Issues Opini Safe Space

Cerita dari Bilik Bunga Tanjung: Pendampingan Kekerasan Satu Pintu

Andai penanganan kekerasan seksual di Indonesia, dari visum hingga penguatan psikologis bisa semudah ini.

Avatar
  • December 5, 2024
  • 4 min read
  • 258 Views
Cerita dari Bilik Bunga Tanjung: Pendampingan Kekerasan Satu Pintu

Rangkaian Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) telah dilangsungkan sejak (25/11) lalu. Kampanye ini sedikit banyak mengingatkan saya pada pengalaman mendampingi korban kekerasan seksual. Salah satu yang paling membekas kala mendampingi korban di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Bunga Tanjung di RSUD Tarakan, Jakarta Barat.  

Saya mengunjungi PPT Bunga Tanjung pertama kali pada Maret 2024. Korban yang saya dampingi berencana melakukan visum dan penguatan psikologis usai melapor ke polisi. Saat awal datang ke sana, saya enggak punya ekspektasi apa-apa terhadap layanan ini.

 

 

Namun setelah melihat fasilitas dan kesigapan petugas, saya jadi menaruh harapan. Biasanya, pendamping dan korban bakal diarahkan langsung ke Unit Psikiatri. Namun tidak di PPT Bunga Tajung, RSUD Tarakan. Ruangan di lantai dasar rumah sakit ini memiliki lima kamar dengan fungsi masing-masing, yakni administrasi visum, konseling psikososial, konseling hukum, ruang bermain anak, dan pemeriksaan fisik medikolegal serta pemeriksaan seksual.

Kelengkapan layanan bersistem satu pintu seperti ini adalah pemandangan langka. Di Jakarta sendiri, saya baru pertama kali melihat layanan penanganan korban kekerasan yang semudah ini. Terlebih berkaca dari kesaksian Syamsul Tarigan, Senior Technical Advisor/ Gender Task Force (United Nations Development Programme) UNDP Indonesia, birokrasi layanan penanganan kekerasan masih jadi lubang besar dalam konteks ini.

Baca juga: Kekerasan Domestik di Kota: Di Mana Peran Tanggung Jawab Sosial? 

Ia pernah bilang dalam Media Briefing UN “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP)”, (25/11) bahwa isu tata kelola harus diperbaiki segera. “Beberapa tahun lalu, ketika kami melakukan penelusuran, kenyataannya, layanan penanganan korban di P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) ini sifatnya system refferal atau rekomendasi rujukan saja. Padahal, untuk mempermudah penanganan, dibutuhkan sebuah one-step service untuk melayani korban,” jelas Syamsul.

Penanganan Korban Kekerasan Seksual
Ruangan Konseling Hukum PPT Bunga Tanjung (Foto oleh Syifa Maulida/Magdalene)

Beruntung, sekarang ada Bunga Tanjung dengan pelayanan yang dibuat efisien dan praktis. Mulanya saya diarahkan untuk bertemu dr. Boge Priyono Nugroho, Sp. FM, Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal, sekaligus Koordinator Tim PPT Bunga Tanjung. Setelah merampungkan beberapa administrasi, dr. Boge mengarahkan korban buat visum dan penguatan psikologis.

Meskipun saat itu kami tetap perlu naik-turun lift untuk pemeriksaan laboratorium, layanan langsung tanpa rujukan ini sangat memudahkan alur penanganan. Korban tidak perlu mengeluarkan energi lebih untuk berpindah-pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.  

Sembari menunggu hasil visum yang dikeluarkan oleh laboratorium, korban sendiri bisa langsung mendapatkan penguatan psikologis oleh tenaga medis yang tersedia di RSUD Tarakan. Antrenya cepat, sekitar 15-20 menit saja, korban sudah dapat melakukan proses penguatan psikologis. Proses konseling dilakukan selama kurang lebih 60 menit.  

Baca juga: Kekerasan Seksual di Aceh Marak, ‘Qanun Jinayat’ Saja Tak Cukup 

Ruang Tunggu Hasil Visum, Laboratorium, RSUD Tarakan (Foto oleh Syifa Maulida/Magdalene)

Selama proses penanganan, korban minim terpapar oleh orang luar. Kemudahan yang didapat lewat one-stop-service di PPT Bunga Tanjung membuat korban dapat memperoleh hak pendampingan secara paripurna. Pun, karena PPT Bunga Tanjung diawasi P2TP2A, proses hukum yang dilakukan terhadap kasus korban juga dapat dilakukan bersamaan.  

Perlu Diperbanyak, Tapi Sulit Untuk Direalisasikan 

Sayangnya, menciptakan one-step-service dalam penanganan kekerasan berbasis gender bukan perkara mudah. Sebagai salah satu pihak terlibat, UNDP bilang, ego-sektoral adalah sumber masalah utama. Belum banyak lembaga yang mau melebur dan menggabungkan fungsinya masing-masing untuk menciptakan satu layanan terpadu seperti PPT Bunga Tanjung. Ia menambahkan, kemauan politis dari kepala daerah jadi salah satu faktor keberhasilannya. 

Baca juga: Banjir Aplikasi Layanan Kesehatan Tak Jamin Layanan Kesehatan Lebih Efektif 

“Selama ini kesulitan untuk memadukan layanan penanganan adalah ego-sektoral dari masing-masing lembaga yang cenderung tinggi. Hal ini menyulitkan proses penyatuan, karena selama ini tiap-tiap lembaga seperti berjalan sendiri-sendiri. Selain itu, penciptaan layanan satu pintu seperti PPT Bunga Tanjung juga sangat bergantung pada political will dari masing-masing kepala daerah. Kalau kepala daerahnya peduli dengan isu semacam ini, akan jauh lebih mudah,” jelasnya.  

Layanan satu pintu seperti PPT Bunga Tanjung merupakan kebutuhan layanan wajib, setidaknya di setiap daerah. Pada riset bertajuk “Role of ‘One Stop Crisis Centre’ in Identifying and Assisting Victims of Violence in an Indian Health Care Setup” (2020), Prachi Verma, dkk. menemukan one-stop-service ini secara signifikan membantu proses pemeriksaan korban, dengan memberikan layanan yang tepat pada satu sistem.  

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *