja di satu lokasi. Dikutip dari CNN Indonesia, wacana itu dilatarbelakangi oleh impiannya mengurangi emisi karbon di Indonesia. Solusi versi Ridwan Kamil adalah dengan membatasi mobilitas warga.

“Kalau orang tinggal di Kelapa Gading, kerjalah di Kelapa Gading, nongkrongnya juga di Kelapa Gading. Kalau tinggal di PIK (Pantai Indah Kapuk), kerja aja di PIK, dan nongkrong di PIK. Jangan tinggal di sini, kerja di sana,” ujarnya, (24/8).  

Pernyataan ini buat saya cukup ngawur. Ridwan Kamil tak paham, sebagian orang tak punya banyak pilihan untuk bekerja dan tinggal di satu lokasi. Ia mungkin belum pernah merasakan susahnya beli rumah sistem Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan tenor 25 tahun di ujung Sawangan. Atau ia barangkali tak pernah menilik kehidupan driver ojek online yang harus narik penumpang sampai puluhan kilometer, menerabatas banyak kota sekaligus di Jabodetabek, karena memang harus.

Di luar pernyataannya yang kurang sensitif itu, kekhawatiran saya sebetulnya juga karena melihat rekam jejaknya saat memimpin Jabar. Saya akui, ia punya banyak gagasan amazing membangun “tata kota imajiner” sejak 2018. Sebagian idenya sudah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.  

Namun sampai kini, banyak rencana visioner tersebut mangkrak, bahkan berakhir jadi sekadar angan-angan. Sebaliknya, kami yang tinggal di Jabar, khususnya kota-kota penyangga Jakarta, merasakan macet tak berkesudahan, banjir, longsor, transportasi umum yang masih saja enggak memadai, sampai kurangnya lapangan pekerjaan.

Berikut memoar lima tahun ke belakang yang jadi penyebab, mengapa saya khawatir kalau RK berhasil duduk di kursi pimpinan Jakarta. 

Baca juga: Jakarta Masih Jadi Magnet ‘Job Seeker’, Perlukah Antisipasi Pengangguran?

Program Utopis yang Enggak Membumi

Lima tahun membangun Jabar, memang bukan waktu relatif panjang. Realisasi kebijakan tentu bergantung pada kompleksitas masalah, sumber daya yang tersedia, sampai dinamika politik. Saya pun tak berharap Ridwan Kamil jadi messiah saat memimpin Jabar dan simsalabim membereskan semua problematika.  

Namun, buat saya RK kerap memberikan janji kosong pada masyarakat. Misalnya, pembangunan sektor transportasi umum. Sejak berkampanye di Pilkada Kota Bandung pada 2013 silam, Ridwan Kamil berjanji menghadirkan moda transportasi massal untuk mengurai kemacetan. Itu dimulai dengan peluncuran ide pembangunan Light Rail Transit (LRT) Metro Capsul Bandung Raya. Dilansir dari Pikiran Rakyat, sampai masa kepemimpinannya selesai di Bandung, kemudian lanjut jadi Gubernur Jabar, ide ini enggak pernah terealisasi. Prototipe gerbong LRT yang pernah dielu-elukan pada 2017 pun hanya berakhir sebagai pajangan di Alun-alun Bandung.  

Ambisinya mengatasi persoalan kemacetan berlanjut. Di akhir masa jabatan, Ridwan Kamil berujar telah mempersiapkan rencana pembangunan cable car di Bandung. Dari Detik Jabar, wacana pembangunan ini disampaikan secara langsung olehnya kepada Presiden RI, dalam rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada Agustus 2023. Menurutnya, ini adalah solusi mutakhir untuk meredam kemacetan di Bandung yang saat itu menyentuh angka 40 persen.  

Rencana Ridwan Kamil bukan tanpa penolakan. Masih kepada Detik Jabar, pakar Transportasi Institut Teknologi Bandung Sony Sulaksono menyampaikan, ambisi pembangunan Ridwan Kamil, terutama cable car, kurang layak dan tak efektif untuk kawasan Bandung. Meskipun cable car memang diperuntukkan di kawasan pegunungan, kontur Bandung Raya yang berkelok tetap tidak cocok dengan wacana tersebut.

Baca juga: Benarkah Bertahan Hidup di Jakarta Butuh 5 Juta per Bulan?

Enggak cuma sektor transportasi umum, dalam masa kampanyenya pada 2018, Ridwan Kamil juga mewacanakan pembangunan Bandara Sukabumi, untuk menggenjot perekonomian warga setempat. Kepada Warta Ekonomi, 15 Desember 2018, ia optimis, pembangunan bandara di Kecamatan Cikembar, Sukabumi bisa mulai dibangun pada 2019. Namun, sampai tulisan ini terbit, pembangunan bandara itu belum juga terlaksana. Pembebasan lahan jadi salah satu perkara yang melatarbelakanginya.  

Bertahun-tahun menjabat, pembangunan Ridwan Kamil di Jabar juga cenderung bersifat konta-sentris. Sementara kita tahu, Jabar, bahkan Depok sendiri punya demografi yang beragam dan tersebar, tak cuma Margonda saja. Enggak heran jika Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKK) selama Ridwan Kamil memimpin Jabar cukup kentara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar, IKK Kota Bandung menyentuh angkat 0,61. Sedangkan, Indramayu punya IKK yang jauh lebih tinggi, yaitu sampai menyentuh angka 2,05. 

Di Depok sendiri, Ridwan Kamil pernah menjanjikan dua proyek besar selama masa kepemimpinannya. Dua janji tersebut adalah pembangunan underpass Dewi Sartika dan flyover di Jalan Raya Citayam. Sampai masa jabatannya berakhir, Jalan Raya Citayam masih begitu-begitu saja. Meski sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat, nyatanya flyover masih jadi angan-angan. 

Baca juga: Dilema Pelaju Jakarta, Berdamai dengan Jarak dan Transportasi Minim

Barangkali memang benar yang dibilang Rida Fadilah, dkk. dalam artikelnya bertajuk “KOTA DEPOK: SEJARAH DAN HARI JADINYA”. Bahwa dulu hingga hari-hari ke depan, Kota Depok memang belum bisa lepas dari Jakarta. Demikian pula warga seperti saya yang lebih merasa terhubung dengan Jakarta karena lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Saya kira bukan cuma diri sendiri yang merasakan ini, tapi banyak warga Depok lainnya termasuk kamu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *