Sejarah Perempuan dan Bulan Maret
Kenali sejarah Hari Perempuan Internasional, yang baru diadopsi secara resmi oleh Indonesia setelah rezim Orde Baru turun.
Ada peristiwa sangat penting bagi perempuan di bulan Maret.
Tahun 1975, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI). Namun baru hampir setengah abad kemudian dunia secara resmi mengakui HPI. Indonesia bahkan menanti lebih lama lagi, menunggu turunnya rezim yang menolak gerakan kaum buruh sebagai hak asasi untuk berserikat. Padahal perjuangan untuk mencapai pengakuan atas hak-hak perempuan buruh itu telah berlangsung sejak akhir abad 19.
Tahun 1857, untuk pertama kalinya perempuan buruh pabrik tekstil di New York, AS, berbaris untuk melakukan protes atas upah yang rendah dan harga pangan yang mahal. Namun industri bergeming, mereka menutup telinga dan mata. Dengan asumsi yang bias gender, mereka mengira ini perempuan-perempuan hanya mengomel untuk kemudian diam dan kembali bekerja. Penindasan atas perempuan buruh terus berlangsung—upah tetap rendah dan tak dibenarkan berorganisasi.
Tanggal 8 Maret 1907, digerakkan oleh Partai Buruh Amerika, ribuan perempuan (konon sampai 15.000 perempuan buruh) kembali berdemonstrasi. Tak hanya soal upah, mereka menuntut hak untuk bersuara dan berpendapat. Kali ini, tokoh penggeraknya mulai dikenali. Adalah Theresia Malkiel, dari keluarga imigran dari Ukrania, bersama tiga perempuan lainnya mengambil risiko menjadi penggerak pemogokan dan demonstrasi.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Lokal Maknai Hari Perempuan Internasional
Melalui kabar yang bergerak lamban, berita ini menyeberang ke Eropa. Baru tanggal 19 Maret mereka bergerak dan mendeklarasikannya sebagai hari peringatan perjuangan buruh perempuan, sebelum kemudian PBB menetapkannya tanggal 8 Maret. Di Eropa, pergerakan buruh juga digalang oleh kalangan Partai Sosialis. Dua tahun kemudian, secara serempak para perempuan buruh menuntut hak-hak mereka sebagai manusia, menyusul peristiwa kebakaran pabrik yang menewaskan ratusan pekerja. Sejak itu para patriark tidak sanggup lagi membendung gelombang perlawanan buruh, yang menuntut kepada para pengusaha untuk memperlakukan mereka sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya secara penuh, tak setengah, tak sepatuh.
Namun jika dibaca dari sini di Indonesia dan pada zaman sekarang, perjuangan di Amerika dan Eropa telah menang separuh langkah. Pertama, meskipun terimbas oleh Perang Dunia, mereka tidak mengalami masa kolonialisme yang menyebabkan fokus perjuangan buruh terpecah antara memperjuangkan haknya sebagai buruh dan memperjuangkan tanah airnya untuk merdeka. Di tengah situasi itu, perempuan di negara jajahan harus berjuang dengan ragam diskriminasi kelas dan gender yang dimanfaatkan kolonial untuk melanggengkan jajahannya.
Di sini, kaum perempuan tak hanya harus berjuang untuk hak-haknya sebagai buruh tetapi juga sebagai perempuan yang secara tradisi tak cukup mudah untuk diakui peran dan posisinya.
Kedua, perjuangan perempuan termasuk kaum buruh di Amerika dan Eropa diuntungkan oleh revolusi yang berhasil meruntuhkan kultus atas keperkasaan para patriark/ajaran gereja dan penaklukan atas kejantanan monarki. Sekularisasi adalah pijakan kokoh bagi perjuangan perempuan dan buruh untuk meletakan dasar-dasar hak berdasarkan kesetaraan di depan hukum.
Mungkin mereka tak membayangkan situasi perempuan di Indonesia dan kini. Di sini, kaum perempuan tak hanya harus berjuang untuk hak-haknya sebagai buruh tetapi juga sebagai perempuan yang secara tradisi tak cukup mudah untuk diakui peran dan posisinya. Itu karena (penafsiran tradisional) agama diletakkan sebagai hukum dalam mengatur keluarga. Apatah lagi, karena ada peristiwa Maret yang lain yang berdampak beda kepada perempuan di negara-negara jajahan mayoritas berpenduduk Islam, dengan perempuan buruh di Barat tempat mereka mengibarkan Hari Perempuan Internasional.
Tiga Maret 1924, Khalifah Dinasti Utsmani dipimpin Sultan Abdul Hamid II yang saat itu memegang tampuk kesultanan Turki Utsmani runtuh. Sultan Abdul Hamid II secara paksa turun takhta, dan sejak itu Kesultanan Turki berubah menjadi republik.
Baca juga: 22 Desember adalah Hari Pemberdayaan Perempuan, Bukan Hari Ibu
Agaknya, keruntuhan sebuah dinasti (bukan kekalahan umat Islam) di bulan Maret itu menyakitkan dan terus ditanggung dan memunculkan angan-angan untuk mengembalikan kejayaan Islam di bawah satu kekhalifahan semesta. Visi itu—untuk tidak dikatakan mimpi—sampai saat ini paling banter diwujudkan menjadi partai seperti Hizbut Tahrir atau di Indonesia menjadi ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Namun sebelum itu mewujud, mereka menganyam angan-angan itu melalui tubuh dan eksistensi perempuan, tak terkecuali perempuan pekerja. Perempuanlah, dan bukan laki-laki, yang berhadapan dengan impian khalifah semesta yang harus diwujudkan melalui hitbah (perbuatan) dan perilaku pribadi. Di tubuh perempuan, impian-impian tentang sebuah tatanan negeri impian diterapkan melalui aturan moral cara berpakaian, cara berperilaku, cara berpacaran, cara memiliki keturunan, cara bekerja, dan seterusnya.
Bulan Maret bagi sebagian perempuan menjadi penanda untuk mengingatkan perjuangan panjang kaum perempuan dan para perempuan buruh, dan melanjutkannya sampai terbebas dari segala bentuk penindasan berbasis prasangka jenis kelamin (gender) dan kelas. Namun bagi perempuan lain, bulan Maret adalah penanda untuk menyerah dan tunduk pada impian tentang surga di dunia yang harus mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Selamat Hari Perempuan Internasional!