Issues Opini

Istri dalam Rumah Tangga: Jangan ‘Beli’ Kami dengan Uang Belanja

Banyak teman perempuan saya yang menganggap, istri harus total jadi pelayan suami, termasuk dalam urusan seks. Sebab, jika tidak, uang belanja sebagai “upah” takkan diberikan.

Avatar
  • June 20, 2023
  • 5 min read
  • 1608 Views
Istri dalam Rumah Tangga: Jangan ‘Beli’ Kami dengan Uang Belanja

“Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk…”

Kutipan dari Firdaus, karakter di novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal el Saadawi ini kembali menyengat saya akhir-akhir ini. Saya tahu, memang kehidupan sosok Firdaus sebagai perempuan, terlampau berat untuk dibayangkan. Hidup di tengah keluarga Mesir yang patriarkal, identitasnya dibentuk sebagai pelayan kedua di rumah, setelah ibunya. Setiap hari ia harus menahan lapar sambil membasuh kaki ayahnya. Ia dilecehkan dan dijual oleh pamannya kepada lelaki tua dan ditukar dengan mahar mahal. Ia kerap dipukul oleh suami, sehingga badannya bengkak dan memar. Ia lantas memutuskan untuk jadi pelacur.

 

 

Buat dia, menjadi pelacur membantunya menemukan kebebasan. Ia tak mau jadi seorang istri, yang dalam budaya patriarkal, seolah-olah jadi pelacur suami. Sebab, mereka harus siap memberikan tubuhnya kapan saja. Sama sekali jauh dari definisi bebas.

Hari ini, memposisikan istri sebagai pelacur menemukan konteksnya dalam kehidupan saya. Kemarin, saat saya iseng scrolling Facebook, saya menemukan postingan teman yang membahas seks suami-istri dan hubungannya dengan uang belanja.

Ia mengunggah gambar bertuliskan, “Banyak rumah bordil yang kini berganti nama menjadi rumah tangga. Isinya tetap sama, sama-sama bisnis jual beli lendir.”

Gambar itu dilengkapi dengan caption: “Seorang istri memberikan tubuhnya terhadap suami demi uang belanja, apakah ada bedanya dengan perilaku seorang pelacur terhadap hidung belang? Apa definisi menikah menurut Anda?”

Baca juga: Setara dalam Rumah Tangga

Terkesiap, kepala saya seperti memutar ulang kalimat dari Saadawi di atas. Saya mencoba memahami apa yang dia alami. Bisa jadi ia menulis begitu karena memang banyak istri yang ia tahu, tak cukup punya posisi tawar dalam rumah tangga yang patriarkal. Suaminya bisa jadi memang menganggap mahar pernikahan telah secara otomatis membeli dirinya, juga tubuhnya. Jelas kondisi ini tak ideal, dan saya tak menutup mata, saya mengafirmasi jika memang ada perempuan yang punya pengalaman itu.

Namun bagaimana dengan mereka yang sebenarnya punya posisi tawar dalam rumah tangga? Bagaimana mereka harus bersikap dan menanggalkan internalized patriarchy itu? Saya beruntung karena punya privilese sebagai istri yang melek soal ini.

Buat saya, seks dalam rumah tangga monogamis heteroseksual, cuma satu dari sekian banyak aktivitas pemenuhan kebutuhan dan bentuk kasih sayang suami istri. Seks tak bisa dipandang sebagai hubungan satu arah, seolah-olah cuma suami yang berhak memutuskan untuk melakukannya, sedangkan perempuan cuma “penyedia layanan”. Lalu menjadikan uang belanja atau nafkah rumah tangga sebagai upah dari seks tersebut.

Perempuan Berprivilese Harus Berani Bersuara

Pesan ini sebenarnya saya alamatkan pada para perempuan yang punya privilese untuk bicara. Jangan sampai perempuan ikut mengekalkan anggapan jamak bahwa perempuan adalah objek seksual dalam rumah tangga, yang cuma dibayar dengan uang belanja. 

Perempuan adalah makhluk yang setara, bukan subordinat atau manusia kelas dua. Dalam urusan seks pun, perempuan bisa saja memulai, menolak, atau menghentikan jika mereka mau.

Terkait seks ini, saya ingat pernah ada teman yang bercerita setengah tahun lalu. Ia menangis dan mencurahkan kesedihannya karena menemukan sang suami telah menikah lagi. Setelah ngobrol panjang lebar, saya tahu, ternyata selama hampir tiga bulan, perempuan ini tak mau berhubungan seks dengan suami. Ini lantas dijadikan pembenaran suami untuk kawin lagi.

Baca juga: Pilihan atau Tuntutan: Refleksi 2 Ibu Rumah Tangga

“Suamiku lagi sepi job. Akhirnya, aku harus menggantikan dia menyokong keluarga. Jadi, kalau aku enggak mau kumpul, wajar saja, kan?” tuturnya kala itu.

Saya sepakat. Buat saya, perempuan memang berhak melakukannya. Sebab, sekali lagi seks bukanlah alat untuk mengontrol tubuh perempuan atau alasan untuk suami menjadi sosok kurang ajar. Misalnya, melakukan kekerasan karena tak dipenuhi kebutuhan seksnya, atau dalam kasus teman saya: Kawin lagi.

Dari kasus teman saya, dan rentetan kasus lain yang saya lihat, dengar, dan baca langsung, saya akhirnya tersadar. Hubungan pernikahan saat ini memang terkesan seperti jual beli. Saya lagi-lagi harus menyalahkan patriarki yang berakar kuat di kepala lelaki juga perempuan. Patriarki yang menempatkan lelaki sebagai pemegang otoritas utama.

Dalam hal ini, mindset jual beli di mana istri menjual dan suami membeli, merupakan salah satu contoh pemikiran yang patriarkis. Pembeli memiliki otoritas lebih tinggi daripada penjual, karenanya, pembeli wajib dilayani. Padahal mestinya, hubungan pernikahan itu merupakan hubungan setara.

Namun, tidak dengan keyakinan banyak orang. Baru minggu lalu saya menemukan ramai video dan konten di media sosial yang mempromosikan pesan bahwa istri harus kembali kepada fitrahnya sebagai “pelayan suami”. Dalam sebuah video digambarkan bagaimana membuat istri yang tengah merajuk, bisa sabar dan kembali lengket pada suami. Solusinya adalah uang belanja.

Sungguh sebuah pesan yang halah mbuh bikin gagal paham. Bikin saya berpikir, apa relasi rumah tangga sedangkal dan setransaksional itu? Alih-alih mengetahui akar masalahnya, diskusi dan berkomunikasi secara sehat, semua solusi rumah tangga yang punya intensitas seks tinggi adalah uang belanja yang deras mengalir. Bukankah hal itu sangat menghina? Menjadikan istri layaknya objek dagangan.

Berangkat dari sinilah, saya ingin mengajak perempuan untuk bicara. Uang belanja adalah hak seluruh anggota keluarga, yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Apabila uang belanja dianggap sebagai bayaran bagi pelayanan istri, lalu di mana itu makna rumah tangga yang setara?

Saya berharap satu suara saya akan diperhatikan beberapa orang yang mungkin saja nanti akan menimbulkan efek lebih luas. Semoga makin banyak perempuan yang lepas dari internalized patriarchy ini. Semoga para suami juga makin melek bahwa istri harus diperlakukan setara dan manusiawi termasuk dalam urusan seks, karena mereka bukan barang komoditi. 

Fatimatur Rosyidah, Ibu empat anak yang sangat suka menulis dan mengamati kehidupan. Menulis dan berpikir bagaikan bernapas baginya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Fatimatur Rosyidah

Fatimatur Rosyidah, Ibu empat anak yang sangat suka menulis dan mengamati kehidupan. Menulis dan berpikir bagaikan bernapas baginya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *