Nama saya Maria Katarina Sumarsih. Kamu mungkin mengenal saya sebagai perempuan yang rutin berdiri di depan Istana Negara setiap Kamis. Orang-orang memang mengaitkan saya dengan Aksi Kamisan, yang beberapa tahun terakhir menjamur di banyak kota. Namun, sebenarnya saya hanya seorang ibu.
Anak saya, Bernardinus Realino Norma Irmawan namanya. Terakhir saya memeluknya di 1998, saat ia masih aktif jadi mahasiswa Ekonomi Akuntansi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Wawan cuma kuliah sampai semester 5 karena meninggal dunia dalam Tragedi Semanggi I, 13 November 1998. Hasil otopsi bilang, Wawan meninggal dunia karena ditembak dengan peluru tajam tentara di dada sebelah kiri, tepat di jantungnya. Wawan yang kebetulan jadi anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan, didor saat tengah menolong temannya.
Baca juga: 17 Tahun Aksi Kamisan: 4 Catatan Penting yang Harus Kamu Tahu
Wawan dan Aksi Kamisan
Sesaat sebelum kematian Wawan, Jakarta sedang panas-panasnya. Sekitar 1998-1999, pecah aksi massa di jalan-jalan, menuntut agar Presiden Soeharto yang otoriter, militeristik, dan korup turun. Para demonstran juga menyuarakan enam agenda Reformasi, yaitu: (1) Adili Soeharto dan kroni-kroninya, (2) Berantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (3) Tegakkan supremasi hukum, (4) Cabut Dwifungsi ABRI (TNI/Polri), (5) Laksanakan otonomi daerah seluas-luasnya, (6) Amandemen UUD 1945.
Untuk menghadapi demonstrasi yang semakin meluas, pemerintah mengerahkan TNI/Polri. Suasana makin tak karuan, begitu Soeharto dilantik jadi Presiden RI untuk keenam kalinya pada 10 Maret 1998. Suara-suara sumbang aktivis pro-demokrasi ditekan lewat intimidasi dan penculikan paksa pada 13 Maret. Di 12 Mei terjadi penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti. Pada 13-15 Mei terjadi pembakaran pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar dan terjadi perkosaan terhadap etnis Tionghoa. Pada 21 Mei, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden dan menunjuk Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya.
Pada 10-13 November 1998, pemerintahan Presiden BJ Habibie menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR RI. Namun, tentu saja rakyat tak bodoh, demikian juga mahasiswa. Sidang tersebut ditolak oleh massa karena disinyalir akan digunakan untuk konsolidasi kroni-kroni Soeharto dan untuk pengesahaan BJ Habibie menjadi Presiden RI.
Rakyat semakin rajin turun ke jalan. Sementara, negara yang kebakaran jenggot, tak cuma mengandalkan tentara tapi juga Pamswakarsa—masyarakat sipil yang dipersenjatai bambu runcing. Parade kekerasan tak terhindarkan, menewaskan tujuh mahasiswa, termasuk Wawan, anak saya.
Pada 1999, mahasiswa besama rakyat berdemonstrasi menolak disahkannya Rancangan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya, karena berpotensi melegalkan aparat melakukan kekerasan. Empat mahasiswa gugur pada 24 September 1999. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Tragedi Semanggi II”.
Orang tua yang anaknya dibunuh seperti kami, dan korban kekerasan politik Soeharto lainnya, ramai menuntut pertanggungjawaban negara. Saat itu Soeharto telah lengser dan memunculkan era baru perpolitikan, Reformasi 1998. Sebuah era yang menandai “Saatnya Korban Bicara”.
Pada 1999 terbentuk Paguyuban Korban/Keluarga Korban Tragedi 13-15 Mei 1998, Semanggi I – 13 November 1998, Semanggi II – 24 September 1999, dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Salah satu kegiatannya adalah mencari kebenaran. Terbitnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengarahkan perjuangan mencari keadilan. Namun, perjuangan untuk mencari kebenaran dan keadilan, terasa melelahkan sehingga paguyuban terpaksa bubar.
Pada 10 Desember 2004, saya dianugerahi Yap Thiam Hien Award. Penghargaan sebesar Rp25.000.000 untuk kegiatan korban/keluarga korban. Dengan difasilitasi oleh Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan Indonesia terbentuk Paguyuban Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Organisasi yang pernah menerbitkan buku berjudul “Saatnya Korban Bicara, Menatap Derap Merajut Langkah” dan “Buku Panduan Bahan Ajar Sejarah Berwawasan Hak Asasi Manusia Suplemen untuk Guru Sejarah”.
Dalam rapat JSKK pada 9 Januari 2007, disepakati untuk mengadakan kegiatan guna bertahan dalam perjuangan mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan, melawan lupa dan impunitas. Sebuah kegiatan berupa “Aksi Diam” sekali dalam seminggu menjadi pilihan bersama. Bahkan disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna, dan maskot sebagai simbol gerakan.
Pilihan jatuh di “Kamis”, hari di mana peserta rapat bisa meluangkan waktu. (Depan) “Istana Presiden” menjadi lokasi aksi karena ia merupakan simbol pusat kekuasaan. Waktu ditentukan pukul 16.00-17.00 (tepat), momen di mana lalu lintas di depan Istana Presiden ramai oleh kendaraan pulang bekerja. Payung dijadikan maskot dan lambang perlindungan. Warna hitam melambangkan keteguhan cinta kasih terhadap keluarga, di mana dukacita telah bertransformasi ke dalam keteguhan berjuang mengungkap kebenaran dan menuntut keadilan.
Dalam pertemuan itu pun disepakati tak ada dana bagi peserta aksi menuju lokasi, dan bagi yang tidak tahan lapar dan haus agar membawa bekal dari rumah masing-masing. Bila pesertanya hanya 3 orang, aksinya tidak dilanjutkan. Begitulah, berkat kemauan dan kebersamaan, pada Kamis, 18 Januari 2007 jadi hari pertama berlangsungnya Aksi Diam.
Baca juga: 3 Pelajaran dari Aksi Kamisan dalam Membangun Gerakan Sosial
Diam dan berdiri jadi pilihan kami. Sebab, “diam” tidak berarti kami telah kehilangan hak-hak sebagai warga negara. Dan “berdiri” melambangkan bahwa korban/keluarga korban pelanggaran HAM adalah warga negara yang tetap tegak dan punya hak asasi manusia. Kami sadar hak itu tidak gratis bisa didapat, terlebih ketika pemerintah tidak mau peduli. Diam, juga untuk menunjukkan diri kami sebagai bukan perusuh, susah diatur, atau gemar bikin bising telinga. Diam sekali lagi adalah cara kami menggugat negara.
Aksi itu turut menyuarakan tuntutan menggunakan selebaran, menggelar foto korban, spanduk, dan perlengkapan lain yang dibuat korban/keluarga korban. Sejak Juli 2007, selebaran diganti surat kepada Presiden yang berisi perihal permasalahan rakyat. Sebanyak 399 surat dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan sampai dengan 7 Maret 2024, sebanyak 448 surat dikirim kepada Presiden Joko Widodo.
Berkali-kali polisi melarang aksi agar menjauh dari Istana Negara, tetapi peserta aksi terus melawan. Dorong-dorongan dengan polisi mengakibatkan banyak payung yang patah, 13 mobil sedan polisi mendahului berbaris berjajar, tiga truk tronton siaga di belakang massa.
Jika ada tamu negara dan Presiden yang akan keluar dari Istana, kami dipaksa menyingkir. Kalau nekat bertahan, barisan aksi langsung dipagarbetis polisi. Kami pun dilarang memakai pengeras suara karena mengganggu Istana. Mungkin pemerintah takut, entahlah. Saat Presiden SBY masih berkuasa, ia sampai tak mau keluar Istana melalui pintu depan di mana barisan massa berada. Namun, ia melalui jalan di depan aparat penjaga Istana. Semasa Presiden Jokowi juga sama saja. Bahkan polisi dan satpam Sekretariat Negara dilarang membantu menyampaikan surat kepada Presiden RI.
Aksi Diam ini oleh publik dikenal dengan sebutan Aksi Kamisan. Oleh aparat disebut dengan Aksi Payung Hitam. Pada 19 Januari 2017, Aksi Kamisan mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Pada 7 Agustus 2017, menyusul “Tasrif Award” dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kawan-kawan dari Dentsu Isopost Indonesia turut serta mengkampanyekan Aksi Kamisan dan pelanggaran HAM berat dengan mengikuti lomba pariwara. Dalam lomba tersebut, Aksi Kamisan mendapatkan penghargaan dalam beberapa kategori.
Baca juga: Kamis ke-500: Menuntut Keadilan yang Masih Sebatas Janji
Kami Ada dan Berlipat Ganda
Aksi Kamisan menapaki perjalanan menuju 18 tahun dan masih teguh berdiri, meski saya sendiri harus kecewa berkali-kali pada negara.
Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 saya sempat kampanye “Ayo pilih Jokowi”. Komitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dan menghapus impunitas dalam visi Nawacitanya, memberi harapan besar akan terwujudnya penegakan hukum dan HAM.
Rabu, 9 Juli 2014 sore, hasil quick count menunjukkan Jokowi unggul. Kamis, 10 Juli 2014, saya sempat berefleksi menyampaikan niat untuk berhenti dari Aksi Kamisan. Refleksi saya diunggah orang di Twitter (sekarang X), sehingga beberapa aktivis 1998 bertandang ke rumah untuk diskusi. Kesimpulannya, saya tidak jadi berhenti ikut Aksi Kamisan karena belum tentu Presiden Jokowi akan menepati janji.
Dugaan kami jadi kenyataan. Ternyata Presiden Jokowi cepat berubah menjadi pelindung pelanggar HAM berat. Rasa percaya kami lenyap ketika Jokowi mengangkat orang Partai Golkar Luhut Binsar Panjaitan menjadi menteri. Golkar adalah mesin politiknya Presiden Soeharto dan dituntut dibubarkan oleh gerakan mahasiswa 1998.
Rekonsiliasi seharusnya tidak dengan cara pelaku menggalang korbannya untuk bersama-sama merebut kekuasaan melalui Pemilu. Perjuangan penegakan hukum dan HAM selama 26 tahun sejak Era Reformasi 1998 membuktikan, cinta dan kebenaran mengalahkan rasa takut.
Sebentar lagi Jokowi lengser dan akan digantikan oleh presiden baru. Berbekal pengalaman sejarah masa lalu di mana rezim sulit sekali dipercaya, sekecil apa pun harapan harus tetap kami pelihara. Boleh lelah tetapi tidak putus asa. Pun, jika Aksi Kamisan dilarang, kami akan teguh berdiri tanpa gentar memperjuangkan kemanusiaan. Kami akan ada terus dan berlipat ganda.
Kami berdoa, semoga pada saatnya nanti ada generasi pemimpin yang presidennya berani melaksanakan ketentuan UUD 1945, mematuhi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, serta melaksanakan enam Agenda Reformasi sebagai rambu-rambu dalam mewujudkan masyarakat Indonesia agar hidup damai, adil, makmur, dan sejahtera.
Sumarsih adalah salah satu penggagas Aksi Kamisan yang kini menapaki usia perjuangan 18 tahun.
Jasmine Floretta, reporter Magdalene membantu korespondensi dengan Sumarsih.