Lifestyle Opini

‘Hedonic Treadmill’: Selalu Merasa Kurang Meski Banyak Uang

Kecemasan finansial atau khawatir melulu soal uang itu nyata. Bagaimana cara mengatasinya?

Avatar
  • December 15, 2023
  • 4 min read
  • 724 Views
‘Hedonic Treadmill’: Selalu Merasa Kurang Meski Banyak Uang

Manusia kerap punya hasrat ekonomi yang tak terbatas, tapi sumber daya yang dipunya ala kadarnya. Ini adalah konsep kelangkaan dalam ekonomi dasar yang kita sudah sama-sama tahu. Akhirnya, hal tersebut mendorong manusia untuk terus menumpuk kekayaan, sekaligus menggelontorkan harta untuk konsumsi dan memoles status sosialnya.

Rasa tak pernah puas manusia ini terlihat dari bagaimana selama periode 2003 – 2010, konsumsi tahunan per kapita dari 10 persen individu terkaya di Indonesia meningkat 6 persen. Ini sangat timpang dibandingkan konsumsi tahunan untuk 40 persen individu termiskin hanya meningkat kurang dari 2 persen.

 

 

Ditilik dari sisi kesejahteraan finansial, konsep kelangkaan bisa berdampak negatif, mulai dari kecenderungan untuk bekerja terlalu keras (overworking) yang bisa berefek pada kesehatan fisik dan mental, hingga mendorong kita melakukan pembelian impulsif dan berlebihan (overspending).

Untuk memahami akar di balik perasaan kekurangan dan meningkatkan kesejahteraan finansial, kita perlu memahami sisi psikologi yang mendasarinya. Konsep hedonic treadmill dapat membantu menjabarkan hal ini.

Baca juga: Di Balik Kecanduan Kita pada Konten Pamer Gaji di Media Sosial

Apa itu Hedonic Treadmill?

Hedonic treadmill adalah gagasan bahwa tingkat kebahagiaan seseorang, setelah mengalami kenaikan atau penurunan sebagai respons terhadap peristiwa tertentu, akhirnya cenderung kembali ke tingkat awal sebelum peristiwa tersebut terjadi.

Ini berarti meskipun kita mungkin merasa sangat senang atau sangat sedih, seiring berjalannya waktu, perasaan itu akan mereda. Kita akan kembali pada tingkat kebahagiaan yang kita miliki sebelumnya. Misalnya, setelah pindah ke rumah baru, seseorang mungkin merasa senang dengan interior yang menawan di rumah tersebut. Namun, rasa senang tersebut perlahan-lahan akan berkurang setelah kita terbiasa.

Akibatnya, sebagaimana diuraikan dalam sebuah penelitian, segala upaya untuk meningkatkan kebahagiaan akan mengalami kegagalan.

Dalam konteks kesejahteraan finansial, kita kerap tak menyadari, tengah terjerumus ke dalam hedonic treadmill. Misalnya, saat mendapatkan kenaikan gaji ataupun aset baru, kebahagiaan kita nyatanya hanya sesaat. Akhirnya kita cenderung merasa tidak jauh lebih bahagia atau puas dari sebelumnya. Kondisi ini biasa disebut dengan adaptasi hedonic.

Bias kognitif dari adaptasi hedonic ini mengindikasikan bahwa tidak ada kepuasan material yang membawa kebahagiaan jangka panjang, kecuali jika kita benar-benar memeriksa alasan mengapa kita melakukan aktivitas ekonomi tersebut. Tanpa motivasi yang jelas, kemungkinan kita akan terus memupuk harta dan mencari hal lain untuk dibeli guna memberikan efek kesenangan sesaat.

Siklus ini berisiko menjadi lingkaran setan yang mengganggu kesejahteraan finansial kita karena terus merasa kekurangan.

Baca Juga:Banyak Orang Melakukan Flexing di Medsos, Apakah Ini Baik?

Bagaimana Mengatasinya?

Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk keluar dari jerat adaptasi hedonic tersebut.

Pertama, kita perlu mengenali setiap dampak yang ditimbulkan dari tindakan ekonomi kita.

Ambil contoh ketika membeli mobil baru. Awalnya, kita mungkin akan merasa bahagia. Namun, apakah kita sungguh membutuhkannya? Apakah kita mampu mengeluarkan biaya tambahan untuk perawatannya? Apa rencana kita ke depannya dengan mobil tersebut? Hal-hal seperti ini perlu kita pikirkan sebelum mengambil keputusan ekonomi.

Kedua, kita perlu menghindari inflasi gaya hidup berlebihan. Inflasi gaya hidup merujuk pada peningkatan pengeluaran ketika pendapatan kita meningkat. Pengeluaran yang meningkat akibat inflasi gaya hidup bisa dengan cepat menjadi kebiasaan: semakin banyak kita mendapatkan, semakin banyak yang kita belanjakan.

Dari fenomena ini, kita juga dapat melihat bahwa, seseorang di lapisan atas spektrum ekonomi seringkali berjuang mencapai tingkat kepuasan finansial yang sesuai dengan peningkatan pendapatan mereka. Meskipun mereka mungkin telah mencapai pendapatan yang jauh di atas rata-rata, efek hedonic treadmill membuat mereka tetap merasa kurang puas dan terus mencari lebih banyak lagi dan lagi. Inilah akar dari kesenjangan ekonomi dan jawaban atas pertanyaan mengapa yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

Ketiga, kita perlu mengenal nilai-nilai hidup pribadi, memahami apa yang menjadi prioritas kita dan membuat keputusan berdasarkan prioritas itu.

Pembuatan daftar prioritas dan membuat keputusan keuangan berdasarkan itu dapat memudahkan kita untuk menghindari inflasi gaya hidup. Ketika kita dapat menghindari pengeluaran untuk hal-hal yang tidak membawa kebahagiaan jangka panjang, maka kita bisa menghabiskan lebih banyak uang untuk hal-hal yang membawa kebahagiaan berkelanjutan, misalnya untuk investasi pendidikan anak di kemudian hari.

Keempat, kita perlu sejenak berhenti memikirkan hal hal yang menyenangkan untuk sementara. Dalam buku The Upside of Irrationality, menjauhkan diri sesaat dari hiruk pikuk konsumsi dapat memberikan angin segar bagi kesadaran kita untuk mencapai kebahagiaan yang lebih mengakar ketimbang yang artifisial.

Misalnya, menghabiskan uang untuk kesenangan kecil sesekali membuat kita memupuk lebih banyak kebahagiaan daripada melakukan belanja besar sekaligus. Setelah belanja besar, kebahagiaan kita akan melonjak, tapi akan segera memudar karena barang yang kita beli kehilangan kebaruannya.

Dengan demikian, dalam usaha mencapai kesejahteraan, kita perlu merefleksikan diri dan mempertimbangkan status psikologis serta motivasi terdasar kita dalam mengeluarkan uang. Tujuannya agar kita tidak terjebak pada pemenuhan kesenangan sementara yang justru akan menjatuhkan kita di kemudian hari.

Novia Utami, Dosen Finance, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Novia Utami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *