Gender & Sexuality History Issues

Apa itu ‘Manning the Grill’: Alasan ‘Barbecue’ Lekat dengan Laki-laki

Sudah sejak lama ‘barbecue’ atau memanggang kerap dianggap sebagai aktivitas maskulin. Apa sebabnya?

Avatar
  • July 26, 2024
  • 5 min read
  • 1031 Views
Apa itu ‘Manning the Grill’: Alasan ‘Barbecue’ Lekat dengan Laki-laki

Setiap datang ke acara keluarga yang menghidangkan barbecue atau membeli sate di kedai, ada satu kesamaan yang saya perhatikan: Laki-laki punya peran utama untuk membakar daging. 

Perayaan tahun baru, salah satunya. Ayah, om, sepupu, dan keponakan laki-laki sigap menyiapkan arang, alat pemanggang, marinasi daging, dan memanggangnya di atas bara api. Sementara, perempuan kebagian memasak hidangan lain yang memerlukan kompor. Sama halnya dengan tukang sate. Entah laki-laki berkeliling jualan sendiri sambil mengipas puluhan tusuk sate, atau perempuan terlibat sebagai kasir jika jualan di warung. 

 

 

Mungkin kamu juga familier dengan pemandangan ini—yang sering muncul di film dan televisi. Misalnya di iklan Mie Sedaap dan Sarimi rasa sate yang dirilis pada 2010-an. Atau karakter Dominic Toretto (Vin Diesel) dalam The Fast and the Furious (2001). Ia memanggang daging untuk makan siang bersama teman-temannya. 

Secara enggak langsung, citra laki-laki yang lekat dengan barbecue membuat kegiatan ini terlihat seperti “pekerjaan laki-laki”. Salah satu faktornya karena stereotip manning the grill. Apa itu?

Baca Juga: ‘Peep Show’ ala Times Square: Berkah Muncikari, Musibah Perempuan 

Stereotip ‘Manning The Grill’ yang Dianggap Maskulin 

Gara-gara didominasi laki-laki, citra barbecue kelihatan seperti boys club. Lewat tulisannya di Forbes, penulis Meghan Casserly bilang, laki-laki senang memanggang daging karena beberapa hal: Bisa hangout sambil memasak, enggak butuh usaha ekstra untuk beres-beres, dan risiko—dari api yang besar—justru menegangkan. 

Namun, kalau ditelusuri lebih jauh, kesenangan laki-laki dengan barbecue berawal di area suburban di Amerika Serikat (AS) pada 1950-an. Waktu itu, barbecue jadi tren untuk ngumpul dengan keluarga di halaman belakang rumah. Tren ini adalah upaya para ayah meluangkan waktu dengan anak-anak, karena buku-buku parenting menekankan pentingnya peran ayah di keluarga. Sebab, sebelumnya laki-laki lebih sering hangout di pub dengan teman-teman. 

Ditambah iklan toko perlengkapan rumah tangga di Kanada yang menekankan maskulinitas dan memanggang. Ceritanya, seorang pria memeluk perempuan muda sambil memberikan daging steik. Ini mengesankan urusan memasak dengan api besar—seperti memanggang—adalah aktivitas yang macho. Kisah di atas disampaikan oleh akademisi di Trent University, Kanada, Christopher Dummitt, dalam obrolan bersama Casserly. 

Namun, iklan yang mempertebal stereotip ini enggak cuma muncul di era itu. Pada 2009, Kingsford—merek arang asal AS—masih menunjukkan bahwa barbecue adalah “pekerjaan laki-laki”. Iklannya menampilkan seorang perempuan sedang menuang arang ke alat pemanggang. Begitu suaminya melihat, ia langsung menghentikan si istri dan mengatakan, ada tekniknya untuk menyiapkan alat pemanggang. Kemudian, si suami menawarkan diri untuk bikin salad di dapur. 

“Nanti kelihatan aneh,” kata si istri. 

Baca Juga: Misteri Geger Dukun Santet Tahun 1998-1999: Mereka Diburu dan Dibantai 

Iklan Kingsford melanggengkan peran gender tradisional, yakni tanggung jawab perempuan adalah memasak makanan sehari-hari, sekaligus memperhatikan keseimbangan gizi keluarga. Lalu menganggap perempuan enggak mampu mengerjakan “tugas laki-laki” sesederhana menyiapkan alat pemanggang. 

Sebenarnya, perkara “memanggang adalah aktivitas maskulin” berkaitan dengan jenis makanan yang dikotakkan berdasarkan gender. Adalah daging, yang kerap dianggap “makanan para pria” karena mencerminkan otot, kekuatan, dan tenaga. 

Namun, menurut penulis dan akademisi AS, Emily Contois, stereotip itu dilatarbelakangi oleh sejarah, saat manusia harus berburu untuk mencari makanan dan bertahan hidup. Kemudian prajurit dan koboi yang langsung memasak di atas bara api, atau api unggun. 

“Persoalan memanggang itu menggabungkan beberapa aspek budaya Amerika yang dianggap maskulin,” kata Contois pada Well+Good. “Ada daging, alat pemanggang dan printilannya, api yang besar dan risikonya, serta memanggang di alam terbuka.” 

Citra memanggang adalah aktivitas maskulin sebenarnya enggak hanya di AS. Di Indonesia pun mengadaptasi kultur tersebut. Tempat makan dengan menu utama barbecue maupun burger—seperti BBQ Mountain Boys dan Lawless Burgerbar—biasanya didominasi dan jadi tempat ngumpul laki-laki. Setidaknya citra ini yang ditampilkan di media sosial mereka. 

Baca Juga: Menelusuri Sejarah Produk Pembalut dari Berbagai Era 

Menghapus Stereotip Gender lewat Media 

Meski barbecue masih lekat dengan laki-laki, bukan berarti keterlibatan perempuan nihil. Survei terbaru oleh Talker Research for PERDUE—lembaga survei milik perusahaan pengolahan ayam, kalkun, dan babi di AS—menunjukkan, kemampuan perempuan untuk memanggang semakin dikenal. Dan di musim panas ini, lebih banyak perempuan yang mengambil peran. 

Studi tersebut menunjukkan, stereotip yang usang enggak lagi relevan dan bisa ditinggalkan. Hal ini bisa didukung oleh peran media dalam merepresentasikan barbecue, dengan enggak melulu melibatkan laki-laki. Sebab, tanpa disadari audiens menormalisasi nilai-nilai diskriminatif gender yang ditampilkan dalam media. Entah itu iklan, acara televisi, ataupun film. 

Salah satu yang bisa dilakukan, adalah menerapkan femvertising dalam iklan. Strategi ini awalnya dikenalkan pada 2014 oleh SheKnows, media online yang fokus memberdayakan perempuan. Lewat femvertising, merek bisa memperlihatkan pesan dan citra pemberdayaan perempuan sekaligus meningkatkan penjualan produk. 

Sebenarnya, realitasnya enggak mudah bagi brand untuk menerapkan femvertising. Ini karena iklan merepresentasikan nilai yang diusung brand, sehingga ada kekhawatiran suatu konten dianggap terlalu liberal atau enggak sesuai dengan budaya. Namun, ini bergantung pada brand, apakah mau melakukan perubahan atau tidak. Dan harus dilakukan secara menyeluruh di industri periklanan. Contohnya dengan menerapkan kebijakan  

Seperti Otoritas Standar Periklanan Inggris. Pada 2019, mereka melarang penayangan iklan yang menampilkan stereotip gender. Larangan tersebut dilatarbelakangi oleh kesadaran, stereotip gender dalam iklan mendorong ketidaksetaraan gender di tingkat publik maupun privat. 

Sementara film atau acara televisi seharusnya enggak terpaku pada peran gender tradisional. Alias enggak melulu melibatkan aktor laki-laki, untuk memainkan karakter di balik alat pemanggang barbecue. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *