Issues

Nasib Kelompok Rentan Makin Suram, RUU Penghapusan Diskriminasi Jadi Kunci

Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mendorong pemerintah membuat RUU Penghapusan Diskriminasi. Sebab, berbagai regulasi kini belum cukup memadai.

Avatar
  • September 6, 2023
  • 7 min read
  • 1007 Views
Nasib Kelompok Rentan Makin Suram, RUU Penghapusan Diskriminasi Jadi Kunci

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, isu LGBT semakin sering dipolitisasi. Penyebabnya, isu tersebut dianggap cukup seksi untuk menarik simpati para pembenci. Sayangnya, tindakan itu berdampak buruk pada kelompok queer, kata Ketua Sanggar Swara Kanzha Vina, dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN).

“Kemarin ada beberapa penolakan terhadap beberapa event yang diselenggarakan teman-teman (queer). Padahal itu diskusi untuk belajar mekanisme HAM, gimana (isu minoritas gender dan seksualitas) dipolitisasi dan di-blow up ke media, dengan konteks yang enggak sesuai,” tutur Vina dalam acara bertajuk “Urgensi Perlindungan Hukum untuk Menghapus Segala Bentuk Diskriminasi”, (25/8).

 

 

Pernyataan tersebut sejalan dengan temuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Arus Pelangi, sepanjang Januari dan Februari 2023. Salah satu temuan menyebut, media banyak menggunakan diksi yang mengandung stigma—seperti LGBT adalah perilaku menyimpang, dilarang agama, dan melanggar norma sosial atau budaya. Pemberitaan tersebut semakin memperlihatkan politisasi identitas, yang juga memperburuk kondisi kelompok LGBT.

Membicarakan politik identitas, salah satu yang belakangan ini terjadi adalah pengesahan aturan diskriminatif terhadap LGBT, oleh pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 47 Tahun 2023. Aturan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perbuatan Maksiat itu, mengategorikan LGBT dan pedofilia sebagai perilaku maksiat.

Menurut Bupati Garut Rudy Gunawan, aturan dikeluarkan sebagai respons atas 26 kasus sodomi, yang ditangani Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Garut pada Mei silam.

Rudy kemudian mengaitkan homoseksual dengan kasus sodomi, dan menyebut Perbup yang dibuat sebagai pencegahan “perilaku menyimpang”—sekaligus peningkatan kasus HIV, pelecehan seksual, dan keberadaan grup Facebook komunitas homoseksual. Bahkan menganggap Perbup tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat, lantaran LGBT bertentangan dengan hukum agama.

Perilaku Rudy bukan pertama kali aktor politik mendiskriminasi LGBT. Pada Januari lalu, Wali Kota Medan Bobby Nasution mengumumkan, Medan anti-LGBT. Sementara, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto lebih dulu mengeluarkan aturan diskriminatif, dalam Perda Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyimpangan Seksual (P4S).

Yang enggak dilihat, politisasi identitas yang diskriminatif itu memperluas informasi keliru, serta mempertebal kebencian dan penolakan terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas.

Namun, mereka bukan satu-satunya kelompok rentan yang mengalami diskriminasi. Ada perempuan, kelompok disabilitas, minoritas agama, serta orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Berdasarkan Global Inclusiveness Index 2022, Indonesia menempati posisi 103 dari 136 negara—sebelumnya berada di peringkat ke-96 pada 2021. Artinya, terjadi peningkatan diskriminasi yang sebenarnya memerlukan payung hukum, untuk melindungi kelompok rentan.

Namun, bagaimana realitasnya?

Baca Juga: Disabilitas Di Indonesia dan Stigma Yang Menghambat

Minimnya Implementasi Kebijakan Non-Diskriminatif

Dalam Pasal 28 huruf I Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, disebutkan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun”. Ini menunjukkan, Indonesia punya payung hukum yang melindungi masyarakat dari tindakan diskriminatif. Namun, praktiknya belum sejalan dengan aturan yang ditetapkan.

Hal itu dinyatakan oleh Koordinator Submisi Pemajuan HAM dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah. Menurut Anis, Indonesia punya kebijakan yang maju terkait HAM. Yang diperlukan adalah komitmen pemerintah, untuk memastikan bahwa UUD telah menjamin setiap orang di Indonesia, punya hak yang sama dalam pemenuhan HAM.

“Sebenarnya masalahnya itu enggak banyak di aspek regulasi, tapi di cara pandang, komitmen, perspektif, dan paradigma masyarakat. Jadi itu yang harus diperkuat,” terang Anis.

Selain UUD, Indonesia punya sejumlah perlindungan hukum yang mengatur tindakan diskriminatif. Di antaranya Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Sepakat dengan Anis, Gina, 38—perempuan yang terinfeksi HIV dan mengalami toksoplasma, melihat pelaksanaan UU yang ada belum optimal. Terutama UU Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebagai penyandang disabilitas fisik, Gina menilai pemerintah tidak melibatkan penyandang disabilitas, dalam penyusunan anggaran.

“Di UU tertulis, disabilitas setara dengan non-disabilitas. Bedanya kami butuh aksesibilitas (untuk mewujudkan kesamaan kesempatan),” kata Gina. “Tapi pas (pemerintah) nyusun anggaran, mereka enggak melibatkan kami. Memang (pemerintah) tahu kami butuh apa aja?”

Dari obrolan bersama komunitasnya, Gina menceritakan dampak dari nihilnya upaya pemerintah melibatkan penyandang disabilitas saat membuat kebijakan. Salah satunya saat penyaluran bantuan. Sebagian penyandang disabilitas yang dikategorikan mampu justru menerimanya—bukan yang sebenarnya memerlukan bantuan.

Sementara perihal aksesibilitas, Gina juga menggarisbawahi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang belum ramah disabilitas—kebanyakan di area Sudirman dan Thamrin, Jakarta Pusat. Hal ini menjadi salah satu keterbatasan bagi Gina dari segi fasilitas publik, meskipun dirinya masih mampu mengakses Transjakarta.

Baca Juga: Diskriminasi LGBT di Dunia Kerja: Tidak Melela Pun Dicerca

Di samping itu, Gina mengaku cukup kesulitan mengakses kesempatan kerja. Sebab, kebanyakan pemberi kerja membutuhkan karyawan yang punya mobilitas tinggi termasuk di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tempat Gina pernah bekerja.

Pengalaman Gina tercatat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022. Dari 17 juta penyandang disabilitas yang masuk usia produktif, hanya 7,6 juta orang yang bekerja. Artinya, penyandang disabilitas masih menghadapi tantangan untuk bekerja, terutama di sektor formal.

Faktor yang melatarbelakangi pun beragam: Buruknya kualitas data statistik penyandang disabilitas, kurangnya pendidikan yang menyiapkan penyandang disabilitas bekerja di sektor formal, serta persyaratan dan proses rekrutmen yang ableist–diskriminasi dan prasangka terhadap penyandang disabilitas.

Alasan itu juga yang menghalangi Gina untuk mendapatkan pekerjaan formal. Bahkan, ketika dua kali bergabung di LSM, ibu tiga anak itu merasa terbatas untuk mengejar target yang didukung oleh pendanaan dari donor. Tugas Gina mengajak ODHA yang putus ARV, untuk kembali mengonsumsi obat. Gina juga pernah mengedukasi dan mendampingi pengguna narkotika jarum suntik.

Namun, pekerjaan Gina di LSM enggak berlangsung lama. Salah satunya karena perlu orang yang bekerja dengan efektif dan efisien. Sedangkan Gina membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan pekerjaan.

Dari situ, ia berjualan minuman kekinian di dekat rumah. Sayangnya hanya bertahan sebulan, karena kondisi fisiknya enggak memungkinkan untuk jualan sendirian. Sampai akhirnya Gina bertemu komunitas yang tepat, dan dapat kembali menyambung hidup. Sambil bekerja lepas dilembaga survei untuk menambah pemasukan, Gina menjadi volunteer di sebuah yayasan, untuk mengedukasi tentang HIV/AIDS dan obat-obat yang dikonsumsi.

Cerita Gina mewakili diskriminasi berlapis yang masih dialami kelompok rentan. Dalam konferensi pers yang sama, Jihan Faatihah dari Perempuan Mahardhika menuturkan, diskriminasi yang terjadi juga disebabkan oleh ketidakpahaman masyarakat tentang diskriminasi dan dampaknya.

Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi?

Baca Juga: Melawan Rasa Takut dari Kebodohan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA

Dorong Pemerintah Menghapus Segala Bentuk Diskriminasi

Vina melihat, sejauh ini perlindungan hukum terhadap kelompok rentan masih terbatas. Dari perspektif Komnas HAM misalnya, yang termasuk kelompok rentan adalah perempuan, disabilitas, anak, dan masyarakat adat. Namun belum mengakomodasi kelompok lain, seperti ODHA dan LGBT.

Di sisi lain, kelompok rentan dihadapkan dengan kebijakan diskriminatif—seperti Perda yang dikeluarkan oleh Bupati Garut Rudy Gunawan dan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto. Maka itu, Vina menekankan perlunya payung hukum komprehensif, yang melindungi setiap orang terlepas dari identitasnya. Pun aturan tersebut juga dapat memberikan sanksi ke pelaku.

“Pelaku itu muncul dari tindakan maupun kebijakan yang dibuat. Urgensi dalam RUU ini adalah hukuman bagi pelaku, terkhusus dari pejabat dan negara. Makanya kita perlu mendorong adanya RUU Penghapusan Diskriminasi,” ucap Vina.

Sependapat dengan Vina, Jihan melihat RUU Penghapusan Diskriminasi akan menjelaskan secara tegas, mengenai perilaku diskriminatif. Seperti penyebab orang dibedakan, dirugikan, hingga kehilangan pekerjaan—yang dibutuhkan setiap orang untuk menopang ekonomi dan bertahan hidup.

“RUU ini bisa jadi pembelajaran bagi masyarakat, yang cara pandangnya masih biner, belum punya perspektif gender, disabilitas, dan ODHA,” imbuh Jihan.

Meski demikian, Anis menyatakan yang diperlukan adalah memperkuat komitmen dan paradigma masyarakat, dari regulasi yang ada. Yakni lewat pendidikan formal, informal, dan diseminasi HAM.

“Itu kan perlu (keterlibatan) banyak pihak sesuai kapasitasnya masing-masing, untuk bekerja dengan sinergis agar praktik diskriminasi bisa berkurang. Terutama yang dialami kelompok rentan,” jelas Anis. “Misalnya peran organisasi masyarakat sipil untuk advokasi, memantau, dan mendorong pemerintah supaya melaksanakan kewajiban. Lalu DPR bisa mengawasi kinerja pemerintah dalam semua aspek.”

Sementara dalam rilis yang diterima Magdalene, KAIN menyebutkan sejumlah desakan bagi pemerintah untuk menghapus segala bentuk diskriminasi. Di antaranya:

Pertama, menghentikan segala bentuk ucapan, tindakan, praktik, dan kebijakan yang menciptakan, serta melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok rentan di Indonesia.

Kedua, menguatkan perlindungan terhadap kelompok rentan, dengan tujuan perlindungan dan penikmatan HAM secara penuh dan setara—tanpa diskriminasi atas dasar apa pun.

Ketiga, mendukung aspirasi dan inisiatif dari berbagai lapisan kelompok masyarakat sipil, terkait penegakan prinsip-prinsip anti diskriminasi dan perlindungan HAM bagi setiap warga negara—khususnya kelompok yang rentan mengalami diskriminasi.

Keempat, membentuk undang-undang penghapusan segala bentuk diskriminasi yang komprehensif, untuk pengakuan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak-hak korban diskriminasi.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.