People We Love

Sakdiyah Ma’ruf dan Bagaimana Melawan Candaan Seksis

Komika Sakdiyah Ma’ruf berbicara bagaimana budaya patriarki melanggengkan humor seksis dan bagaimana cara melawannya.

Avatar
  • January 21, 2021
  • 13 min read
  • 1461 Views
Sakdiyah Ma’ruf dan Bagaimana Melawan Candaan Seksis

Stand-up comedian Sakdiyah Ma’ruf mengingat bagaimana seorang pejabat publik dengan santainya melontarkan sexist joke alias humor atau lelucon seksis kepada seorang tamu, perempuan pemimpin organisasi berusia 50an.

“Dia bilang, ‘Waduh, Ibu masih kelihatan muda banget. Saya kira sudah turun mesin.’ Menurut dia, menghadapi seorang yang senior itu penting untuk memuji kecantikannya. Dianggapnya kalau dipuji cantik, ibu itu jadi percaya diri,” kata komika itu dalam siaran Instagram Live Bisik Kamis” bersama Magdalene (7/1).

 

 

“Turun mesin lagi bahasanya. Turun mesin itu kan asosiasinya sudah sangat terkait  dengan fungsi-fungsi reproduksi. Dianggapnya perempuan kalau dipuji muda, memakai humor adalah pembuka percakapan yang baik.”

Humor memainkan peran yang begitu besar dalam keseharian kita. Sayangnya, kebiasaan melontarkan humor berbau seks dan peran gender yang merendahkan perempuan masih langgeng di tengah masyarakat Indonesia yang patriarkal.

Menurut Sakdiyah, humor seksis menjadi tetap langgeng bukan hanya karena dianggap sebagai bagian dari komunikasi dalam keseharian, tapi juga karena berpadu dengan mindset sebagian besar masyarakat yang patriarkal. Ditambah lagi, masyarakat selalu memberikan tuntutan dan standar pada perempuan untuk tidak bersikap agresif atau melawan, ujarnya.

Akibatnya, ketika perempuan selalu berada dalam posisi serba salah untuk diam atau menegur ketika menjadi objek humor seksis, atau menyaksikan humor seksis itu berlangsung pada orang lain, kata Sakdiyah.

Sakdiyah mengatakan kita harus berbuat sesuatu untuk melawan dominasi lelucon seksis ini. Bagaimana caranya? Simak cuplikan perbincangan antara Sakdiyah dan Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani, berikut ini. Obrolan selengkapnya, yang penuh tawa tapi juga sangat serius, bisa dilihat di akun Instagram Magdalene.

Magdalene: Sakdiyah dikenal karena humornya yang sering membahas soal Islam dan ekstremisme agama di Indonesia. Dan, skripsinya enggak tanggung-tanggung, tentang Stand Up Comedy. Itu bener enggak?

Iya. Sarjana saya S1 itu dari Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret, sebenarnya penelitiannya tentang The Changing Values of Womenhood. Waktu itu saya mengambil subjek Sex and The City. Kemudian S2 saya di Kajian Amerika Universitas Gadjah Mada, tesisnya judulnya “Komedi Jihad”, tentang kemunculan stand up comedian muslim dan Timur Tengah pasca 9/11. 

Sebenarnya apa sih sexist jokes itu menurut Sakdiyah? Apa yang membuat satu joke itu menjadi seksis?

Pertama-tama dan yang utama, yang namanya humor itu is always, always always about power relation. Selalu. Kenapa demikian? Karena dalam setiap humor, itu pasti ada objek humor. Pasti ada butt of the jokes. Pasti ada yang “dikorbankan”. Kecuali humor pelesetan, misalnya, yang memang murni permainan kata-kata. Tetapi selebihnya, yang namanya humor selalu berkaitan dengan relasi kuasa. Kalau berkaitan dengan relasi kuasa, itu kan berarti sudah sangat jelas.

Contoh yang paling sederhana, yang sering digunakan untuk menerangkan humor ini adalah orang terpeleset kulit pisang. Itu klasik. Di semua naskah akademik dan non-akademik tentang humor, itu pasti ada. Pisang itu memang icon comedy.

Misalnya begini, kita bayangkan anak kecil nakal terpeleset kulit pisang. Kita ketawa, fine, dan bilang “rasain.” Tapi kita bayangkan, misalnya, disabilitas netra terpeleset kulit pisang. Terus kita bilang, “Bapak matanya dipake dong.” Ketika orang lain yang bilang, itu jelas olok-olok. Tapi kalau diceritakan oleh si penyandang disabilitas itu sendiri, “Aku kepeleset kemarin, masa ada orang yang bilang matanya enggak dipake sih. Ya, saya tantang balik, kamu itu yang matanya enggak dipake. Orang udah tahu enggak bisa ngeliat kok dibilang matanya enggak dipake?” Itu menjadi empowering, karena yang menjadi objek humor seketika bergeser. Tadinya si penyandang disabilitas netra itu yang diolok-olok oleh random people, kemudian menjadi berbalik.

Nah, random people ini menggambarkan posisi orang yang berkuasa. Kalau kita bayangkan nih lagi rame-rame di Amerika, misalnya Donald Trump kepeleset kulit pisang. Itulah kenapa George Orwell bilang bahwa you can never be memorably funny until you offend the powerful and the complacent. Kamu tidak akan pernah bisa sangat lucu kalau kamu tidak mengusik mereka yang berkuasa atau dalam posisi nyaman, berprivilese.

George Orwell bilang bahwa you can never be memorably funny until you offend the powerful and the complacent. Kamu tidak akan pernah bisa sangat lucu kalau kamu tidak mengusik mereka yang berkuasa atau dalam posisi nyaman, berprivilese.

Selebihnya ya kemudian menjadi  tidak lucu meskipun memenuhi kaidah humor secara teoretis. Dari penjelasan itu saja, saya kira teman-teman sudah bisa menyimpulkan yang namanya sexist jokes adalah humor-humor yang memosisikan perempuan dan minoritas gender lainnya sebagai yang posisinya termarginalisasi di masyarakat menjadi butt of the jokes, sasaran humor. Dan yang lebih bermasalah lagi sesungguhnya karena sering kali sifat humor itu kan tersamar.

Saya ingin memberikan dua contoh yang sama-sama seksis. Saya itu kan SD-nya di madrasah dan (muridnya) perempuan semua, meskipun tidak di asrama. Waktu SMP, saya masuk sekolah negeri, dan karena pada saat itu Orde Baru tidak boleh pakai jilbab, jadi tidak pakai jilbab, bajunya tangan pendek.

Ada teman laki-laki saya mendekati, “Sakdiyah main yuk!” Saya yang anak baru lulus SD, kemudian bilang, “Ayo, main apa? Petak umpet?” Terus si teman  ini bilang, “Hah, kamu masa enggak ngerti? Orang yang bulunya banyak kan nafsunya gede.” Katanya begitu, masa enggak ngerti main apa? Buat saya tuh sepanjang kelas 1 SMP masih sekelas sama anak tersebut, traumatis. Prestasi turun, enggak berani berangkat ke sekolah, dan sebagainya.

Tapi yang sangat membuat saya sedih adalah waktu kuliah. Waktu itu lagi wudu. Wudu loh, ya Allah. Tempat wudunya enggak dipisah laki-laki perempuan. Eh, teman saya yang laki-laki bilang, “Wih, bulunya banyak nafsunya gede!”

Akhirnya posisinya kayak cerita disabilitas netra itu tadi. Saya yang harusnya bilang, “Kamu kali nafsunya gede. Lihat bulu aja mikirnya nafsu.”

Itu contoh yang pertama, yang sangat vulgar, frontal menyasar tubuh perempuan. Tapi ada yang lain, yang awal-awal saya pas dengarnya juga tertawa. Apalagi komediannya tuh menyampaikannya dengan lucu sekali. Karena comedy kan about delivery juga ya.

Komedinya begini, “Istri saya pinter banget cari duit. Di mana pun saya simpan, pasti (dia) nemu.” Itu lucu, kan? Lucu karena dia memenuhi kaidah humor, dan menggunakan teknik yang namanya makna ganda. Makna ganda dari cari. Cari duit, bekerja, dan cari duit buka laci, buka kantong, kayak gitu. Punchline-nya udah memenuhi banget. Saya ngakak.

Baca juga: Stop Jadikan Humor Seksis Wajar

Tetapi kemudian yang membuat saya sadar, makin direnung-renungkan, jadi mirip kayak kalau kita berbincang soal RUU PKS di media sosial misalnya. Salah satu yang paling kontroversial itu marital rape kan, kontroversial dan disetujui banyak orang. Banyak yang bilang there’s no such thing as rape in marriage. Saya ingat ada satu twit yang cukup viral, yang menyebutkan, “Loh, kalau suami minta dilayani istri dibilang pemerkosaan, berarti istri minta duit suami perampokan, dong?”

Itu kan sesat pikir. Tapi narasi tersebut diulang, diulang, dan dilegitimasi. Yang membuat saya jadi ingat sama si ibu-ibu yang nyari duit si suami ini. Nyari di tempat-tempat yang diumpetin. Nyuri dong. Perempuan kemudian diposisikan—ini bukan saya tidak punya sense of humor ya. Asli lucu banget.

Tapi kita lihat lebih jernih. Istri saya pinter cari duit. Seolah-olah si komedian laki-laki mau bilang kalau istri saya pinter cari duit, bangga sama istrinya. Kemudian istri yang tadinya  di pikiran penonton itu adalah orang yang membanggakan, mandiri, dipukul sebagai butt of the joke, sebagai orang yang morotin suami. Dan dalam narasi yang lebih besar, seolah mengesahkan rape di dalam pernikahan karena saya juga udah memberikan seluruh uang harta benda saya sama kamu. Kamu juga ngerogoh-ngerogoh ke laci saya, kantong-kantong saya untuk cari duit saya. So, saatnya saya membalas. 

Lelucon dengan Narasi Negatif tentang Perempuan

Sebenarnya cukup kompleks juga ya. Ada jokes yang sudah jelas sangat seksis. Tapi ada juga jokes yang terdengar lucu, tapi melanggengkan kekerasan dan narasi-narasi negatif tentang perempuan. 

Iya, benar sekali. Makanya yang namanya humor itu subtle. Saya sendiri merasa tidak ada masalah awalnya dengan joke istri cari duit itu. Sesungguhnya sekarang pun kalau kita mau bilang it’s not a big deal, then it’s not a big deal. Tapi kemudian ketika narasi lapis berikut yang diproduksi oleh komedian itu adalah bahwa perempuan yang menuntut uang dari suami sama dengan perampokan, memang akhirnya konstruksinya seperti itu bahwa perempuan bukan equal partners tapi liabilities, beban dan sebagainya.

Subtext-nya akhirnya bisa berlapis sekali itu. Makanya humor itu sangat kompleks dan tagline-nya itu “Comedy, handle with care”. Handle with care tanpa terjebak ke self-censorship. Karena subtext-nya itu bisa berlapis sekali. Kenapa berlapis, karena untuk menyampaikan gagasan yang sangat besar di disiplin penulisan kita sebagai komedian ya, untuk menyampaikannya kadang dipaksa untuk bikin tiga-empat kalimat saja untuk menyampaikan itu.

Jadinya mainnya di simbol, metafora, analogi, pakai alat-alat atau perangkat bahasa yang demikian untuk menuju ke tujuan menyampaikan humor dengan saksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Memang iya, karena teorinya memang begitu. Maksudnya, enggak bisa kan komedian pidato panjang-panjang. Satu menit aja harus dihitung. 

Kalau kita ngomong di tingkat keseharian, sering kali muncul di obrolan di medsos lah, di kantor. Kenapa sering kali itu tidak se-subtle yang Diyah bilang? Sering kali kita menolerir itu. Masih saja untuk bilang itu seksisme, kita harus ngerem diri sendiri, jadi memaklumi.

Humor sudah terlanjur menjadi sarana pergaulan. Sarana membuka. Karena fungsi humor salah satunya untuk meredakan ketegangan, sehingga banyak digunakan untuk membuka percakapan, mencairkan suasana. Bagaimanapun juga  setiap hari kita berpraktik humor misalnya saling mengirimkan meme receh di tengah pandemi ini, atau misalnya celetuk apa di luar konteks humor seksis, humor memang sudah menjadi kebiasaan kita menggunakannya untuk mencairkan suasana.

Dari zaman sekolah dulu yang namanya class clown itu sudah jadi hal yang seru di luar apa yang dia sampaikan. Kemudian orang yang baru pertama kali bertemu karena gugup kadang-kadang suka menyampaikan humor, kadang-kadang kita berkenalan dengan tempat asal. “Oh Bekasi, ke sini pakai paspor enggak?”, misalnya. Itu kan yang menjadi sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.

Baca juga: Guyonan Seksual, Pisau Bermata Dua

Kebiasaan tersebut digabungkan dengan cara pandang patriarkal yang mengobjektifikasi perempuan, membuat sexist humor itu menjadi dianggap wajar, normal. Hal lain yang mendukung lestarinya humor ini, karena perempuan diposisikan untuk tidak melawan. Hampir semua perempuan, saya pun, kadang-kadang kalau diposisikan dalam posisi demikian, apalagi saya punya profesi lain sebagai interpreter, tidak punya banyak hak untuk intervensi di dalam percakapan. Kita tidak nyaman, tapi reaksi pertama, kalaupun nantinya akan melawan, ya hanya tertawa, lalu sudah.

Kita ini ada budaya masyarakat giggling. Refleksnya, “Ehehehe, jangan begitu ah, Pak.” Dianggapnya oke mendapat komentar yang demikian.

(Kalau saya) nyautnya gini kalau di grup WhatsApp, ” Ini seksis nih joke-nya.” Tapi ditaruh emoji senyum untuk menunjukkan ya okay I’m still kind of cool, tapi gue enggak suka. 

Kalau perempuan tuh ya, selalu diposisikan untuk tidak come across as agressive as demanding, as threatening. Magdalene juga ya ada pemimpin perempuan. Itu kalau pimpinan laki-laki, “Mbak, tolong e-mail-nya dicek.” Tapi kalau perempuan punya bawahan laki-laki, “Mas, tolong e-mail-nya dicek.” Itu pakai (emoji) smiley, supaya tidak come across as threatening.” 

Atau (di pesannya diimbuhkan) “Hehe”.

Iya, “Hehe, Mas, tolong emailnya dicek.” Padahal itu yang, Ya Allah, itu dari client harus segera dibalas, itu sekretarismu ke mana?  Padahal kalau bapak-bapak tidak merasa ada kewajiban untuk seperti itu saya rasa. 

Ini juga balik lagi ke ekspektasi masyarakat terhadap perempuan bahwa harus seperti ini-itu, ya. Dan humor juga dianggap sebagai pelepas tension atau ketegangan. Jadi kalau kita yang mengintervensi itu, kita yang tegang. 

Iya, (dianggapnya) kita ini tegang, angry feminist tidak punya sense of humor. Apa lah. 

Lelucon Seksis dan Budaya Pemerkosaan Berhubungan

Sering diangkat di beberapa studi bahwa sexist jokes dengan budaya pemerkosaan itu berhubungan. Apa pemahamanmu tentang rape culture dan bagaimana itu berhubungan dengan sexist jokes dan bagaimana kita menolerirnya?

Saya sendiri juga masih harus banyak belajar tentang rape culture ini. Tapi yang saya pahami, rape culture ini adalah sebuah kondisi di mana pemerkosaan dan turunannya berbagai bentuk kekerasan seksual, dinormalisasi terutama di media dan budaya populer karena masyarakat tersebut memang melestarikan relasi gender yang timpang.

Kalau kita bicara soal kekerasan seksual segala bentuknya, dari yang sifatnya pelecehan sampai pemerkosaan atau pembunuhan terhadap perempuan, kemudian media juga berkontribusi, masyarakat juga berkontribusi, orang-orang yang menganggap bahwa ini sederhana banget.

Saya kira orang-orang yang menganggap bahwa ngomongin ukuran payudara perempuan secara terbuka sebagai guyonan itu oke, yang menganggap seperti itu. Atau di beberapa daerah ada beberapa guyonan, yang bilang ada mitos bahwa perempuan enggak boleh terlalu cerewet, speak up, tertawa terbahak-bahak. Karena kalau bibirnya lebar berarti vaginanya lebar. Itu banyak deh dalam berbagai bentuknya. Saya melihat bahwa berdasarkan pengalaman saya waktu SMP, orang seperti itu akan menolerir nyolek.

Kadang nyolek tangan, ngelus, kadang-kadang sentuhan-sentuhan yang tidak diundang karena kolega, ngerangkul. Tadinya cuma nyolek, tadinya cuma ngerangkul, lama-lama nyolek pantat, yang seperti itulah yang dianggap bahwa betapa sexist jokes dan rape culture itu berhubungan. Normalisasi pelecehan seksual yang bentuk paling awalnya, sebelum ke arah pemerkosaan. Karena juga verbal remark seperti itu kan termasuk pelecehan seksual, enggak cuma harus sudah nyolek baru dibilang pelecehan.

Baca juga: Komika Ali Wong Angkat Isu Tabu Perempuan

Buktinya apa? Buktinya, ketika pun kasusnya sudah sampai pemerkosaan, apa sih yang kontroversial dari pemerkosaan? Enggak ada. Pemerkosaan ya pemerkosaan, titik, dihukum seberat-beratnya. Apa yang perlu dikontroversikan? Tapi ada saja yang kemudian dikontroversikan. Kita semua tahu misalnya kasus Agni di UGM. Tapi terus kontroversinya, mereka pacaran kok, suka sama suka, baju perempuannya.

Ya Allah, baju (dipermasalahkan) tuh udah enggak heran. Saya tuh pernah di panggung menyampaikan, kalau Anda bermasalah banget sama baju, tolong bergaulnya di forum-forum wisuda saja. Aman tuh, pakai toga semua. bajunya gombrang semua. Kalau mau berpihak pada pelaku, mereka kan craving untuk appreciation. Anda minta dilindungi matanya? Silakan selalu hadir di wisuda.

Dalam merespons humor seksis, salah satu cara yang enak adalah tidak merespons dengan giggling atau emoji. Karena giggle itu agreement loh. Dalam humor, yang namanya tertawa itu berarti ikut senang dan menikmati. Tidak tertawa, itu saja merupakan perlawanan.

Kita sudah tahu nih bahwa lelucon itu seksis, tapi kita enggak mau jadi perusak suasana, misalnya. Atau dianggap yang tadi itu, feminis enggak punya rasa humor. Bagaimana melawan lelucon seksis tanpa dianggap menggurui atau jadi backlash ke kita?

Kalau menurut saya, salah satu cara yang enak, nomor satu adalah tidak merespons dengan giggling atau emoji. Karena giggle itu agreement loh. Karena kalau consent itu bilang iya, nah di humor, yang namanya tertawa itu berarti ikut senang dan menikmati, walaupun tidak pakai kata-kata. Kita sebisa mungkin mengurangi giggling, karena giggling itu kadang-kadang menunjukkan posisi yang inferior, minder. Tidak tertawa, itu saja merupakan perlawanan.

Nomor dua, Anda bisa leave the room, that’s your right. Nomor tiga, saya rasa yang paling baik…karena sayang sekali kalau ini dianggap normal, artinya orang yang menyampaikan itu bisa jadi enggak sadar atau belum sadar sehingga kalau kita langsung melancarkan serangan balik, ya itu tadi: Angry feminist, you’re not fun.

Yang bisa dilakukan adalah berbicara baik-baik. Pada saat perbincangan kita bisa menunjukkan tidak suka, meninggalkan perbincangan, tidak terlibat dalam diskusi, dan mengingatkan setelahnya. Kemudian hal yang lebih besar yang bisa dilakukan, bagaimana, terutama di tempat kerja, organisasi, perkumpulan, dan sebagainya, itu punya SOP melawan pelecehan seksual yang disetujui bersama, disosialisasikan



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *