December 21, 2025
Lifestyle Opini

Yang Tak Ada di Perjanjian KPR 20 Tahun: Tetanggamu Seekor Kobra

Membeli rumah impian di klaster idaman berubah jadi kecemasan, saat tetangganya ternyata penghuni sah lahan perumahan: ular.

  • November 13, 2025
  • 5 min read
  • 713 Views
Yang Tak Ada di Perjanjian KPR 20 Tahun: Tetanggamu Seekor Kobra

Kata orang, ada tiga hal yang tak bisa kita pilih dalam hidup ini: keluarga, atasan, dan tetangga. Yang terakhir ini saya pelajari lewat pengalaman yang berdesis.

Semuanya bermula dari keinginan untuk keluar dari stigma sebagai penghuni Cikarang. Buat banyak orang, ibu kota Kabupaten Bekasi itu adalah surga rumah subsidi yang dicat seadanya, dinding batako tipis yang retak-retak setelah setahun, dan keluhan abadi soal air.

Bertahun-tahun saya berjuang, mengumpulkan rupiah demi rupiah, agar bisa membeli tempat tinggal yang lebih layak. Rumah non-subsidi di Sukatani, dengan dinding bata merah, atap baja ringan, pemandangan estetik dengan klaster yang tertata rapi lengkap dengan danau buatan.

​Saat hal itu tercapai, saya merasa tidak hanya membeli bangunan, tapi juga status dan ketenangan pikiran. Saya membayangkan istri saya bisa bersantai dengan nyaman, dan anak kami kelak bisa bermain di taman tanpa khawatir diserempet sepeda motor atau kecemplung got. Saya kira, saya telah membeli sebuah benteng. Sebuah rumah impian tempat membangun keluarga dengan aman. Saya kira, saya sudah menang.

​Sampai suatu malam, keheningan klaster pecah oleh teriakan istri saya dari dapur. Bukan teriakan panik yang biasa, melainkan jenis teriakan yang membuat saya terpaku, darah saya seperti membeku.

Saya berlari, dan di bawah wastafel, melingkar dengan tenang seolah tak merasa bersalah adalah seekor ular sawah yang menatap kami. Horor pertamanya adalah kejutan. Tapi yang lebih menghantam adalah rasa tidak percaya. Bagaimana bisa? Ini perumahan modern. Klaster tertutup. Semua tampak tertib dan tertata. Tidak ada yang mempersiapkan saya untuk kemungkinan ini. Ular seperti itu tidak termasuk dalam paket brosur pemasaran.

Tapi malam itu, realita merayap masuk secara harfiah.

Petugas keamanan kemudian datang dengan sigap dan menangkap si ular. Malam itu kami tidak bisa tidur. Kami hanya berbaring diam, menatap langit-langit, sambil saling menggenggam tangan dan mencoba menghapus bayangan melata yang masih membekas di kepala.

“Ah, mungkin cuma kebetulan,” kata saya di pagi harinya, lebih untuk meyakinkan istri saya daripada diri sendiri. “Mungkin terbawa dari selokan besar.” Saya bahkan sempat bercanda, “Selama bukan Nagini, kita masih aman.”

Istri saya tidak tertawa.

Kami pun melanjutkan hidup dengan sebuah kewaspadaan baru yang samar. Seperti ada sesuatu yang terus mengintip dari balik lubang pembuangan, menunggu giliran.

Baca Juga: Generasi Z: Rumah Tak Terbeli Bukan karena Kebanyakan ‘Ngopi’

Ketika kebetulan berubah jadi pola

Beberapa minggu kemudian, kejadian serupa terulang. Kali ini bukan di dapur, melainkan di garasi, dekat rak sepatu. Ular sawah lagi. Lebih kecil, tapi dengan tatapan yang sama. Tatapan datar dan kuno, seolah saya yang salah tempat. Seolah ia bertanya: “Kamu siapa?”

Di sinilah “kebetulan” berubah menjadi “pola”. Kepanikan saya berubah menjadi kecemasan kronis. Tapi puncak horornya tidak datang dari rumah saya. Ia datang dari grup WhatsApp tetangga. Sebuah foto buram yang diunggah jam 11 malam. Foto yang membuat semua anggota grup bapak-bapak yang tadinya berisi candaan politik dan garing mendadak tak bisa berkata-kata.

“Bapak-bapak, info. Tetangga kita Blok C dapat KOBRA di kamar mandi.”

Kobra, loh. Saya ulangi kata itu dalam hati. Kobra. Dua ular sawah di rumah saya menakutkan, tapi levelnya masih gangguan. Kobra adalah level yang jauh berbeda. Ular sawah membuat kamu terkejut. Kobra membuat kamu membayangkan skenario terburuk untuk diri sendiri, anak, dan istri. Kobra adalah ancaman kematian yang siaga.

Di sinilah analisis saya sebagai penghuni Cikarang terbentuk. Kita, para pendatang, telah membeli ilusi paling mahal. Kita membeli klaster, taman bermain, one-gate system, dan satpam yang berpatroli. Kita membayar KPR 20 tahun untuk sebuah sertifikat yang menjamin kepemilikan kita atas tanah 90 meter persegi dan bangunan di atasnya.

Baca Juga: 5 Tips Sewa Rumah atau Beli Rumah Buat Freelancers

Kita lupa satu hal: kita tidak pernah benar-benar membeli tanah ini. Kita hanya sedang menyewanya dari pemilik aslinya. Sukatani, Cikarang, ini adalah garis depan peradaban. Sepuluh, lima belas tahun lalu, tempat klaster saya berdiri adalah surga bagi mereka: rawa, kebun bambu, dan sawah. Habitat yang sempurna. Lalu kita datang dengan buldoser, meratakan segalanya, dan mendirikan benteng-benteng beton atas nama “hunian asri”. Kita membangun rumah di atas kamar tidur mereka. Dan kini, mereka datang untuk menagih.

Hidup saya pun berubah. Ketenangan pikiran yang dulu saya kira telah saya bayar lunas, mendadak lenyap. Menutup lubang pembuangan air jadi ritual wajib sebelum tidur. Menabur garam dan kapur barus bukan lagi perkara mistis, tapi soal logika bertahan hidup. Setiap kali membuka pintu, saya tidak hanya melihat ke depan, tapi 360 derajat. Setiap kali istri saya ke dapur di malam hari, saya refleks ikut berdiri, pura-pura mengambil minum sambil menjaganya.

Saya memang berhasil membeli rumah non-subsidi yang dulu saya impikan. Tapi saya lupa membaca klausul kecil di kontraknya: bahwa saya akan berbagi alamat dengan tetangga yang tak pernah saya undang.

Karena kini saya sadar, membeli rumah di perbatasan adalah sebuah negosiasi. Kita membangun dinding tinggi untuk berlindung dari manusia, namun kita lupa bahwa ada bahaya yang datang dari bawah tanah.

Kita boleh menggenggam sertifikat di tangan, tapi sang kobra menggenggam hak yang lebih lama. Kita adalah tamu yang angkuh, yang lupa bahwa sang tuan rumah… tak pernah benar-benar pergi.

Akhmad Yunus Vixroni, 31 tahun, selalu sayang istri.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Akhmad Yunus Vixroni