Di Negara yang Sibuk Membabat Hutan, RUU Masyarakat Adat Akan Dilihat Sebagai Ancaman
Welcome to negeri Konoha, di mana RUU Masyarakat Adat 15 tahun stuck di draft, sementara izin babat hutan langsung fast track.

Pada 12 Maret 2025, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, bersama dengan Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, membahas perdagangan karbon Indonesia secara global untuk “hutan yang lebih lestari”. Di minggu yang sama, Konsolidasi Solidaritas Merauke berlangsung dari tanggal 11-14 Maret 2025. Konsolidasi yang dihadiri lebih dari 250 masyarakat adat, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat sipil yang terdampak PSN di Merauke, Papua Selatan ini menuntut penghentian PSN warisan pemerintahan Jokowi.
Keduanya terjadi di minggu sama saat perayaan Hari Masyarakat Adat Nasional, 13 Maret. Bedanya, satu pihak sibuk menjual hutan atas nama keberlanjutan, sementara yang lain berjuang agar hutannya tak dirampas.
From this:
To this:
Peresmian perdagangan karbon sektor kehutanan digadang-gadang oleh Raja Juli sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau, dengan potensi perdagangan mencapai Rp258,7 triliun per tahun.
Bagian terburuk dari kerja sama kedua pihak ini bukan cuma rekam jejak Hashim di industri tambang yang dicap sus oleh warganet, tapi juga terbukanya peluang besar untuk praktik perampasan lahan adat, yang bertentangan sepenuhnya dengan “hutan lestari”.
Baca juga: Upaya Sabana Sumba Demi Hak Masyarakat Adat: Perjuangan Kami Masih Panjang
Kenapa nasib masyarakat adat dalam bahaya dan kita harus waspada?
Sampai saat ini hanya 265 ribu hektar yang ditetapkan KLHK sebagai hutan adat dari potensi seluas 23,2 juta hektar. Bukan tak mungkin lahan masyarakat adat, yang selama ini menjaga ekosistem hutan kita, makin rentan dikomersialisasi tanpa perlindungan hukum yang jelas.
Lagi-lagi, keuntungan ekonomi jadi prioritas. Sudah 15 tahun RUU Masyarakat Adat mandek, sementara Permen LHK No. 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan justru membuka peluang perdagangan karbon di kawasan hutan adat.
RUU Masyarakat Adat Kembali Masuk Prolegnas
Sejak diusulkan pertama kali pada 2009, RUU Masyarakat Adat sempat keluar-masuk Prolegnas beberapa kali. Tahun ini, RUU Masyarakat Adat kembali masuk dalam daftar Prolegnas prioritas. Namun, hingga saat ini, belum ada kejelasan nasibnya.
Padahal, jika RUU Masyarakat Adat sekarang sudah disahkan, Pasal 28 (1) dengan tegas menyatakan: “Masyarakat Adat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”. Tapi, nyatanya kebijakan justru lebih sering berpihak pada para pemilik modal.
Baca juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba
Lahan Hutan Masyarakat Adat dalam Lelang Pasar Karbon
Selama berabad-abad, sekitar 100 ribu masyarakat adat di Kepulauan Aru, Maluku telah menjaga 705.000 hektar hutan alam lewat kearifan lokal yang efektif melestarikan ekosistem. Pada 2023, aksi #SaveAru pecah akibat penolakan terhadap izin PBPH proyek perdagangan karbon ‘Cendrawasih Aru Project’ seluas 191.955 hektar oleh PT Melchor Group Indonesia (MGI).
Pada Benua Indonesia, Muhammad Arman, perwakilan AMAN mengatakan bahwa perdagangan karbon adalah bentuk kolonialisasi modern, di mana lahan hutan masyarakat adat dikomodifikasi dan diprivatisasi menjadi unit jualan di pasar keuangan. Raja Juli membela proyek perdagangan karbon dengan skema Afforestation, Reforestation, and Revegetation (ARR), meski studi “The Trouble with Trees: Afforestation Plans for Africa” oleh Bond et al. (2019) menunjukkan aforestasi bisa merusak ekosistem dan melepas karbon dari tanah. Pola pikir serupa di PSN sebesar IKN malah menciptakan sarang nyamuk malaria.
NTT Dikepung Konsesi, Negara Ada di Pihak Siapa?
Pada 2022, Magdalene meliput kegiatan Sabana Sumba, sebuah komunitas solidaritas di Sumba Timur, NTT yang memperjuangkan tanah masyarakat adat Marapu dari konsesi lahan dengan PT. Muria Sumba Manis (MSM). Menurut WALHI NTT, pada 2015, Bupati Sumba Timur, Gideon Mbilijora, mengizinkan PT MSM membuka 52 ribu hektar lahan perkebunan tebu di atas 6 desa. Namun, sejak beroperasi pada 2017, PT MSM diduga tidak memiliki AMDAL dan telah menggusur hutan primer, hutan tutupan, serta lahan pertanian milik masyarakat adat.
Rambu Dai Mami, Ketua Sabana Sumba, mengatakan praktik agama Marapu terganggu sejak situs ritual adat Kabihu Mbarapapa dirusak. Hutan Lai Ruaka dan Bulla, sumber bahan baku pembangunan rumah adat serta pewarna alami kain tenun Sumba, juga terdampak.
Meski telah melapor ke Kemendikbud dan KLHK, tanggapannya hanya berupa rekomendasi mediasi, sementara PT MSM tetap beraktivitas seperti biasa. “[Ketiadaan UU Masyarakat Adat] yang mengakibatkan kami tidak punya pijakan untuk menunjukkan eksistensi,” ungkap Rambu Dai Mami.
Pada Februari 2025, WALHI NTT mengajukan laporan terhadap 6 kasus kejahatan lingkungan di NTT, termasuk aktivitas PT MSM, kepada Kejaksaan Agung. Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanamahu Paranggi, menyebut NTT tengah dikepung 309 IUP minerba, industri pariwisata, monokultur, food estate, serta beberapa PSN.
Pengakuan atas hak-hak masyarakat adat pun belum tercapai sejak berdirinya Sabana Sumba pada 2018.
“Air sekarang semakin jauh, Kak. Ratusan hektar hutan mereka babat,” jelas Rambu Dai Mami pada Magdalene.
Ia khawatir perusahaan akan terus berupaya merebut lahan itu karena PT MSM sudah terlanjur membayar ‘uang tanah’ ke beberapa kepala desa dan tokoh masyarakat.
Baca juga: Nasib Masyarakat Adat di Indonesia: Terabaikan, Termarginalisasi, Tak Dilindungi
Awas! Bahaya Militerisasi Hutan
CATAHU AMAN 2023 mencatat, 247 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi, 204 korban luka, 1 tewas tertembak, dan lebih dari 100 masyarakat adat kehilangan tempat tinggal karena perampasan wilayah adat atas nama investasi.
Meski sudah banyak korban jiwa, Prabowo malah menerbitkan Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang melibatkan TNI dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sama halnya kekhawatiran terhadap RUU TNI, keterlibatan TNI dalam penertiban kawasan hutan ditakutkan akan jadi power abuse, mengingat catatan buruk negara soal keberpihakan ke masyarakat adat.
Melihat langkah mulus proyek-proyek energi hijau dan tak dihiraukannya RUU Masyarakat Adat, sebetulnya kita sudah bisa melihat dengan jelas, di mana sebetulnya negara berpihak. Ini bukan lagi soal teknis legislasi. Firdaus Arifi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan, melihat bahwa, dari kursi eksekutif hingga legislatif, perlindungan hukum bagi masyarakat adat justru dipandang sebagai ancaman terhadap investasi.
Bagaimana RUU TNI yang tidak masuk Prolegnas bisa dirapatkan, sementara RUU Masyarakat Adat yang 15 tahun mandek dan masuk Prolegnas tidak kunjung jadi perhatian memperlihatkan bagaimana masyarakat tak dianggap penting dalam pengambilan kebijakan. Di negeri di mana negara berpihak pada korporasi pembabat hutan, mungkin perlindungan hukum buat masyarakat adat akan dilihat sebagai ancaman.
