Seleksi Penyelenggara Pemilu yang Adil bagi Perempuan
Keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga penyelenggara pemilu sangat perlu untuk diupayakan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak politik perempuan sebagai pemilih maupun peserta pemilu.
Lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), adalah institusi yang menjadi jantung pengambilan keputusan politik di Indonesia.
Hal ini disebabkan peran-peran strategis yang dimiliki KPU dan Bawaslu dapat menentukan terjaminnya pemenuhan hak-hak politik warga dalam pemilu. KPU dan Bawaslu berperan sebagai penyusun kebijakan pelaksana untuk UU Pemilu, bertanggung jawab atas seluruh tahapan pemilu, mengawasi bahkan menindak pelanggaran yang terjadi di setiap tahapan, serta melakukan sosialisasi dan pendidikan kepemiluan.
Perempuan sebagai kelompok yang seringkali termarjinalkan dalam proses pengambilan keputusan maupun kebijakan, penting untuk hadir dan terlibat di dalamnya. Keterwakilan perempuan dalam kedua lembaga penyelenggara pemilu ini sangat perlu untuk diupayakan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak politik perempuan sebagai pemilih maupun peserta pemilu.
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia pada awal tahapan seleksi mencatat adanya kenaikan persentase perempuan pendaftar KPU maupun Bawaslu dibandingkan pada 2012, meskipun secara agregat, jumlah pendaftar di kedua lembaga tersebut menurun. Kenaikan persentase perempuan pendaftar KPU dan Bawaslu membawa harapan positif untuk memperoleh ruang partisipasi yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan di kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut.
Namun, harapan tersebut akan sulit tercapai melihat hasil seleksi yang dikeluarkan tim seleksi beberapa waktu lalu. Dari 14 orang calon anggota KPU dan 10 orang calon anggota Bawaslu terpilih, hanya ada masing-masing empat perempuan untuk KPU dan tiga perempuan untuk Bawaslu. Jumlah ini tidak mengalami kenaikan signifikan dari lima tahun lalu. Pada titik ini kita sudah harus mempertanyakan bahwa terdapat masalah dalam menemukan perempuan kandidat yang memenuhi kriteria yang diinginkan tim seleksi.
Setelah seleksi ini, masih ada pertaruhan besar yang harus dilewati di uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan jumlah perempuan yang tersisa sekarang, DPR akan kurang leluasa memilih setidak-tidaknya tiga orang perempuan kandidat sebagaimana diamanatkan undang-undang. UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum adalah upaya formal yang mengatur komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu, sampai pada jajaran di bawahnya, untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Langit-langit kaca
Perempuan dihadapkan pada kondisi-kondisi khusus yang seringkali menjadi hambatan tidak kasat mata namun sangat nyata dirasakan untuk terlibat sebagai penyelenggara pemilu. Rendahnya keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc disebabkan beberapa faktor. Hambatan budaya membuat perempuan seringkali berhadapan dengan berbagai pertimbangan untuk membagi porsi kerja di ruang domestik dan berkarir di ranah publik. Kondisi geografis beberapa daerah di Indonesia juga membuat perempuan harus mengorbankan waktu, transportasi, akomodasi, dan biaya untuk lebih dalam menjalankan kerjanya sebagai penyelenggara. Kondisi ini membuat perempuan mengalami ketidaksetaraan informasi dan keterbatasan jejaring. Akibatnya, perempuan tidak cukup berpengalaman dan cakap soal kepemiluan.
Sampai pada seleksi penyelenggara pemilu di tingkat nasional, proses yang dilalui oleh para perempuan kandidat juga bukan tanpa hambatan. Mulai dari tahap pendaftaran, perempuan calon kandidat diuji untuk melengkapi berkas pendaftaran yang rumit dalam waktu singkat, sementara mereka memiliki kondisi khusus yang seharusya menjadi pertimbangan panitia seleksi. Pada tahap wawancara, terdapat beberapa laporan masyarakat untuk menjadi bahan konfirmasi oleh tim seleksi, yang cenderung tidak berpihak pada kandidat perempuan.
Tim seleksi maupun Komisi II DPR, yang membidangi urusan dalam negeri, secretariat negara dan pemilu, seharusnya tidak tutup mata dengan tantangan yang dihadapi perempuan sebagai kandidat. Integritas, kompetensi, dan kepemimpinan memang menjadi faktor yang sangat penting bagi penilaian tim seleksi dalam memilih kandidat. Namun, yang tidak boleh luput demi mewujudkan proses seleksi yang adil adalah hambatan tak kasat mata yang membuat proses ini menjadi lebih berat untuk dilalui perempuan.
Pada akhirnya kita mendapatkan jawaban, bahwa untuk meningkatkan keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu tidak bisa digapai hanya melalui peraturan formal. Ada hambatan struktural yang dihadapi oleh perempuan. Perlu ada upaya sistematis dari berbagai pihak untuk memastikan tersedianya kader-kader berkualitas yang siap untuk memimpin KPU RI dan Bawaslu RI di masa mendatang.
Julia Ikasarana saat ini bekerja sebagai peneliti yang selama empat tahun terakhir fokus pada isu representasi politik perempuan di Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) FISIP Universitas Indonesia.