Sehabis Main Catur
Sebuah cerita pendek yang mempertanyakan nilai-nilai heternormativitas.
“Aku suka sama kamu.”
“Aku juga suka sama kamu.”
“Ih, aku serius!”
“Tapi, kamu kan cowok?”
“Ya, memangnya kenapa?”
“LGBT, dong?”
“Cowok suka sama cowok itu G doang, Gay, masa diborong semua. Kenapa memangnya?”
“Aku enggak bisa. Aku N.”
“N?”
“Normal.”
“Apa sih, yang nggak normal dari mencintai seseorang?”
“Cinta itu harus berpasangan. Cowok ya sama cewek. Enggak bisa cowok dua-duanya, dong.”
“Kata siapa enggak bisa?”
“Ya enggak bisa, lah. Cowok sama cowok bisa apa? Memangnya mau adu pedang?”
“Enggak kreatif amat. Cowok kan juga punya lubang.”
“Tapi cowok dadanya datar, enggak enak dipegang.”
“Oh, jadi ini masalahnya hanya di bentuk badan? Kamu enggak bisa suka sama aku karena aku enggak punya susu dan vagina?”
“Salah satunya, ya.”
“Kamu sepertinya masih belum bisa bedain cinta sama nafsu.”
“Haha. Memangnya ada yang bisa? Enggak usah sok suci. Apa kamu bisa suka sama cowok yang ternyata enggak bisa ereksi?”
“Apa aku pernah mengecek penismu bisa ereksi atau enggak? Toh nyatanya aku tetap suka.”
“Ngaku deh, kamu pernah kan membayangkan kita berdua bersama di kamar, saling melampiaskan hasrat seksual?”
“Ya pernahlah. Tapi isi pikiranku bukan hanya soal itu. Aku malah lebih suka membayangkan kita main catur di taman sambil menunggu matahari terbenam. Lagi pula jika kamu ternyata memang tak bisa ereksi, kamu tak usah khawatir, aku bisa urus diriku sendiri.”
“Enak saja! Aku masih sehat lahir batin. Masalahnya, aku cuma bisa sama perempuan, bukan sama laki-laki kayak kamu.”
“Yakin? Kan belum pernah coba.”
“Memangnya kamu pernah coba sama perempuan?”
“Pernah.”
“Bohong.”
“Enggak perlu tanya kalau enggak akan percaya.”
“Terus rasanya gimana?”
“Kok nanya? Memangnya kamu enggak tahu? Jangan-jangan kamu masih perjaka.”
“Ya enggak, lah. Tapi tadi kan kamu bilang kamu gay.”
“Aku sekarang suka sama kamu yang kebetulan adalah laki-laki, aku pernah suka sama cewek juga.”
“Memangnya yang seperti itu bisa berubah-ubah? Dulu normal sekarang gay, terus normal lagi?”
“Cowok suka sama cewek itu istilahnya heteroseksual, straight, bukan normal.”
“Tapi itu kenyataannya, yang normal itu ya cowok suka sama cewek, bukan LGBT.”
“Bukan normal, tapi dianggap normal. Sesuatu yang dianggap normal belum tentu betulan normal. Menurutku, yang kayak gini tuh tak sepantasnya dilabeli dengan normal atau tidak normal, semuanya natural.”
“Ya sudah, terserah. Kamu belum jawab pertanyaanku.”
“Yang mana?”
“Orientasi seksual bisa diganti?”
“Aku percaya seksualitas itu cair.”
“Sejak kapan kamu berubah jadi gay?”
“Aku enggak berubah jadi gay. Dulu juga aku enggak pernah memutuskan untuk menjadi straight. Bedanya, dulu aku mencintai seorang perempuan. Perempuan itu pergi lalu aku ketemu kamu. Dan kemudian kamu membuat aku jatuh cinta. Maka sekarang aku mencintai kamu, yang kebetulan adalah seorang laki-laki.”
“Bilang saja AC/DC.”
“Aku bukan colokan listrik. Mungkin orang akan menyebut aku B, biseksual. Tapi aku tak percaya bahwa cinta dan orientasi seksual perlu dilabeli atau dibatasi dengan kriteria. Aku jatuh cinta bukan pada penis atau vagina. Aku jatuh cinta pada sifat dan kualitas diri yang melampaui batas feminin-maskulin. Ngerti, kan? Haha.”
“Ngerti lah. Tapi aku enggak percaya. Memangnya kamu bakal masih suka sama aku kalau aku sekarang berubah jadi perempuan? Dua telur di selangkanganku bakal hilang terus berubah jadi dua gundukan di dada. Kumis dan jambangku akan hilang, dan sebagai gantinya rambutku akan tumbuh panjang. Suaraku yang agak parau ini akan terdengar halus dan cempreng. Tanganku yang kekar berbulu bakal jadi halus dan kecil. Mau?”
“Mungkin aku akan berhenti mencintaimu jika kamu kehilangan selera humor dan berubah menjadi orang menyebalkan. Jika dengan tubuh perempuanmu itu kamu masih bisa membuatku tersenyum, menemaniku main catur, dan selalu punya cara untuk menertawakan hidup, aku bakal tetap suka sama kamu.”
“Kamu enggak tahu apa yang kamu omongin. Aku enggak yakin kamu bisa betulan bersikap seperti itu.”
“Itulah susahnya berandai-andai, enggak bisa dibuktikan. Aku lebih suka mengakui perasaanku saat ini. Aku suka kamu.”
“Aku sudah punya pacar.”
“Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?”
“Ya kita enggak bisa pacaran.”
“Kalau kamu jomlo berarti kita bisa pacaran?”
“Bisa aja.”
“Memangnya kamu suka sama aku?”
“Ya, aku suka.”
“Sejak kapan?”
“Barusan.”
“Yakin? Aku masih belum berubah jadi perempuan, loh. Dadaku masih rata dan lubangku masih ada di belakang.”
“Memang belum. Tapi barusan kamu berhasil membuatku suka.”
“Sayangnya kamu sudah punya pacar.”
“Iya, dan aku yakin kamu tak suka lelaki tukang selingkuh.”
“Benar. Aku juga tak mau jadi simpanan atau perusak hubungan orang.”
“Lalu kenapa tadi kamu bilang suka aku?”
“Lah, memangnya kenapa? Aku kan cuma bilang. Tujuan aku bilang itu supaya kamu tahu aku suka, bukan supaya perasaanku dibalas.”
“Apa enaknya suka sama orang tapi enggak bisa pacaran? Mending cari yang lain.”
“Aku enggak pernah sengaja cari kamu cuma supaya aku bisa jatuh cinta lalu berharap perasaanku dibalas, terus kita pacaran dan hidup bahagia selamanya. Bukan begitu kejadiannya. Kita bertemu, kenalan, ngobrol, main catur bareng, berinteraksi, kemudian baru aku suka. Dan rasa sukaku saat ini enggak akan berubah, entah kamu suka aku juga atau enggak. Kamu pun enggak perlu merasa dosa, toh yang wajib itu salat, bukan balas perasaan orang. Haha.”
“Emang kamu enggak patah hati?”
“Kamu ngarep aku patah hati gara-gara kamu?”
“Sedikit.”
“Aku patah hati.”
“Ya sudah. Berhenti suka sama aku. Bergaul sama orang lain, siapa tahu kamu ketemu orang yang bisa bikin kamu suka, dia juga sama kamu, dan belum punya pacar. Supaya kamu bahagia.”
“Kata siapa sekarang aku enggak bahagia?”
“Memangnya ada orang yang patah hati tapi bahagia?”
“Aku patah hati karena aku jatuh cinta. Dan mencintai seseorang itu rasanya menyenangkan sekali, sakit karena patah hati jadi enggak terlalu signifikan.”
“Kamu lagi berusaha bikin aku suka sama kamu, ya? Omonganmu gombal semua.”
“Bukannya tadi memang sudah suka?”
“Iya, tapi tadi sukanya sedikit, sekarang jadi banyak.”
“Ya sudah, aku pulang dulu. Jangan sampai kamu pergi dari pacar kamu gara-gara aku.”
“Besok ke sini lagi? Kita main catur lagi.”
“Oke, besok jam berapa pacarmu pulang?”
“Aku akan mengantarnya pulang jam delapan malam. Sehabis itu, kita bisa main catur semalaman.”
“Oke.”
“Aku suka kamu.”
“Hei, kamu sudah punya pacar.”
“Saling suka enggak perlu bikin kita terjebak dalam status pacaran, kan?”
“Tentu.”
Yoga Palwaguna adalah lelaki yang percaya bahwa tubuh manusia, lelaki-perempuan, adalah alat dan bukan bebat. Tinggal di lingkungan yang memuja heteronormativitas seringkali membuatnya lelah, maka dari itu ia gemar mencari hiburan dari oppa-oppa lucu nan menggemaskan.