Environment Issues Opini

Mei 70 Tahun Silam, Perubahan Iklim Pertama Kali Viral

Tujuh puluh tahun lalu, topik soal bahaya emisi CO2 di atmosfer pertama kali dibicarakan.

Avatar
  • May 17, 2023
  • 5 min read
  • 1177 Views
Mei 70 Tahun Silam, Perubahan Iklim Pertama Kali Viral

Semakin hari semakin sering kita saksikan tontonan tentang lingkungan dan perubahan iklim. Sebut saja foto kebakaran hutan, hewan yang dikremasi, runtuhnya bongkahan es raksasa ke laut. Begitu juga janji-janji pemimpin dunia bahwa mereka akan memerhatikan “peringatan terakhir” dari para ilmuwan.

Orang-orang berusia di bawah 40 tahun mungkin tak mengingat masa ketika media-media belum memberitakan emisi CO2 yang terkait “efek rumah kaca”, “pemanasan global”, “perubahan iklim”, hingga istilah populer saat ini: Krisis iklim.

 

 

Pada musim panas yang panjang pada 1988–35 tahun silam menjadi momentum pemimpin dunia mulai membicarakan hal yang benar.

Calon Presiden Amerika Serikat saat itu (yang menjadi Presiden), George H.W. Bush, berjanji bakal menggunakan “Efek Gedung Putih” (kantor Presiden AS) untuk mengatasi “Efek gas rumah kaca”. Namun janjinya tidak ditepati. Perdana Menteri Inggris kala itu, Margaret Thatcher, juga pernah mengingatkan bahwa Bumi sedang melakukan sebuah eksperimen besar terhadap sistemnya sendiri.

Ucapan Bush dan Tatcher merupakan sejarah 35 tahun silam. Namun sebenarnya, 35 tahun sebelumnya (70 tahun dari Mei ini)-–topik soal bahaya emisi CO2 di atmosfer pertama kali menjelajahi dunia.

Dampak CO2 yang memerangkap panas adalah hal biasa. Ilmuwan asal Irlandia, John Tyndall (yang menggambar karya seorang warga Amerika, Eunice Foote) menunjukkan, dampak emisi CO2 sudah disinggung sejak pertengahan 1800-an.

Baca juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Viral perubahan iklim
Tyndall melakukan eksperimen untuk menggambarkan efek rumah kaca. Royal Institution, CC BY-NC-SA

Pada 1895, peraih Penghargaan Nobel asal Swedia, Svante Arrhenius, mengemukakan bahwa—selama seratus tahun—-CO2 yang mengepul akibat pembakaran minyak bumi, batu bara, dan gas akan memerangkap panas yang bisa melelehkan tundra dan membuat musim dingin tinggal sejarah.

Meski mendapatkan pertentangan, karya Svante beberapa kali muncul di jurnal populer. Pada 1938, misalnya, teknisi mesin uap asal Inggris bernama Guy Callendar berkata di depan Royal Society di London (organisasi sains terkemuka di Inggris) bahwa pemanasan bumi tengah berlangsung.

Hingga pada awal Mei 1953, dalam pertemuan para pakar geofisika di American Geophysical Union, fisikawan asal Kanada Gilbert Plass–yang sudah bertukar surat dengan Callendar–berkata di depan para ilmuwan, petaka sedang berjalan.

Plass berkata:

Lonjakan aktivitas industri abad ini melepaskan begitu banyak CO2 ke atmosfer sehingga temperatur rata-rata naik 1,5°C per 100 tahun.

Sentilan Plass lantas dikutip media Associated Press dan kantor berita lainnya serta tayang di berbagai koran di seluruh dunia (bahkan media di tempat yang jauh seperti Sydney Morning Herald). Tujuh hari berselang, Peringatan Plass juga muncul di dua majalah beken, yakni Newsweek pada 18 Mei dan Time.

Baca Juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

pencetus perubahan iklim
Gilbert Plass pada 1955. Hodges Photographers, AIP Emilio Segrè Visual Archives, CC BY-SA

Fakta dunia tengah menghangat saat itu bukanlah hal yang mengejutkan di kalangan ilmuwan. Namun, keterkaitannya dengan emisi CO2 inilah–sebagaimana dikatakan Plass–menjadikannya bernilai berita. Ucapan Plass juga sekaligus menentang teori lainnya yang mencoba menjelaskan kenaikan suhu bumi akibat guncangan orbit ataupun aktivitas bintik matahari (sunspot).

Minat Plass mencari tahu soal CO2 muncul kala dia bekerja di Ford Motor Company. Dia melihat, emisi CO2 di Bumi sebenarnya bukan cuma terkait muka air laut (tanpa penjelasan yang rumit). Banyak ilmuwan yang akhirnya mengabaikan karya Arrhenius karena berbasiskan kepercayaan palsu bahwa CO2 beraktivitas dengan pergerakan yang sama seperti di stratosfer.

Plass terus meneliti persoalan ini. Dia menerbitkan berbagai publikasi teknis maupun popular selama dekade 1950-an. Pada 1956, dia menulis artikel ilmiah berjudul “Teori Karbon Dioksida Perubahan Iklim” yang diterbitkan jurnal ilmiah Tellus Swedia. Ada juga artikel populer yang terbit di media American Scientist. Dia juga menghadiri sejumlah pertemuan penting untuk mendiskusikan pembentukan karbon dioksida.

Artikel perubahan iklim
Media The Irish Times mendiskusikan perubahan iklim pada 1954. Irish Times / allouryesterdays.info

Teori karbon dioksida kemudian jadi bahan ulasan para ilmuwan maupun jurnalis. Salah satu di antaranya, George Wendt, menuliskan temuannya dalam media bereputasi, UNESCO Courier, dan disebarkan oleh media Irish Times pada 1954. Pada tahun yang sama, wartawan Inggris mulai menuliskan teori Plass.

Pada 1957, majalah New Scientist menyinggung teori tersebut. Hingga pada akhir dekade 1950-an, hampir setiap pembaca koran akhirnya mengetahui gagasan Plass.

Selama dekade 50-an dan 60-an, ilmuwan Swedia, Jerman, dan Uni Soviet, memeriksa persoalan CO2. Pada 1965, Presiden Lyndon Johnson bahkan menyinggung CO2 dalam pidatonya di hadapan Kongres AS.

Pada akhir 1960-an, kolaborasi internasional akhirnya dimulai, meski membutuhkan banyak pemantauan. Misalnya, pada April 1969, ilmuwan AS Charles Keeling, yang mengukur konsentrasi CO2 di atmosfer di observatorium Hawaii, mengungkapkan bahwa dia diminta mengubah judul paparan kuliahnya dari “Jika CO2 dari bahan bakar fosil berdampak pada lingkungan, apa yang akan kita lakukan untuk mengubahnya?” menjadi “Apakah CO2 dari bahan bakar fossil berdampak pada lingkungan?”

Baca Juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

Artikel majalah perubahan iklim
Plass mempromosikan teorinya di majalah Scientific American pada 1959. Scientific American (1959)

Bagi sejarawan iklim seperti saya, dekade 1970-an adalah periode yang menarik dalam pengukuran yang intens, pemodelan, observasi, dan pemikiran. Pada akhir dekade itu, semuanya berkontribusi menghasilkan kesimpulan bahwa masalah serius sedang terjadi. Kerja keras Plass pun berhasil.

Ketika Plass kembali bersuara, konsentrasi CO2 di atmosfer mencapai 310 parts per million (ppm). Saat ini konsentrasinya mencapai sekitar 423. Setiap tahun, saat kita terus membakar minyak bumi, batu bara, dan gas, konsentrasi CO2 naik sehingga panas semakin terperangkap di atmosfer.

Pada waktu ketika peringatan Plass berusia seabad, konsentrasinya akan jauh lebih tinggi. Kemungkinan besar kita akan melampaui batas “aman” pemanasan suhu bumi sebesar 2°C.The Conversation

Marc Hudson, Visiting Fellow, Science Policy, University of Sussex.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Marc Hudson

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *