Ruang (Ny)aman: Pilih Sekolah yang Menjadikan Anak Subjek
Sekolah harus memenuhi kebutuhan utama anak yakni bermain, sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya, menurut praktisi pendidikan.
M. Riza Perdana Kusuma sedang kebingungan mencari taman kanak-kanak untuk anaknya yang berusia empat tahun. Ayah dua anak itu baru akan memindahkan istri dan anak-anaknya dari Yogyakarta ke ibukota, dan pasangan tersebut sudah mengincar beberapa sekolah yang memenuhi kriteria mereka, di antaranya adalah berbasis agama dan bilingual.
“Ada sekolah yang sudah sreg, namun kami harus melewati kemacetan. Bayangkan anak itu harus bangun jam berapa (untuk menghindari macet),” ujar Riza, seorang presiden direktur perusahaan properti, dalam diskusi bulanan Ruang (Ny)Aman pekan lalu di Jakarta. Hasil kerja sama Magdalene, KeKini, dan The O Project, Ruang (Ny)Aman bulan ini bertemakan “Memilih Sekolah untuk Anak.”
Riza dan istri kemudian memutuskan tidak memilih sekolah berbasis agama tersebut. Mereka kemudian menemukan sekolah yang tepat karena memiliki suasana nyaman dan ramah bagi anak di daerah Menteng. Namun, lagi-lagi urusan jarak dari rumah mereka di Kemayoran dan kemacetan menjadi penghalang.
Dilema yang dihadapi Riza merupakan satu di antara pelbagai pertimbangan memilih sekolah terbaik untuk anak oleh orang tua yang hadir pada diskusi. Pertimbangan lain adalah biaya sekolah (beberapa super mahal), kurikulum, pengajaran bahasa asing, hingga sekolah yang mampu menanamkan akhlak.
Menurut praktisi pendidikan Lestia Primayanti, yang menjadi narasumber diskusi 11 Juli lalu, tidak ada yang disebut sebagai “sekolah terbaik” karena sekolah terbaik untuk anak adalah sekolah yang sejalan dengan nilai-nilai keluarga.
“Jadi bukan soal apa kurikulumnya, apa bahasa pengantarnya. Tapi bagaimana sekolah tersebut bisa mendorong anak menjadi anak yang baik,” ujar Lestia, yang memimpin Sekolah Kembang di Jakarta Selatan.
Ia mengatakan orang tua cenderung menggunakan pengalaman mereka sendiri untuk memproyeksikan apa saja yang dibutuhkan anak di sekolah.
“Semuanya mengarah ke asumsi. Kemudian kita (orang tua) tidak sadar bahwa sistem pendidikan sekarang ini tidak berbeda jauh dengan pendidikan 150 tahun yang lalu. Tapi tantangan yang dihadapi anak nanti berbeda dengan tantangan yang kita hadapi,” kata Lestia.
Alih-alih memilih sekolah atas dugaan yang terbaik untuk anak, dia menganjurkan untuk membantu anak dalam menentukan kemampuan apa saja yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan yang akan dihadapi kelak.
“Kalau memilih sekolah, (yang dipertimbangkan) seberapa jauh sekolah akan membantu kita dalam menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang bahagia dan berdaya. Karena sebagai orang tua kita ingin anak-anak bisa bahagia dengan pilihan dan tujuan hidupnya,” ujarnya.
Lalu muncul pertanyaan bagaimana cara mengetahui apa yang dibutuhkan jika anak tersebut masih kecil?
“Kita tidak bisa menebak terlalu jauh, tapi kita bisa memenuhi kebutuhan anak itu sekarang (sesuai kebutuhan tahap tumbuh kembangnya). Hal pertama yang harus kita pahami adalah soal tumbuh kembang anak terutama dengan segala keunikannya,” ujar Lestia.
Kebutuhan utama anak-anak, yang berarti sampai ia berusia 18 tahun, adalah bermain, ujar Lestia. Tentunya konsep bermain ini berbeda-beda pada setiap fase tumbuh kembang anak. Bayi butuh bermain dengan seluruh anggota tubuh orang tuanya agar dekat. Anak berusia tiga tahun akan bermain dengan semua yang mereka temui. Anak SD ingin bermain dengan segala hal yang berkaitan dengan fisik karena mereka ingin membuktikan bahwa mereka bisa mahir melakukan sesuatu. Dan remaja tentu saja ingin bermain dengan teman-temannya.
“Kebanyakan orang tua menganggap waktu bermain adalah hadiah dan tugas mereka adalah belajar. Tapi tugas anak-anak adalah bermain. Belajar seharusnya bukan menjadi tugas utama mereka, tapi menjadi leisure time untuk mereka,” ujarnya.
“Jangan dianggap bahwa anak-anak tidak belajar dalam waktu bermain mereka.”
Menjadikan anak subjek
Bagaimana dengan biaya sekolah yang sering kali sangat fantastis jumlahnya? Lestia mengatakan, biaya operasional sekolah memang mahal, apalagi jika sekolah tersebut mengadopsi kurikulum internasional yang bersifat waralaba.
“Lagi-lagi dilihat saja apakah sesuai dengan kebutuhan anak, yakni bermain, bukan terlalu memprioritaskan nilai atau sisi akademis,” ujarnya.
Terkait proses belajar dan nilai yang diterima anak, Lestia mengatakan semua kembali kepada orang tua apakah mereka ingin anak untuk belajar atau sekadar mendapatkan nilai sempurna di sekolah.
Lestia mengatakan ketika anak sedang belajar harus dalam kondisi senang. Jika anak dalam kondisi tertekan atau stres maka proses belajar tersebut menjadi sulit, katanya.
“Stres membuat semangat belajar padam dan tidak ada (ilmu) yang masuk ke otak. Misalnya, kita mempelajari hal baru dan kita minati, kita bisa langsung jago dalam waktu singkat. Tapi kalau yang tidak disukai pasti akan sulit,” ujarnya.
Dia mengungkapkan beberapa kasus siswa yang mengalami depresi, ditandai dengan kehilangan berat badan, berat badan tidak bertambah, kehilangan minat pada hal yang disenangi, dan menganggap negatif semua hal yang terjadi di sekitarnya.
“Kadang orang dewasa menganggap anak nakal dan melawan, tapi tidak mencari tahu apa yang terjadi di balik itu. Kalaupun guru mengenali (tanda anak depresi) belum tentu orang tua mengenali dan begitu pula sebaliknya,” ujarnya.
Lestia menambahkan, salah satu faktor yang memengaruhi terpenuhi atau tidaknya kebutuhan anak adalah sistem pendidikan. Jika sekolah tidak meletakkan anak sebagai subjek, tetapi sebagai objek atau properti sekolah, maka kebutuhan tidak akan terpenuhi.
Anak akan sehat mental jika kebutuhannya terpenuhi, jika tidak dipenuhi anak bisa menunjukkannya dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah mengamuk atau tantrum.
“Orang tua kadang kesal. Tapi sebenarnya mereka memberitahu kita bahwa mereka butuh bantuan. Mereka tidak bisa bilang, ‘Iya saya stres karena pekerjaan rumahnya banyak’,” ujar Lestia.
Selain itu, kondisi sekolah yang belum meletakkan anak sebagai subjek memudahkan terjadinya kekerasan di sekolah. Terlebih lagi jika guru tersebut tidak memiliki keleluasaan karena harus mengikuti prosedur yang ditetapkan. Tuntutan di luar sekolah yang tidak berkaitan dengan siswa juga akan menjadi beban. Akhirnya aksi kekerasan rentan terjadi.
“Contoh, guru menghitung prestasi belajar berdasarkan nilai belajar anaknya. Yang dikejar adalah nilai karena dia juga dinilai berdasarkan hasil ujian di sekolah yang dia bimbing. Ketika itu terjadi guru akan melakukan segala cara agar nilai anak bagus,” kata Lestia.
“Jadi kalau mengurai sistem kekerasan di pendidikan itu sangat panjang dan cukup berat. Muara masalahnya adalah kita belum meletakkan anak sebagai subjek. Kita meletakkan anak sebagai bagian dari properti kelas. Harus tertib, patuh, dan nilai harus bagus. Kalau tidak akan kena marah.”
Lestia menekankan bahwa orang tua tidak seharusnya menjadi konsumen pasif dalam hal pendidikan anak. Orang tua harus aktif berkomunikasi dengan pihak sekolah jika menemukan kejanggalan pada anak, katanya.
“Kalau anak sampai stres karena kebanyakan pekerjaan rumah, maka sampaikan ke sekolah. Kalau proyek anak yang dibuat sendiri tanpa bantuan orang tua dan hasilnya jelek, tanya ke sekolah apakah mencari karya yang sempurna atau anak yang tekun mengerjakan tugas sendiri,” ujarnya.
Baca kisah inspiratif perempuan pengusaha Aborigin yang memberdayakan komunitasnya lewat teknologi VR.
Tabayyun Pasinringi adalah reporter magang Magdalene, mahasiswa jurnalistik yang gemar mendengarkan musik dream pop dan menghabiskan waktunya dengan mengerjakan kuis Buzzfeed.