Gender & Sexuality History

Sejarah Poppers: Kontroversi Kenikmatan dan Budaya Queer dalam Botol 10ml

Konon, tidak lebih membahayakan daripada alkohol. Tapi, informasi minim masih bikin ia disembunyikan dalam percakapan-percakapan privat.

Avatar
  • May 14, 2024
  • 7 min read
  • 2072 Views
Sejarah Poppers: Kontroversi Kenikmatan dan Budaya Queer dalam Botol 10ml

“Januar” bisa beli tiga poppers dalam dua minggu. Sebetulnya dia tak punya hitungan pasti. Tiap habis, langsung beli. Tapi, setidaknya tiga minggu sekali dia pasti pakai, khususnya untuk seks. Bisa buat masturbasi, tapi lebih sering dipakai saat bersenggama dengan pasangan satu malam. Untuk waktu yang lama, Januar tak terlalu sadar rutinitas pakai poppers saat seks ini ternyata sudah jadi tabiat.

“Saking santainya, aku jadi terus-terusan pakai. Tau sendiri enaknya,” kata Januar.

 

 

Namun, belakangan ia mulai merasa takut tabiat ini jadi ketergantungan. “Trigger-nya karena satu pertanyaan dari temenku. Katanya, emang lo udah lupa caranya seks enak tanpa poppers?”

Januar sendiri mengenal poppers sudah lebih dari empat tahun, saat ia masih 21. Ia mencoba poppers karena dikenalkan mantan pacar. 

Sebelum menggunakannya, Januar cuma mendengar poppers dari cerita-cerita di media sosial dan kawan. Info pertama yang ia tahu adalah fakta bahwa zat cair yang dihirup ini bikin otot pantat lemas—bagus buat bikin para bottoms, sebutan untuk orang yang jadi penerima penetrasi saat senggama, rileks sebelum seks. Buat tops, mereka yang melakukan penetrasi, efek menghirup popper juga bisa surgawi.

After effect-nya yang normal memang bikin kepala pusing, muter-muter. Aku sih enggak terlalu, tapi beberapa orang yang kukenal bisa pusing banget. Cuma, ya sebelum ke situ, ada efek.. Apa ya… surgawi,” kata Januar. 

Adam juga pengguna rutin poppers. Saat ditawari pertama kali, ia tak curiga atau memikiran efek samping. Ia telah lama mengenal reputasi zat ini nyaris sebagai subkultur di kalangan gay. “Sebagai penghirup (poppers) saat seks dan di dance floor… buatku selalu menarik bagaimana sedikitnya—dari sekian banyak penggunanya—yang tahu dalam tentang zat ini, termasuk aku sendiri,” katanya.

Buat Adam, saking “normal’-nya penggunaan poppers, ia tak langsung mencari tahu lebih dalam tentang zat ini. Saat ia mulai peduli, informasi tentang poppers yang ada di internet juga tidak dalam-dalam amat. Banyak outlet yang memproduksi informasi dasar itu-itu saja: Semisal kapan poppers ditemukan, apa bahan dasarnya, bagaimana ia ditemukan, dan siapa penemunya.

Padahal, menurut Adam, kehadiran poppers di komunitas queer begitu dekat. Mereka ada di kamar, dipakai saat melakukan hubungan intim, menari di klub, dan keluar dalam diskusi sehari-hari. Sedikitnya informasi di internet bikin dia geli sendiri.

“Di society yang lebih luas, kebanyakan orang mungkin memang gak tahu kalau poppers eksis,” kata Adam. “Banyak orang yang menggunakannya, tapi somehow, dia belum masuk budaya mainstream. I mean, gak semua orang menggunakan kokain, tapi banyak yang melihatnya di jutaan film atau membacanya di buku.”

Kekosongan itu yang lalu bikin Adam ingin menginvestigasi lebih dalam sejarah poppers. Pada 2021, hasil investigasi dan riset mendalam itu ia terbitkan dalam buku berjudul Deep Sniff: A history of Poppers and Queer Futures. Cerita di atas Adam Zmith kisah dalam interviewnya dengan Emmett Patterson dari The Body.

Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah ‘Queer Gaze’

Dulunya Obat Nyeri Jantung

Sejarah poppers adalah cerita yang panjang dan kompleks, dimulai dari penggunaannya dalam kedokteran hingga munculnya sebagai bahan rekreasi yang populer. Poppers adalah istilah informal yang merujuk pada amil nitrit, senyawa yang digunakan secara luas sebagai obat vasodilator. Awalnya, pada 1867 ia ditemukan Sir Thomas Lauder Bronton, seorang dokter Skotlandia.

Riset Adam sendiri bermula dari nama Bronton. “Nama itu bikin aku bersemangat,” kata peneliti asal Inggris ini dalam interviewnya dengan The Body. “Aku pikir, baiklah, aku ingin membaca catatan-catatan orang ini. Siapa dia? Dari mana asalnya? What’s his vibe? Tapi, yang paling penting, apa isi catatannya?”

Amil nitrit digunakan Bronton untuk mengobati angina, nyeri dada yang disebabkan kurangnya pasokan oksigen ke jantung. Cara kerjanya, dengan melebarkan pembuluh darah dan menghasilkan relaksasi pada otot polos. Sehingga mengurangi tekanan darah dan meningkatkan aliran darah. 

Cairan itu ia kemas dalam jaring kaca yang disebut “pearl” atau “pearly”. Wadah ini yang lalu dipecahkan dengan cara ditekan dengan kedua telapak tangan, sehingga membentuk bunyi letupan. Proses ini yang kemudian jadi cikal-bakal istilah slang: poppers.

Adam mencatat, amil nitrit makin populer sebagai obat setelah temuan bronton diperjualbelikan pada sekitar akhir 1800-an dan awal 1900-an. Tapi, ia tak berhasil menemukan, kapan amil nitrit ditemukan sebagai obat rekreasi karena bisa menimbulkan euforia saat dihirup.

“Bayangkan seseorang menghirup, merasakan aliran darah naik ke kepalanya, bernafsu, dan bahkan menyadari zat ini membantu merenggangkan lubang analnya untuk seks,” kata Adam dalam bukunya. “Poppers ditemukan dalam masa tak diketahui dan kamar tak dikenal itu.”

Di Amerika Serikat, pada akhir 1960-an, penggunaan amil nitrit sebagai obat angina mulai menurun. Tapi, pemakaian poppers sebagai obat rekreasi dimulai. Terutama buat para tentara AS yang ikut Perang Vietnam. 

Pada akhir 1970-an, poppers mulai dikomersialisasikan sebuah perusahaan asal San Francisco bernama Pacific Western Distributing Corp. Mereka memproduksi massal isobutyl nitrit yang kemudian dinamai Rush, merek sekalian jenis poppers paling dikenal sampai hari ini. Berdasarkan laporan Time, penjualan masif poppers bahkan masuk ke dunia para heteroseksual. Ia dijual di toko musik, butik, dan toko buku porno. Harganya 4 sampai 6 dolar untuk setengah ons. Cukup untuk 15 kali hirup.

Baca juga: Isu LGBT dalam Komik Miiko, Catatan Seorang Queer yang Tumbuh dengan Ceritanya

Popularitas yang Membawa pada Kerentanan Dikriminalisasi

Saat poppers mulai populer di kalangan tentara AS, ia juga populer di komunitas gay di New York dan San Fransisco. Namun, pada 1969, Badan Pengawas Obat dan Makanan mereka sempat meregulasi pemakaian amil nitrit yang dibatasi hanya bisa dibeli di apotek.

Pada era 1970-an sampai 1980-an, poppers mulai terikat dengan budaya hook up kelompok queer. Namun sebagaimana hal yang telah dikomersialisasi dan diregulasi, eksistensi popper juga dipolitisasi. Saat krisis AIDS terjadi pada pertengahan 1980-an, poppers sempat dijadikan tumbal penyebaran HIV yang tinggi di kalangan queer.

Adam bahkan mencatat bagaimana penelitian-penelitian yang berbasis ketakutan dan homofobia pada awal-awal krisis HIV mengkambinghitamkan poppers sebagai asal mula virus tersebut.

Pada tahun 1970-an, penelitian mulai menyoroti bahaya penggunaan poppers yang berlebihan, terutama dalam hubungannya dengan risiko penurunan tekanan darah yang drastis dan kerusakan saraf optik yang dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, ada kekhawatiran tentang efek jangka panjang penggunaan poppers terhadap kesehatan jantung dan pembuluh darah.

Di tengah kontroversi ini, pada tahun 1988, AS mengeluarkan undang-undang yang melarang penjualan poppers di bawah nama dagang mereka, meskipun poppers masih tersedia dalam bentuk lain, seperti pembersih cat. Larangan ini, yang menurut Adam, didorong homofobia dan sikap diskriminatif terhadap komunitas gay.

Regulasi dan politisasi terhadap poppers bukan cuma terjadi di AS. Kanada, pada 1970-an juga mulai meregulasi pembelian poppers berdasarkan penelitian-penelitian yang memperlihatkan efek samping buruk. Pada 2016, sempat ada rancangan aturan untuk melarang poppers di Inggris. 

Namun, semakin banyaknya penelitian baru yang lebih tidak bias pada kultur queer, membuat poppers mulai diterima sebagai obat rekreasi. Di Australia, pada 2020, pemerintah mencabut aturan pembatasan penjualan poppers, sehingga warga mereka bisa membelinya di apotek.

Di Indonesia, peredaran poppers juga masih di tempat-tempat gelap, sembunyi-sembunyi. Belum ada data yang bisa menggambarkan bagaimana peredarannya dan dampaknya buat komunitas queer. Seperti yang Adam bilang, Januar juga merasa informasi tentang poppers di internet masih samar-samar. Jumlahnya sedikit, dan kebanyakan dibahas oleh situs-situs atau lembaga advokasi hak orang queer dan positif HIV.

“Aku ngebayanginnya, kalau hak asasi sehari-hari kita—kayak hak kerja, hak dapat pendidikan nyaman, atau hak tinggal aman aja masih susah didapat—ya informasi-informasi tentang poppers atau apa pun yang harusnya bisa diakses terbuka, juga akan lebih mudah,” kata Januar. “Maksudnya, kita (orang-orang queer) masih warga kelas ditindas. Jadi ngomongin tentang obat rekreasi ya harus sembunyi-sembunyi. Lah, ke faskes pemerintahan aja sering distigma duluan.”

Baca juga: ‘The Eighth Sense’: Trauma yang Jadi Hidangan Utama

Dalam tontonan populer, poppers memang makin sering hadir. Pada 2019 lalu misalnya, video Charlie XCX memegang botol poppers 10ml sambil berteriak, “Gay rights!” ramai di timeline Twitter (sekarang X). Dalam circa yang sama, potongan Instagram Live Madonna yang sedang didandani menghirup poppers juga beredar. Penyanyi queer asal Australia Troye Sivan, bahkan mengklaim budaya menghirup uap amil nitrit ini ke dalam anthem-nya berjudul Rush. Buat Adam, sejarah poppers memang tak bisa dipisah antara proses dan efek kimiawinya dengan efek sosial dan politisnya. “Ini tentang kita melihat dan melanggengkan sejarah mana yang boleh kita simpan, dan mana yang kita biarkan direpresi. Dihilangkan,” katanya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *